Jumat, 09 Mei 2025
Suster Ursula OSA dari Lembata pernah bertemu dan dialog dengan Kardinal Robert Prevost OSA yang kini jadi Paus Leo XIV
Habemus Papam! Kejutan Paus Leo XIV dari Amerika Serikat
Kamis, 24 April 2025
Pater Markus Solo Kewuta SVD Menyapa Paus Fransiskus di Dalam Peti Jenazah
Pagi belum benar-benar ramai di Vatikan. Tapi satu pria asal Flores Timur sudah duduk diam di kursi yang tak jauh dari peti Paus Fransiskus. Namanya Pater Dr Markus Solo Kewuta, SVD.
Di kalangan Gereja Katolik internasional, namanya tidak asing. Ia adalah imam misionaris yang sudah lama jadi bagian dari jantung Takhta Suci.
Dan pagi itu, tepat pukul 07.00 waktu Roma, Pater Markus datang untuk yang ketiga kalinya melihat jenazah pemimpin tertinggi Gereja Katolik itu. Tapi kali ini beda.
"Rasanya tidak ingin pergi dari tempat itu," katanya.
Peti tempat Paus terbujur itu, katanya, sangat sederhana. Tanpa ukiran berlebih. Tubuh Paus sudah jauh berubah. Wajahnya putih pucat. Tak segemuk dulu.
"Semuanya menyusut," ujar Pater Markus.
Yang mencolok hanya jubah merah yang dikenakan. Bukan merah biasa. Itu merah liturgi—warna cinta yang paling besar kepada Tuhan. Juga simbol kematian dalam tugas suci.
Selama tiga puluh menit ia duduk di situ. Kadang berlutut. Kadang duduk diam. Seperti sedang mengulang film panjang yang pernah mereka jalani bersama: saat Paus datang ke Jakarta, lalu Port Moresby, Timor Leste, hingga ke Singapura. Termasuk di dalam pesawat yang sempit tapi penuh cerita.
Dan ketika waktunya berpamitan datang, Pater Markus berdiri. Ia mendekat. Lalu dengan suara nyaris tak terdengar, ia berkata: "Selamat jalan, Bapa Suci. RIP."
Tak ada air mata. Tapi ada hening yang lebih dalam dari tangisan.
Begitulah pagi itu di Vatikan. Bukan pagi yang biasa bagi Pater Markus dari Flores Timur.
Selasa, 22 April 2025
Paus Fransiskus bahagia di surga! Ora pro nobis, Sancto Pater!
Masih dalam suasana Paskah, Paus Fransiskus pulang. Bapa Suci bahagia bersama Bapa di surga. Bersama Yesus Kristus yang bangkit.
Haleluya!
Syukur kepada Allah!
Deo gratias!
"Alleluia! Tugas suci sudah purna," kata lagu Paskah lama di buku Madah Bakti. Lagu bagus itu sudah lama hilang karena tidak dimuat di Puji Syukur.
Paus Fransiskus juga manusia. Sama seperti kita. Sakit, masuk rumah sakit sangat lama. Gangguan pernapasan dsb.
Keluar rumah sakit tapi butuh istirahat. Pemulihan. Tapi di usia 88, Paus Fransiskus akhirnya pamit. Memberkati ribuan orang yang memadati Lapangan Santo Petrus.
Sudah selesai! kata Yesus sebelum wafat.
Wus rampung!
Kematian Paus berbeda dengan kematian orang biasa. Santo Bapa, Holy Father, sudah bahagia di surga.
Mengapa bersedih hatimu? Tak perlu sedih. Bapa Suci sudah berada bersama rombongan para kudus di surga, kata kawan lama yang rajin misa harian.
"Justru kita-kita yang masih di dunia ini minta didoakan oleh Paus Fransiskus," katanya.
Rupanya cukup banyak orang di grup media sosial yang sepakat. Bahwa Bapa Suci sudah tenang dalam damai, bahagia di surga. Tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit lagi.
"Mengenang kembali salah satu momen saat Bapa Suci melakukan kunjungan ke Indonesia ❤️ Doakan kami yang masih berjuang di dunia ini Bapa," tulis Janes Sihotang di grup medsos.
Ora pro nobis, Sancto Pater!
Minggu, 20 April 2025
Misteri tangga tua di Jalan Gula Surabaya
Saya naik tangga itu. Setengah ragu. Tapi juga penasaran. Tangga tua itu memanggil. Seperti bisikan dari masa lalu.
Ini Jalan Gula. Di Surabaya. Tempat para pedagang gula dan rempah dulu berjaya. Kini yang tersisa hanya puing, cat yang mengelupas, dan tangga tua yang entah menuju ke mana.
Maureen Nuradhi, dosen dari UC Surabaya, datang ke sini beberapa waktu lalu. Bersama komunitas pencinta sejarah. Ia berdiri di depan tangga itu, lama.
Saya tahu, Maureen tidak sedang menghitung jumlah anak tangganya. Ia sedang mendengarkan bisu sejarah yang bergema di situ.
Tulis Bu Dosen itu: "Sebuah tangga tua, selalu menimbulkan perasaan yang campur aduk. Misteri di ujungnya. Kenangan peristiwa lebih dari seratus tahun yang membekas di semua anak tangganya."
Saya diam. Saya mengerti perasaan itu. Saya juga merasakannya.
Di tikungan Jalan Gula itu, ada ibu penjual kopi. Namanya Munawaroh. Asalnya dari Madura. Orang sini memanggilnya Bu Muna. Ia sudah lama tahu kalau tangga itu punya daya tarik.
"Banyak anak muda datang. Foto-foto. Ada yang buat prewedding juga," katanya.
Saya tanya, "Pernah ada yang aneh?" Ia tertawa kecil.
"Saya sih nggak pernah lihat apa-apa. Tapi suami saya... katanya sering lihat 'beberapa orang'."
Saya tidak tanya lebih jauh, karena Bu Muna sendiri tidak tampak ingin membahasnya lebih dalam. Lagi pula, siapa yang bisa benar-benar tahu siapa yang turun naik tangga itu di malam hari?
Tak jauh dari situ, di Jalan Karet nomor 54, ada bangunan tua lain. Sudah lama kosong. Pernah jadi gudang. Kini mangkrak. Seperti menunggu takdir. Seperti menyimpan cerita yang belum sempat diceritakan.
Surabaya punya banyak tangga seperti itu. Tangga-tangga tua yang bukan sekadar akses ke lantai atas. Tapi juga akses ke masa lalu. Dan mungkin... ke dunia lain.
Sabtu, 19 April 2025
Jumat Agung di Kayutangan, Tiga Romo dari Flores, Passio Edisi NTT
Saya ikut sesi pertama. Jam 12.00. Di Gereja Kayutangan, Malang. Gereja tua yang jadi favorit sejak zaman saya masih sekolah dulu.
Harus ibadat awal karena kantor tidak libur. Tapi tak masalah. Saya tetap bisa WFA—work from anywhere. Jam dua ibadat bubar. Ponsel dibuka, kerja jalan terus.
Satu jam sebelum mulai, gereja sudah penuh. Luar biasa. Deo gratias!
Saya masih dapat tempat duduk di dalam. Di sebelah saya: seorang mahasiswi asal Flores. Manis. Tapi kurus. Entah karena diet ketat, entah karena kantong mahasiswa yang ketat.
Sambil menunggu ibadat dimulai, berdoa Rosario. Satu peristiwa saja cukup.
Lalu gereja mulai sibuk. Misdinar mondar-mandir. Petugas liturgi mulai bersiap. Tiga imam masuk. Semua berbaju merah. Warna khas Jumat Agung.
Romo Simon Rande, O.Carm. Dua romo lainnya lebih muda. Ketiganya dari Flores. Seru juga.
Ternyata bukan cuma imamnya. Yang menyanyikan Passio juga orang Flores. Dua awam dan satu romo yang memerankan Yesus. Lengkap. Tim Passio edisi NTT.
Homili dibawakan salah satu imam muda. Juga dari Flores. Gaya bicaranya santai. Tidak pegang teks. Tidak baca catatan. Semua dari kepala. Logat Flores-nya ada, tapi tidak tebal.
Bagian penghormatan salib seperti sebelum pandemi. Saya sempat mengira cara saat COVID dulu akan jadi norma baru. Ternyata gereja merasa: virus sudah lewat. Tidak perlu lagi jaga jarak dan sterilisasi.
Hari ini saya bersyukur. Bisa ikut Jumat Agung di tempat penuh kenangan. Dapat tempat duduk. Di samping mahasiswi manis pula. Haleluyaaa!
Sabtu, 05 April 2025
Ziarah Pengharapan ke Gua Maria Purworejo di Malang Selatan, Dapat Pelajaran Ilmu Porta Sancta
Hari kedua Lebaran. Saya kabur ke selatan. Agak jauh. Malang Selatan. Donomulyo. Masuk ke wilayah Desa Purworejo. Sudah mepet perbatasan Blitar.
Saya memang sudah lama ingin ke sana. Gua Maria Purworejo. Tempat ziarah yang tidak mainstream. Favorit, tapi sepi. Sunyi, tapi ramai oleh doa.
Jalan ke sana? Masih sama seperti sebelum Covid. Kecil, sempit, rusak di sana-sini. Seolah-olah pandemi tidak pernah terjadi di situ. Atau sudah lupa dibenahi sejak pandemi.
Saya kenal baik juru kuncinya. Pak Joseph Sumarlan. Orang baik. Ramah. Suka menyuguhkan singkong rebus dan legen. Singkong rebusnya empuk. Legennya manis. Perpaduan sempurna. Dunia modern tak sanggup menandinginya.
Tahun ini—2025—Tahun Jubileum. Gereja Katolik memberi banyak kemudahan. Banyak indulgensi. Banyak rahmat. Asal... Anda mau ziarah. Mau berdoa. Mau mengaku dosa. Sakramen rekonsiliasi.
Bapa Uskup Malang mengeluarkan daftar tempat ziarah yang direkomendasikan. Gua Maria Purworejo termasuk. Juga Gua Maria Curahjati di Banyuwangi. Juga Gereja Katedral Malang. Dan beberapa lagi yang saya lupa.
Itulah sebabnya, kali ini Gua Maria ramai. Jauh lebih ramai daripada kunjungan saya dulu-dulu.
Ada rombongan dari Jakarta. Dari Bandung. Dari Surabaya. Dari Malang. Baik kota maupun kabupaten. Luar biasa.
Salah satu yang mencolok: seorang ibu dari Jakarta. Tionghoa. Kayaknya guru agama. Atau katekis.
Ia berdiri di depan Porta Sancta. Pintu Suci. Menyampaikan katekese. Dengan suara tinggi. Tegas. Sedikit galak. Tapi sangat meyakinkan.
"Siapa yang dimaksud dengan Pintu Suci?" tanyanya keras.
Saya ikut tersindir. Soalnya tadi saya juga nyelonong masuk gua. Tanpa berdoa dulu. Tanpa kulo nuwun. Seperti masuk warung.
Padahal, kata ibu itu, Porta Sancta itu bukan pintu biasa. Ada aturan masuknya. Ada maknanya. Ada harapannya.
Dia memimpin doa di luar pintu. Rombongan satu per satu masuk. Pelan. Hening. Khusyuk. Serius.
Ziarahnya benar-benar ziarah. Bukan liburan. Bukan pelarian dari riuh kota.
"Bagus ibu itu. Disiplin," kata Pak Marlan sambil mengunyah singkong.
Saya mengangguk. Setuju. Tapi juga minder. Tertib saya kalah jauh.
Jam sudah pukul 24.00. Peziarah masih datang. Ada yang sendiri. Ada yang berdua. Tidak ramai-ramai. Tapi terus mengalir.
Saya tidur di paseban. Capek.
"Nggak takut tidur di situ?" tanya Pak Marlan.
Saya menjawab: "Kalau ada Bunda dan Porta Sancta, siapa yang perlu ditakuti?"
Padahal... aslinya saya takut ular. Takut lipan. Takut kalajengking. Hantu? Tidak. Tapi makhluk berbisa itu? Iya.
Setiap malam Jumat Legi ada misa. Di gua. Terbuka. Dingin. Sakral. Bahkan rombongan dari Bandung sudah daftar jadi petugas liturgi. Termasuk paduan suara.
Saya ingin ikut lagi. Mungkin Jumat Legi nanti. Atau Legi setelahnya.
Asal masih ada singkong dan legen. Dan Porta Sancta masih terbuka. Haleluya!
