Rabu, 26 Juni 2024

Foto tua nawak-nawak lawas di sekolah tua Ngalam


Berbahagialah anak zaman now. Semua orang punya HP yang bisa dipakai motret, bikin video dsb. Mau motret ratusan kali saban hari pun bisa... kalau mau.

Dulu tidak banyak orang yang punya kamera analog. Digital belum ada. Kalaupun punya kamera belum tentu dipakai karena film sangat mahal. Belum biaya cuci cetak.

Karena itu, ayas boleh dikata tidak punya foto kenangan zaman persekolahan. Foto-foto masa SD dan SMP tidak ada. Foto masa SMA mungkin cuma 2 biji saja. Itu pun kurang jelas.

 Syukurlah, Susana ternyata masih simpan film lawas lalu cuci cetak dan sempat bagi ke media sosial nawak-nawak sesama alumni Mitreka Satata, SMAN 1 Malang. 

Pagi ini ayas tidak sengaja ketemu foto lawas di Facebook. Teman sekelas di A1 yang masih polos tanpa polesan makeup dsb. Cewek kota tapi lugu kayak orang desa aja. Rupanya Wiwik yang unggah foto lawas ini.

Kiri ke kanan: Riris, Susana, Rahima, Wiwik. Di belakang tengah kelihatan si Mama alias Yulia. Si Atika gadis kacamata kayak ngintip. 

Agus kacamata kelihatan berdiri di belakang. Ayas kadit masuk di dalam gambar itu. Ayas memang sering kelewatan kalau ada acara rujakan, makan-makan santai macam itu.

Gambar sederhana itu penuh nostalgia. Jadi ingat Rahima yang berpulang beberapa bulan lalu. Astuti juga sudah menghadap ilahi. Ratno juga sudah selesai tugasnya di dunia ini.

Satu kelas Grafiti Smansa Malang itu ada 42 murid. Tiga kawan sudah tak ada lagi. Nawak-nawak semua makin tua dan sibuk sendiri-sendiri dengan urusan masing-masing.

Wiwik pegawai PDAM Malang kelihatan paling rajin ikut reuni. Riris dan Susana sesekali aja. Yulia sibuk ngurus rumah tangga. 

Semoga nawak-nawak semua tetap tahes dan komes!

Rabu, 19 Juni 2024

Usai, seusai, setelah, sesudah, selepas

Usai Dicopot, Afriansyah Kaji Opsi Hukum

 Begitu judul berita di koran Jawa Pos (JP) hari ini, Rabu 19 Juni 2024.

Saya tertarik membaca judul besar itu gara-gara kata "usai" di depan. Saya jadi ingat pelajaran dasar oleh penyelaras bahasa JP sekian tahun lalu.

Kata usai, seusai, setelah, selepas... dibahas secara khusus karena sering dianggap tidak tepat. 

Ada contoh kalimat di buku panduan redaktur:

Usai diberhentikan dari jabatannya sebagai pelatih Arema FC, Joko Susilo ingin berfokus ke keluarga.

Contoh itu dikatakan salah. Penempatan usai di awal klausa tersebut tidak tepat. Kata usai itu verba = kata kerja.

Kata yang tepat adalah setelah, sesudah. Verba tidak bisa jadi kata hubung. Maka, yang benar, kata usai diubah menjadi seusai.

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tertulis: 

u.sai
v bubar; berakhir; selesai; habis; sudah lampau: karena kedua pihak sudah letih, perkelahian -- dengan sendirinya; sebelum pertunjukan --, dia sudah keluar

Bisa jadi redaktur JP lupa dengan pelajaran lama yang disampaikan Andri Teguh, editor bahasa JP.

 Bisa juga Mas Andri sudah tidak seketat dulu karena sudah pindah ke bagian lain. 

Bisa juga para editor baru menganggap kata usai sama dengan seusai, setelah, atau sesudah. 

Di era digital ini kelihatannya ketelitian bahasa Indonesia yang baik dan benar rupanya tidak lagi dianggap sangat penting. Gaya bahasa cakapan, informal, bukan masalah asal bisa mendatangkan banyak klik atau PV.

Selasa, 18 Juni 2024

Pater John Lado SVD Menikmati Sunyi di Graha Wacana Ledug Prigen Tiada Jejak Digital

Banyak pastor yang tidak punya jejak digital. Biasanya romo-romo yang tidak aktif di media sosial. Biasanya pater-pater generasi tempo doeloe alias old school.

Banyak romo senior yang jejak digitalnya banyak karena populer. Salah satunya Romo Frans Magnis Suseno SJ. Romo Magnis populer karena banyak menulis buku-buku filsafat, humaniora, hingga seni budaya seperti wayang kulit.

Romo Magnis makin terkenal setelah jadi saksi di Mahkamah Konstitusi. Pater asal Jerman ini dihujat oleh jutaan warganet pendukung paslon maksi-gemoy dalam sengketa pilpres lalu. Jejak digital Romo Magnis pasti banyak.

Beda lagi dengan Pater Yohanes Lado SVD. Biasa disapa Romo John Lado SVD. Pastor asal Pulau Lembata, NTT, ini sangat sedikit jejak digitalnya. Dia sibuk mengurus kebun di rumah retret Graha Wacana, Ledug, Prigen, Jawa Timur.

Sebagian besar waktunya habis di kebun. Jarang pimpin misa untuk umat. Cuma sekali-sekali saja kalau diminta pihak paroki di Pandaan, Pasuruan. "Pater John itu dari dulu macam itu," kata Hila petugas keamanan di Graha Wacana SVD.

Karena itulah, saya mencoba bikin catatan ringan tentang Pater Yohanes Lado alias Pater John Lado. Siapa tahu ada sedikit jejak digitalnya. Susah kalau di era digital ini tidak ada informasi sama sekali di mesin pencari tentang pastor-pastor katolik asal NTT.

 Haleluya.. rupanya ada mantan teman Pater John yang terbantu dengan sekeping informasiku. Ama Thomas Todogolo Tokan di Pulau Adonara, NTT, menanyakan keberadaan Pater John sekarang. Dia sudah lama kehilangan jejak kawan lama di seminari tinggi di Ledalero, Flores.

"Waktu itu Lado ketua umum asrama. Orangnya pekerja keras," kata Ama Thomas yang mengundurkan diri saat frater. Jadi umat biasa di NTT.

"Pater John nasih ingat Ama Thomas Todogolo?" tanya saya lewat wasap.

"Saya masih ingat baik nama Thomas Todogolo Tokan. Kalau saya tidak keliru, beliau undurkan diri waktu novis di Ledalero. Dia adik kelas kami. Sekarang   beliau tinggal di mana? Salam buat keluarga dan Thomas Todogolo sekeluarga.Tuhan tetap setia memperhatikan dan memberkati semua kita," tulis Pater John.

Tadi malam Ama Thomas tiba-tiba menelepon saya. Bicara dalam bahasa Lamaholot, bahasa daerah kami di Lembata, Adonara, Solor, Flores Timur. Antusias sekali Ama Thomas nostalgia bersama kawan lamanya, Pater John Lado, yang baru saja berulang tahun.

Ama Thomas mengaku kehilangan jejak banyak kawan lamanya yang jadi pastor di berbagai daerah hingga mancanegara. Salah satunya Pater John ini.

 "Sampaikan salamku kalau Ama ketemu Pater John Lado," kata Thomas yang aktif dalam gerakan pemberdayaan masyarakat di Pulau Adonara.

Sabtu, 15 Juni 2024

Satpam gereja haleluya juga galak dan ketus


Sabtu pagi, hujan lumayan deras di Surabaya Tenggara. Saya gowes sepeda lawas. Mau tidak mau harus cari tempat berteduh. 

Haleluya! Ada gereja di dekat jalan raya. Gereja aliran haleluya. Dua lantai. Lumayan besar.

Saya mampir untuk berteduh. Sepeda pancal diparkir di tempat parkiran motor.

"Selamat pagi, Pak! Hujan deras nih."

"Ada apa Anda ke sini?"

"Berteduh sejenak. Menunggu hujan reda."

Satpam haleluya itu diam saja. Kelihatan curiga dengan orang baru. Mungkin khawatir ada pelaku kejahatan menyatroni gereja haleluya yang bertetangga dengan masjid itu.

Saya mengukurkan tangan hendak salaman. Satpam itu cuek saja. Mungkin khawatir ketularan virus corona atau kuman-kuman penyakit.

Hujan masih turun. Tapi sudah agak berkurang. Saya pamit pulang. Satpam haleluya cuek saja. Fokus nonton berita gosip artis kawin cerai di televisi.

Sambil gowes saya merenung. Kelihatan ada yang keliru dengan manajemen atau tata kelola gereja-gereja kita sekarang. Gereja bukan lagi tempat berteduh bagi siapa saja "yang letih lesu dan berbeban berat".

Haleluya... Haleluya... Haleluya... Haleluya... kelihatannya hanya jadi gimik atau yel-yel kosong di bibir saja. Orang mampir di gereja malah dicurigai.

Satpam haleluya itu beda banget pater-pater Eropa dan Belanda di pedalaman kampung-kampung di NTT zaman dulu. Anak-anak yang bermain atau mampir di gereja biasanya dikasih permen, kue, biskuit, susu bubuk.

Kadang Pater Geurtz SVD di Pulau Lembata membagi pakaian layak pakai. Kadang dikasih kalung rosario, bernika, atau aksesoris khas katolik. 

Siapa saja, apa pun agamanya, boleh berteduh atau berlama-lama di teras gereja, aula stasi, atau duduk sembahyang di dalam gereja. Kalau ada makanan ya dimakan ramai-ramai.

Padahal, dulu jarang ada umat yang teriak haleluya, haleluya, haleluya. Belum ada yang nyanyi sambil tepuk tangan dan loncat-loncat diiringi full band di dalam gereja.

 "Haleluya sudah berubah jadi hale lupa," kata Prof Sahetapy (+) tahun 90-an di Surabaya.

Kamis, 13 Juni 2024

Paus Fransiskus: Khotbah Pastor Paling Lama 8 Menit agar Umat Tidak Ngantuk

Durasi khotbah atau homili di gereja (katolik) sudah lama jadi bahan diskusi. Jauh sebelum ada media sosial dan internet. Dulu biasanya polemik soal begini ditampung di majalah Hidup.

"Pastor, berhentilah berkhotbah!" begitu judul salah satu artikel di majalah mingguan Hidup sekitar 30 atau 40 tahun lalu. Saya nasih ingat karena sangat menarik.

Rabu 13 Juni 2024, Paus Fransiskus bicara di Lapangan St Petrus, Kota Vatikan. Salah satunya tentang durasi homili di gereja. Pastor-pastor diminta agar berkhotbah singkat dan padat.

"Homili seharusnya tidak lebih dari 8 menit. Lebih dari itu umat akan ngantuk," kata Paus asal Argentina itu.

Bukan kali ini saja Paus Frans bicara soal panjang pendeknya homili. Tahun 2018 Paus bilang khotbah sebaiknya tidak lebih dari 10 menit. Tidak perlu improvisasi yang bikin khotbah jadi lama.

Kelihatannya aturan tentang durasi khotbah ini hanya berlaku untuk para imam katolik. Paus Frans sendiri khotbah sampai 20 menit saat misa Kamis Putih tahun ini. Barangkali ada jemaat yang ngantuk.

Kalau saya perhatikan di Jawa Timur, khorbah-khotbah di gereja memang cenderung makin padat dalam 20 tahun terakhir. Tapi masih ada beberapa romo yang agak ngelantur ke sana sini.

Uskup Surabaya Monsinyur Sutikno Wisaksono (RIP) dikenal konsisten dengan homili yang padat dan singkat meski selalu ada bumbu-bumbu humor dan sentilan. 

Uskup Mandagi justru sangat populer dan viral karena khotbah-khotbahnya yang tajam dan penuh humor. Itu juga yang membuat beliau sering diundang komunitas-komunitas pengusaha, karismatik dsb untuk KKR. 

Andaikan khotbah Uskup Mandagi dibatasi 8 menit, ya tidak ada lagi humor-humor khas Manado yang renyah itu. 

Senin, 10 Juni 2024

Pater Anton Kedang SVD Berpulang di Surabaya - Pastor yang Inspiratif dari Lembata

Satu lagi pastor senior pulang ke rumah Bapa. Pater Antonius Kedang SVD meninggal dunia di Biara Soverdi Surabaya, Jalan Polisi Istimewa, Senin 10 Juni 2024 dalam usia 87 tahun.

Pater Anton lahir di Desa Tokojaeng, Kecamatan Ile Ape, Lembata, NTT, 12 Juni 1937. Artinya dua hari lagi genap berusia 87 tahun.

 Di usia yang sangat sepuh, pater ternyata masih relatif kuat. Bisa diajak komunikasi dengan lancar. Misa hari jadinya tahun lalu pun berlangsung cukup meriah. Pater ikut misa meski hanya duduk saja karena tidak kuat berdiri dan berlutut.

Ditahbiskan di Reo, Manggarai, 30 Juli 1968, Pater Anton Kedang SVD lebih dikenal di luar tempat asalnya di Pulau Lembata dan Keuskupan Larantuka. Sebab misi pelayanannya lebih banyak di Jawa dan Sumatera.

Romo Anton Kedang justru lebih dikenal di Kota Surabaya. Khususnya di kalangan umat Katolik lawas. Sebab Romo Anton pernah bertugas sebagai gembala atau pastor di beberapa paroki.

 Sebut saja Paroki Yohanes Pemandi, Wonokromo, dan Paroki St Maria Tak Bercela Ngagel. Orangnya ramah, murah senyum, tak banyak bicara.

Dulu saya mengira Pater Anton Kedang berasal dari Kedang, Lembata. Bisa Buayasuri atau Omesuri. Sebab ada nama belakang Kedang. Belakangan baru saya tahu bahwa Pater Anton Kedang SVD lahir di Desa Tokojaeng, Lembata.

Ternyata... masih tetangga dengan desaku di pelosok Lomblen Island - nama lama Lembata. Sekitar 8 km.  Bahkan, desa atau stasiku masuk wilayah Paroki Tokojaeng. Pemekaran dari Paroki Waipukang.

Tokojaeng atau disebut juga Lamatokan termasuk salah satu desa yang panggilannya subur. Sebelum ada romo dari kampung lain Tokojaeng sudah punya. Salah satunya ya Pater Anton Kedang SVD.

Jejak Pater Anton Kedang kemudian diikuti anak-anak muda lain di Paroki Tokojaeng. Sehingga panggilan imamat di salah satu paroki baru di Dioses Larantuka itu makin subur. Dulu panggilan subur hanya di Pulau Lembata bagian selatan macam Lamalera, Boto, Wulandoni, Kalikasa, Hadakewa.

Terima kasih banyak, Pater Anton Kedang!

Semoga bahagia bersama-Nya di surga!

Minggu, 09 Juni 2024

Sekolah Kedinasan STMKG Kuliah Gratis, Dapat Gaji Bulanan, Lulus Dijamin Jadi PNS

Kuliah supaya dapat kerja. Jadi pegawai (negeri). Buat apa kuliah kalau akhirnya nganggur? 

Lebih baik merantau saja ke Malaysia. Cepat dapat banyak ringgit!

Itu omongan orang kampung di pelosok NTT masa lalu. Dulu tidak banyak anak yang bisa kuliah. Bisa lanjut ke SMA/SMK pun sedikit.

 Biasanya lulus SD (banyak juga yang tidak lulus) langsung "melarat" ke Malaysia. Biasanya Sabah, negara bagian Malaysia di Pulau Kalimantan bagian utara. 

Karena itu, pagi ini saya terkesan saat membaca informasi sekolah kedinasan terkait Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Kebetulan pagi tadi saya gowes dekat BMKG Juanda. Satu kompleks dengan Bandara Internasional Juanda di kawasan Sedati, Sidoarjo.

 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) masih membuka pendaftaran taruna baru. Taruna itu istilah untuk mahasiswa di sekolah-sekolah kedinasan. 

Taruna tinggal di asrama, badan tegap, rambut cepak, gagah seperti tentara. Tata cara pergaulan dan sebagainya sudah dibentuk ketika masuk asrama dan kuliah semester awal sampai tamat.

BMKG Juanda menginformasikan bahwa STMKG sedang membuka pendaftaran calon taruna baru mulai tanggal 15 Mei sampai dengan 13 Juni 2024. Pendaftaran dibuka untuk lulusan SMA (sederajat) dengan syarat usia 15 sampai 23 tahun.

Kuliahnya di STMKG gratis. Beda dengan di universitas biasa yang mahal dan UKT-nya dinaikkan beberapa kali lipat meski kabarnya dibatalkan oleh Mas Menteri. Orang tua mana yang tak senang anaknya kuliah gratis dan dijamin jadi pegawai negara?

Mahasiswa STMKG bahkan mendapatkan tunjangan atau gaji setiap bulan. Kampusnya nyaman di Tangerang. "Begitu lulus kamu bisa langsung menjadi calon ASN di BMKG," demikian pengumuman di laman BMKG Juanda.

Persyaratan kuliah di STMKG, selain usia maksimal 23 tahun, adalah belum menikah dan bersedia tidak menikah selama pendidikan di STMKG. Tinggi badan wanita minimal 155 cm dan pria minimal 160 cm.

Selain itu, tidak buta warna, bukan pengguna narkoba, sehat jasmani dan rohani. Ada lagi satu syarat yang perlu dipertimbangkan sebelum mendaftar di STMKG. Yakni, bersedia dan siap ditempatkan di seluruh wilayah NKRI. 

Menggiurkan memang kuliah di STMKG. Namun, formasinya terbatas. Kampusnya cuma satu dan mahasiswanya berasal dari seluruh Indonesia. Tentu persaingan untuk mendapatkan kursi di STMKG sangat ketat.

Kalau bisa lolos seleksi ya.. masa depan cemerlang. Bisa joget gemoy atau joget komando seperti bakal ketua negara. Bukan hanya makan siang gratis, tapi juga makan pagi, makan malam, makan angin juga gratis.

WiFi juga sudah pasti gratis.