IDI: Isoman harus konsultasi dokter.
Begitu judul berita di koran pagi ini. Prof Menaldi Rasmin prihatin karena banyak warga isoman yang meninggal. Ada pula isoman yang kondisinya memburuk. Lalu meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Karena itu, IDI mengingatkan bahwa isoman tidak bisa dilakukan tanpa konsultasi dokter atau tenaga kesehatan (nakes). Bisa makin runyam situasi pageblug di Indonesia.
Pagi tadi, saya baca di Antara ada isoman meninggal di rumahnya di Jember. Almarhum mantan anggota DPRD Jember. Ia isoman karena rumah sakit penuh.
Mengapa begitu banyak korban serangan covid isolasi mandiri? Tanpa konsultasi dokter? Cari obat sendiri-sendiri? Berburu oksigen ke mana-mana?
IDI mestinya sudah tahu. BOR rumah sakit sudah lama di atas 95 persen. Bahkan di atas 100 persen. Dokter dan tenaga kesehatan angkat tangan. Tenaga medis bertumbangan.
Maka, warga yang merasakan gejala covid ditolak di rumah sakit. Jangankan dokter, perawat pun kewalahan. Sang calon pasien pun pulang ke rumahnya. Isoman: isolasi mandiri.
IDI bilang isoman harus konsultasi dokter. Bagus. Tapi berapa sih jumlah dokter di Indonesia? Di NTT, misalnya, banyak kecamatan yang tidak punya dokter. Puskesmas-puskesmas tak ada dokternya.
Lalu, mau konsultasi ke dokter yang mana?
Situasi pandemi korona di Indonesia sedang gawat-gawatnya. Pemerintah kerja keras untuk memutus rantai covid tapi tidak mudah. PPKM darurat saat ini justru membuat banyak rakyat kecil kelimpungan karena tidak punya penghasilan.
''Pilih mana: mati karena korona atau mati kelaparan?'' ujar Yuk Madura, pemilik warkop di kawasan Gunung Anyar.
Yuk ini memilih taat prokes PPKM dengan tidak toron (mudik) ke Bangkalan untuk Idul Adha. Selamat hari raya kurban!



