Senin, 22 Juli 2024

WR Soepratman, Indonesia Raya versi asli 6/8, hingga tuduhan menjiplak Pinda-Pinda Leka-Leka

Musafir Isfanhari guru musik, dosen musik, komposer, hingga pelatih paduan suara kawakan di Surabaya. Pak Isfan juga sering diminta jadi juri lomba menyanyi. Mulai nyanyi kelas berat macam bintang radio seriosa hingga lomba karaoke wartawan atau komunitas Tionghoa di Surabaya.

Hampir setiap 17 Agustus Pak Isfanhari memimpin paduan suara pelajar di halaman Gedung Negara Grahadi Surabaya. Spesialis dirigen upacara bendera Hari Kemerdekaan bersama Gubernur Jawa Timur.

Pagi ini, Isfanhari membagi tulisan khusus tentang Wage Rudolf Soepratman. Sekaligus menjawab pertanyaan lama saya. 

Apakah lagu Indonesia Raya itu jiplakan lagu Pinda-Pinda, Leka-Leka? Apakah komposisi Indonesia Raya sekarang sama dengan naskah asli atau partitur yang ditulis WR Soepratman pada 1928?

Isfanhari menulis:

"Ketika dinyanyikan di Kongres Pemuda 1928, Indonesia Raya dimainkan dalam tanda birama 6/8. Terkesan kurang gagah, sehingga kemudian diubah menjadi 4/4."

"Indonesia Raya juga pernah dituduh sebagai jiplakan dari lagu Pinda-pinda, Leka Leka. Tapi kalau kita dengar Pinda-Pinda Leka Leka, terlalu berlebihan kalau dianggap sama mirip dengan Indonesia Raya."

Tidak lupa Isfanhari membagi link lagu Pinda-Pinda itu. Saya dengarkan beberapa kali. Memang berbeda meski ada beberapa nada awal Indonesia Raya yang sama. Pinda-Pinda pakai 6/8.

WR Soepratman berucap: "Kelak sebagai negara yang merdeka, kita  harus punya  lagu kebangsaan."

Pernyataan pendek itu mengganggu WR Soepratman. Dia merenung, tak bisa tidur memikirkan lagu kebangsaan seperti apa bentuk komposisinya, seperti apa pesan syairnya.

Hasil renungan itu akhirnya terwujud dalam lagu Indonesia Raya yang diperdengarkan dalam pembukaan Kerapatan Pemuda pada 1928. Iramanya 6/8 ala waltz yang memang sangat populer saat itu.

Lagu Indonesia Raya pun menyebar ke masyarakat Indonesia. Akibatnya lagu tersebut dilarang oleh Pemerintah Hindia Belanda meski secara sembunyi sembunyi masih ada yang berani  menyanyikannya. 

Ketika Jepang masuk ke Indonesia, maka untuk memikat hati rakyat Indonesia, diperbolehkan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tapi itu tidak lama. Jepang pun akhirnya melarang lagu Indonesia Raya.

Saya masih sering mampir di warkop persis di samping Makam WR Soepratman di Rangkah, Surabaya. Sesekali saya merenung kehebatan Soepratman yang banyak talenta. Wartawan, seniman, musisi, pejuang, pahlawan nasional.

Lagu Indonesia Raya terasa merinding ketika atlet Indonesia meraih medali emas Olimpiade. Merdeka!!!

Karyawan cerdas pamit, murid lebih pintar ketimbang gurunya




Pagi ini AF pamit mundur lewat grup wasap. Resign, istilah kerennya. Masa kerjanya 10 tahun. Cukup lama.

"Hari ini saya mohon pamit. Terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang diberikan selama 10 tahun saya bekerja," tulis karyawan cerdas itu.

Saya pun dipamiti secara khusus. Dia anggap saya (salah satu) gurunya. "Good luck! Semoga happy dan sukses di tempat baru," doa saya.

AF ini contoh murid cerdas. Sangat lekas belajar dan kreatif. Karena itu, dia malah jadi lebih cerdas ketimbang gurunya. Apalagi di usia yang relatif muda, dia lebih mampu menyesuaikan diri dengan dunia digital, media sosial, algoritma google dsb.

Tidak banyak orang yang mampu menulis konten informasi atau berita yang dapat PV tinggi. Konten yang dibuat AF selalu di atas 10 ribu atau 20 ribu PV. Beda dengan saya yang sulit tembus 2000.

AF lulusan universitas negeri ternama di Surabaya. Jurusan bahasa Inggris. Karena itu, bahasa Inggrisnya jauh lebih baik ketimbang karyawan-karyawan lain. Kalau ada masalah tata bahasa, disksi, penulisan, AF yang kasih masukan dan koreksi.

Dulu saya ikut wawancara AF saat melamar jadi karyawan baru. Langsung lolos karena memang cerdas. Apalagi rekam jejak ayahnya juga memang kawakan. 

Mengapa jadi karyawan? Kamu lebih cocok jadi dosen? Sebaiknya lanjut studi sampai doktoral. Lebih bagus lagi kuliah di luar negeri.

AF memang punya keinginan seperti itu. Tapi rupanya dia kasih kesempatan adiknya yang laki-laki kuliah sampai S-3 dulu. Dia akan menyusul kalau ada peluang.. dan dana. Kalau tidak salah dia ingin kuliah di Australia.

Rupanya AF asyik bekerja keras (dan cerdas) di bidang yang sama dengan almarhum ayahnya. Begitu cepat perkembangannya. Para senior, guru, mentor, pun ketinggalan.

Guru yang baik adalah guru yang mampu membuat muridnya lebih pandai ketimbang dirinya. Bahkan, gantian si murid itu yang sekarang jadi guru untuk para senior yang dulu jadi gurunya.

Sabtu, 13 Juli 2024

Partitur Paduan Suara Lawas Hymne Airlangga, Enak dan Berkesan

Meski tidak pernah kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya, saya sering dengar Hymne Airlangga. Kawan-kawan dekat alumni Airlangga sering nyanyi di kala senggang. Lagunya enak.

Saya juga cukup lama tinggal bersama guru besar FK Unair yang hobi musik dan nyanyi. Punya alat musik piano, gitar, keyboard hingga drum. Ada partitur musik juga.

Sesekali lagu Hymne Airlangga dimainkan. Namanya himne, suasana lagu ini agung, megah. Maestoso, istilah musiknya.

Beberapa waktu lalu, saat bongkar buku-buku lama sang profesor, saya menemukan naskah atau partitur Hymne Airlangga edisi lawas. Masih ejaan lama. Berarti sebelum EYD tahun 1972.

Hymne Airlangga ditulis Abdoes Saleh dan Bahrawi Koesoemo. Saya senandungkan pelan-pelan notasinya.. ternyata enak sekali. Lebih sedap ketimbang himne di kampusku dulu yang saya hafal bagian basnya versi paduan suara.

Suaraku nanggung. Ikut bas sering kerendahan di F (fa rendah), tapi ikut tenor juga terasa ketinggian di f (fa tinggi). Karena itu, dulu saya pilih ikut bas karena lebih sedikit saingan. 

Kalau ada festival atau lomba paduan suara di luar kota macam Jogja, Bandung, Jakarta, Surabaya, peluang masuk tim ini jauh lebih besar. Kalau ikut tenor peluang tipis.

Setelah bekerja di Surabaya, saya jadi akrab dengan beberapa pentolan paduan suara mahasiswa Unair era 90an dan 2000-an awal. Saya bahkan sering dapat undangan nonton konser atau festival yang diadakan mantan-mantan aktivis paduan suara mahasiswa Unair yang kini jadi guru musik klasik dan choir di Surabaya.

HYMNE AIRLANGGA

1. Di Timur Jawa Dwipa megah engkau bertakhta
Ksatria Airlangga kusuma negara
Dari engkau kudapat budaya pusaka
Airlangga dikau permata
Indonesia Raya

2. Bagimu almamater, kuberjanji setia
Berdharma bakti suci berjasa mulia
Belajar untuk Nusa Indonesia yang kucinta
Airlangga engkau hiduplah
Airlangga tetap kau jaya

Rabu, 03 Juli 2024

Nyambangi Perpustakaan C20 Surabaya Perpanjang Kartu Anggota


Aku mampir lagi ke C20 Library di Jalan Cipto 22 Surabaya. Gowes sore akhir pekan. Perpustakaan itu salah satu jujukanku ketika masih senang ikut bedah buku, diskusi, hingga workshop musik bersama Slamet Abdul Sjukur (alm).

Almarhum SAS, pianis, guru musik, maestro musik kontemporer, memang sering bikin pelatihan untuk masyarakat awam. Misalnya, Kukiko: kursus kilat komposisi. Nonton bareng film dokumenter komponis-komponis musik kontemporer atau jazz.

Perpustakaan C20 punya ruangan yang luas untuk pelatihan, workshop, diskusi dsb. Lian Gouw pun datang dari USA untuk meluncurkan novelnya di C20 itu. Begitu juga Soe Tjen Marching dan penulis-penulis buku lainnya.

Nah, sejak Mas SAS meninggal dunia aku sangat jarang mampir ke C20. Apalagi ada pandemi dan menurunnya minat baca anak milenial pada buku cetak. Aku pikir perpusatakaan-perpustakaan gulung tikar.

C20 ternyata masih stabil. Malah aku lihat lebih ramai ketimbang sebelum covid. Anak-anak muda sibuk membaca dalam diam. Banyak juga yang asyik bekerja di laptop sambil ngopi. C20 memang punya kafe dan kopi spesial.

Teman-teman lama masih jadi pengurus C20. Lusi, Anitha, telaten melayani pengunjung perpustakaan. Anitha masih tetap kritis. Wanita ini mengecam pemerintah yang menggusur pedagang kaki lima, warung-warung di pimggir jalan, khususnya di kota lama.

"Apa pendapat Anda tentang penggusuran pedagang? Bagaimana sikap kawan-kawan media di Surabaya?"

Bingung aku menjawab pertanyaan Anitha yang juga peneliti sosial budaya itu. Kudu hati-hati menjawab. Kudu diplomatis.

 Pemerintah daerah itu mitra media. Kalau sampai tersinggung bisa gawat. Di sisi lain, kita juga tidak bisa mengabaikan wong cilik. Tapi Anitha maunya jawaban tegas. Dia berdiri di pihak pedagang yang tergusur itu.

"Pemkot sudah bikin SWK di Pegirian. Pedagang-pedagang sudah disediakan tempat di Kalimas Timur. Toh, mereka selama ini jualan di bahu jalan. Lalu lintas jadi macet. Semrawut juga."

"Coba Anda sebut satu aja SWK (sentra wisata kuliner) di Surabaya yang berhasil. Apa ada jaminan jualan mereka laku di tempat yang baru?"

Bingung aku menghadapi orang-orang kritis macam Anitha Silvia ini. Aku mulai mengalihkan pembicaraan. Bahas PKL di Surabaya tak akan ada habisnya.

Lusi mengecek masa berlaku kartu anggotaku. Ternyata sudah mati sejak awal pandemi. Kudu diperpanjang agar bisa pinjam buku lagi. Bayar 50K.

Aku pinjam dua buku tentang Tionghoa. Tionghoa Dalam Pusaran Politik karya Benny G. Setiono dan Revolusi, Diplomasi, Diaspora (Taomo Zhou). Masa peminjaman 3 minggu seperti biasanya.

Aku gowes pulang ke kawasan tenggara. Mampir sejenak di warkop untuk istirahat. Aku buka buku super tebal Tionghoa Dalam Pusaran Politik.

 Luar biasa! 

Ada orang Tionghoa yang telaten menulis buku setebal 1.137 halaman. Penuh data dan informasi yang sangat detail. Rasanya tiga minggu tidak cukup untuk membaca buku setebal ini. Beda dengan novel Lian Gouw yang selesai dalam dua hari saja.

Senin, 01 Juli 2024

Jawa Pos 75 Tahun, Nasionalisme The Chung Shen di Kembang Jepun

Jawa Pos genap 75 tahun. Hari jadinya dirayakan sangat meriah pada 1 Juli 2024 lalu. Dress code nuansa tempo doeloe atawa retro.

Band yang diundang pun bawakan lagu-lagu Koes Plus. Ada juga lagu Chrisye. Sangat meriah. 

Bukan itu saja. Para pembaca setia Jawa Pos dan semua koran Radar ikut undian berhadiah sepeda motor dan mobil. 

Luar biasa! Di era media sosial, digital, ternyata surat kabar cetak masih ada. Setidaknya Jawa Pos masih perkasa. 

Di hari jadi ke-75 Jawa Pos bahkan terbit 76 halaman. Gak kaleng-kaleng. Ini fenomenal karena koran nasional terbesar (doeloe) di Jakarta sekarang hanya bisa terbit 16 halaman. Edisi ulang tahunnya pun hanya 16 halaman.

Dukut Imam Widodo, penulis Soerabaia Tempo Doeloe, secara khusus memuji Jawa Pos sebagai koran yang sangat tangguh. JP sudah jadi legenda Surabaya. Legenda Jawa Timur. Bahkan legenda Indonesia.

Jawa Pos terbit perdana pada 1 Juli 1949 di Kembang Jepun. Pusat Pecinan Surabaya. Yang sekarang ada gapura Kya-Kya itu. 

The Chung Sen pengusaha Tionghoa punya visi besar menerbitkan surat kabar di masa revolusi fisik. Indonesia memang sudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 tapi Belanda masih ada tahun 1949. Belanda baru menyerahkan kedaulan pada akhir Desember 1949.

Dalam suasana yang tidak menentu itu The Chung Sen berani menerbitkan koran Java Post (nama asli Jawa Pos) dalam bahasa Indonesia. "Itu karena rasa nasionalisme Pak The yang tinggi," kata Dukut.

Mana ada pengusaha Tionghoa yang cari duit dengan bikin koran tahun 1949 kalau tidak ada idealisme dan rasa kebangsaan? The jelas memilih berada di kubu merah putih. Beda dengan penguasaha-pengusaha kelas kakap lain di kawasan pecinan yang memilih kabur ke Belanda atau Tiongkok saat genting itu.

Dukut Imam Widodo menulis:

"The Chung Shen mendirikan koran Java Post bukan lantaran bisnis surat kabar kalau itu menjanjikan kenikmatan. Sama sekali tidak! Rasa kebangsaan The Chung Shen sebagai orang Indonesia jauh lebih berbicara daripada urusan cuan!"

Satu per satu koran tua di Surabaya, Indonesia umumnya, mati karena rugi, bangkrut, dibredel dsb. Banyak juga yang dibredel internet dan media sosial. 

Jawa Pos jadi satu-satunya koran tempo doeloe yang masih bertahan. Bukan sekadar bertahan tapi berkembang biak ke seluruh Nusantara.  Terus beradaptasi dengan era digital.

Dirgahayu Jawa Pos!

Sabtu, 29 Juni 2024

Mampir baca buku di markas PMKRI Surabaya

Sabtu pagi, 29 Juni 2024. 

Libur akhir pekan. Tidak ke mana-mana. Maka saya gowes ke dalam kota. Biasanya cuma gowes di pinggir kota kawasan Tambak Oso, Cemandi, Banjar Kemuning, Gunung Anyar, hutan bakau.

Saat melintas di Gubeng tiba-tiba ada bisikan untuk mampir ke Taman Simpang Pahlawan. Margasiswa PMKRI Sanctus Lukas Surabaya. Gedung tua persis di samping Hotel Garden Palace.

Adik-adik aktivis PMKRI Surabaya rupanya masih tidur pukul 07.00. Ada lagu rohani karismatik haleluya terdengar lamat-lamat dari dalam.

Saya tak ingin mengganggu tidur adik-adik yang hampir semuanya asal Flores NTT. Toh, ada perpustakaan di bagian depan. Saya dulu menyumbang cukup banyak buku ke PMKRI. 

Saya pun tertarik membaca buku Tionghoa Indonesia dalam Krisis karya Charles A. Coppel. Sedikit banyak saya ingat bahasan di buku tersebut.

Oh.. ternyata buku itu sumbangan saya melalui Bung  Stenly Jemparut Ketua PMKRI Surabaya saat itu. Rupanya masih tersimpan rapi di dalam rak. Bisa jadi kurang diminati adik-adik mahasiswa di era digital sekarang.

Saya pun membaca kembali beberapa halaman buku itu. Khususnya bab tentang gerakan anti Tionghoa. Meski sudah pernah baca, dulu, buku lama itu masih punya pesona.

Semoga adik-adik anggota PMKRI masih mau membaca buku. Sayang kalau buku-buku bagus itu hanya jadi pajangan di lemari.

Pro ecclesia et patria!

Novel Only a Girl karya Lian Gouw, potret Tionghoa antek-antek Belanda yang sangat benci Hwana (pribumi) di masa transisi

Sudah lima atau tujuh tahun saya tidak membaca buku cetak sampai selesai. Biasanya cuma baca sedikit, jenuh, terganggu notifikasi wasap lalu berhenti. Apalagi kalau bukunya memang kurang menarik.

Tapi kali ini beda. Saya akhirnya bisa membaca tuntas novel Only a Girl karya Lian Gouw. Versi terjemahan bahasa Indonesia tentu saja. Versi asli dalam bahasa Inggris terlalu berat untuk orang Indonesia, khususnya saya, karena bahasa Inggris yang dipakai Lian Gouw sama dengan penutur asli di US atau UK.

Lian Gouw sudah puluhan tahun tinggal di US. Bahasa sehari-harinya English. Dia boleh dikata tidak bisa berbahasa Indonesia. Kemudian di masa tuanya belajar bahasa Indonesia.

 Lian Gouw bahkan jadi penutur dan penerbit buku-buku cerita berbahasa Indonesia yang sangat keras melarang kata-kata serapan. Harus pakai kata-kata bahasa Indonesia asli. Pakailah "rekaan", bukan fiksi.

Saya hanya perlu waktu dua hari untuk menyelesaikan novel yang diterbitkan Gramedia tahun 2009. Ceritanya memang sangat menarik. Tentang pergulatan orang Tionghoa elite antek-antek Belanda pada 1930-an hingga 50-an. Tionghoa yang sangat berpihak pada Belanda.

Lian Gouw menggambarkan gaya hidup, alam pikiran, hingga keseharian Tionghoa elite di Bandung yang jadi kaki tangan Belanda. Betapa mereka sangat merendahkan warga bumiputra atau pribumi yang diejek sebagai hwana. 

Ejekan dan hinaan untuk hwana ini sering terlontar dari mulut tokoh-tokoh utama dalam novel ini seperti Carolien dan Jenny putrinya. Jenny bentrok dengan Pak Sarjono karena tidak mau berbahasa Indonesia.

"Saya hanya mau berbahasa Belanda," kata Jenny murid cerdas, berani, antek Belanda.

Ibunya, tante-tantenya juga sama-sama gila Belanda. Mereka sepertinya ingin Belanda terus berkuasa di Hindia Belanda. Hwana-hwana tidak akan bisa mengurus negara sendiri, pikir mereka.

Saya pun mengapresiasi Lian Gouw yang menghadirkan cerita fiksi, eh rekaan, tapi berdasar pengamatan dan pengalaman Lian sendiri. 

Lian Gouw: "Terima kasih banyak Hurek atas pemberian waktu dan perhatiannya. Sebenarnya ada terjemahan yang lebih bagus: Mengadang Pusaran, penerjemah Widjati Hartiningtyas (Kanisius 2020).

Memang karya itu sering sekali digunakan untuk menulis skripsi."

Kesan saya di novel itu orang Tionghoa yang Ibu ceritakan sangat memihak Belanda dan benci pribumi?

Lian Gouw: Benar.. ditampilkan di novel itu bahwa Carolien sangat amat berpihak Belanda ... entah apakah SELURUH  MASYARAKAT  TIONGHOA begitu juga .... karena merekalah yang cukup "dicekok" oleh si Belanda itu.

Dan, itu sebabnya, setelah Indonesia merdeka, elite-elite Tionghoa kabur meninggalkan Indonesia karena takut dengan para pribumi yang dihina pada masa kolonial Belanda?

Lian Gouw: "Entah orang lain Hurek … Ibu sendiri pergi TIDAK  KARENA  TAKUT,  tetapi karena BENCI. Tapi sekarang kebencian itu sudah sama sekali hilang dan terganti dengan perasaan cinta dan kesedihan yang dalam."

Obrolan terjeda karena Ibu Lian harus menyiapkan makan siang di rumahnya di Amerika. Dia masih sering menikmati lagu-lagu keroncong tempo doeloe macam Aryati, dikau mawar asuhan rembulan.

Lian Gouw: "Ibu suka dengan lagu-lagu keroncong .... juga suka lagu-lagu Maluku."