Tahun baru Imlek sebentar lagi. Orang Tionghoa jemaat kelenteng ramai-ramai membersihkan rupang. Patung dewa-dewi Tionghoa itu dibersihkan. Ada yang cuma pakai air teh dan kembang. Ada yang pakai sabun detergen.
Erwina Tedjaseputra yang pimpin ritual bersih-bersih rupang di TITD Hong San Koo Tee, Jalan Cokroaminoto 12 Surabaya. Kelenteng Cokro nama populer kelenteng di tengah kota itu.
Dulu saya sering mampir ke Kelenteng Cokro karena sering diundang dan ditelepon Ibu Julaini Pudjiastuti, ketua kelenteng. Yang tak lain mamanya Erwina. Hampir semua acara di TITD Cokro aku diajak. Termasuk ikut rombongan ke berbagai kota di Jawa Timur.
Mendiang Bu Juliani ini lulusan SPG Santa Maria. Meskipun ngurus kelenteng, dulu rajin pigi misa di Katedral. Bapa rohaninya Pater Thobias Muda Kraeng SVD (alm) asal Pulau Lembata, NTT. Romo Thobias ini semasa hidupnya sangat terkenal di kalangan katolik di Surabaya.
''Saya sering curhat dan minta nasihat ke Romo Thobi,'' kata Bu Juliani.
Banyak banget cerita-cerita ringan yang dituturkan Bu Juliani. Sambil menikmati santapan khas kelenteng yang lezat.
Sin Cia atau Imlekan di Kelenteng Cokro biasanya sangat ramai. Acaranya dari sore sampai jelang pagi. Ada hiburan barongsai, liang liong, dewa rezeki, karaoke dsb.
Saya beberapa kali ikut sumbang suara. Lagu nostalgia Yue Liang Dai Biao Wo De Xin. Cuma satu itu saja lagu pop Mandarin yang saya bisa. Satunya lagi Dayung Sampan versi Indonesia Tian Mi Mi.
Paling banyak tiga lagu. Satu lagi lagu Barat Fly Me To The Moon. Meski kualitas tidak bagus biasanya dapat angpao dan tepuk tangan meriah. Siapa pun yang nyanyi memang dapat aplaus di kelenteng itu. Bikin kita orang senang lah!
Bu Juliani sudah berpulang. Diganti anak dan mantunya. Erwina punya badan gemuk macam mamanya meski makan sedikit katanya. ''Yang penting sehat,'' kata Erwina.
Sincia tahun ini tidak ada acara meriah seperti sebelum pandemi. Sembahyang bersama malam hari ditiadakan. Pukul 21.00 pintu kelenteng ditutup. Tidak ada dewa rezeki, tak ada barongsai, liang liong, tak ada karaoke lagu-lagu lawas.
Yah.. otomatis tak ada angpao! Tak ada saweran untuk penyanyi dadakan macam kita orang.
Selamat tahun macan!
Gong xi fa cai!
Beda suku, beda cara mengucapkan selamat tahun baru imlek.
BalasHapusSelama hidup di Indonesia, waktu imlek, saya kalau pay-cia kerumah orang-orang yang lebih tua, biasanya mengucapkan :
Sin chun kiong hi, Sin te kian khong, Thiam hok thiam siu.
Jadi kami mengucapkan selamat dan menekankan pada harapan, semoga yang bersangkutan sehat wa'alfiat, tambah bahagia dan panjang umur.
Di Tiongkok saya hidup di lingkungan mayoritas masyarakat suku kejia, disana mereka mengucapkan Xin nian kuai le, Gong xi fa cai, Da ji da li, Tian tian you yu.
Masyarakat ini lebih menekankan pada hal yang materiel, keuntungan, kekayaan, selalu ada makanan, bisa gembira.
Seumur hidup saya belum pernah mengucapkan kata2 Gong xi fa cai. Sebab itu bertentangan dengan filosofi ajaran ibu saya. Didikan ibu-saya, kami sesaudara dilarang pamer kalau kaya, dan tak boleh ngeluh kalau susah. " Über Geld spricht man nicht ", ungkapan bahasa Jerman.
Kita orang di Indonesia sudah lama ikut-ikutan pakai ucapan Gong Xi Fa Cai karena dianggep ungkapan khas sincia. Meskipun tidak paham artinya.
HapusOrang Tiongkok yang komunis pun rupanya sedari dulu sudah punya filsafat fa cai. Dan.. makin ditiru di mana² kawasan.
Di Cokro tidak ada angpao, khan masih ada Cik Giok mungkin dapet saweran kue-keranjang.
BalasHapusHahaha.. Cik Giok itu mesti dapet itu kue keranjang asli original resep Hokkian. Tapi musim pandemi ini kita orang tidak berani dateng ke rumahnya beliau di Sidoarjo. Cik Giok atawa Tante Tok ini tidak jualan online.
HapusKamsia.. sudah ingatken kita orang dengen kue keranjang van Sidhoardjo.
Terima kasih Lambertus tetap setia menulis tentang budaya dan masyarakat Tionghoa, walaupun sampeyan seorang berkulit legam dari bumi Flores yang beragama Katolik. Sin cun kiong hie
BalasHapus