Lagu lama Bunda Pembantu Abadi sangat terkenal di kalangan umat Katolik. Khususnya di NTT. Khususnya lagi di Flores, Lembata, Adonara, Solor, Alor. Diciptakan orang Flores.
Melodinya manis khas lagu-lagu liturgi dari NTT. Tingkat kesulitannya rendah. Mudah dibawakan kor-kor di stasi atau kampung tanpa perlu latihan berjam-jam.
Lagu Bunda Pembantu Abadi kemudian menyebar ke mana-mana. Di gereja-gereja katolik di Jawa pun sering dinyanyikan paduan suara. Biasanya kor yang dirigennya orang NTT. Lama-lama Bunda Pembantu Abadi tersebar juga ke luar NKRI.
Saya lihat di YouTube lagu Bunda Pembantu Abadi ini juga dibawakan di Italia, Jerman, Belanda dsb. Biasanya dibawa pater-pater atau suster-suster asal Flores NTT yang bertugas di Eropa, Amerika, Afrika dsb.
Di Tiongkok tidak ada pater atau suster asal Indonesia. Bisa diusir Tuan Si Chin Ping yang agak anti Barat. Katolik Roma dianggap berbau Barat. Maka Tiongkok bikin Gereja Katolik Tiongkok Cinta Tanah Air.
Belakangan ini sering ada diskusi di grup-grup katolik yang saya ikuti. Salah satunya grup lagu misa dan musik liturgi. Polemiknya bukan tentang musik, aransemen, tata suara.. tapi frase "pembantu abadi". Istilah Inggrisnya: perpetual help.
Rupanya banyak orang Katolik keberatan kalau Bunda Maria disebut pembantu abadi. Kesannya kurang sopan. Kasar. "Kata pembantu tidak cocok. Mestinya diganti penolong," kata seorang Katolik dari Jawa Tengah.
Banyak anggota grup yang sepakat bahwa kata "pembantu" kurang cocok. Konotasinya kayak pembantu rumah tangga (PRT). Wong PRT saja sudah lama diganti jadi ART: asisten rumah tangga. ART lebih halus, keren, modern. Pembantu masih ada nuansa baboe macam zaman Hindia Belanda.
Saya akhirnya cek video-video di YouTube. Ternyata banyak padus sudah lama menggunakan penolong abadi, bukan pembantu abadi. Pertimbangannya karena itu tadi.. kesopanan dan kepantasan. Masak, Bunda Maria disamakan dengan ART.
Sebagai penyunting naskah dan mantan dirigen padus, meski cuma level mudika dan lingkungan, saya sendiri tidak keberatan dengan syair asli lagu Bunda Pembantu Abadi. Kata bantu sama artinya dengan tolong. Pembantu = penolong. Sama saja. Sinonim.
Cuma memang ada nuansa kata yang berubah seiring perkembangan zaman. Kata-kata yang tempo doeloe netral mungkin sekarang dianggap tidak sopan. Itu disampaikan Prof Gorys Keraf di buku tata bahasa zaman dulu.
Gorys Keraf yang asli Pulau Lembata, NTT, kampung pemburu ikan paus di Lamalera, menyebut gejala bahasa peyorasi vs ameliorasi. Rupanya kata pembantu dan babu mengalami peyorasi. Kata asisten dianggap lebih sopan dan bermartabat. Jadilah ART.
Yang jadi masalah, komposisi musik paduan suara garapan Frater Albert SVD (tentu sudah lama jadi pater) tidak bisa diubah seenaknya baik satu dua not maupun satu dua kata.
Revisi lirik harus sepengetahuan komposer aslinya. Lebih bagus lagi kalau sang komponis sendiri yang mengubah syair atas masukan dari sana sini.
Itulah yang dilakukan Komisi Liturgi KWI ketika merevisi syair lagu-lagu Madah Bakti untuk dimuat di buku Puji Syukur. Sebagian besar komposer setuju syair lagu karangannya direvisi sesuai keinginan KWI. Tapi ada juga komposer yang menolak lagu-lagunya dirombak syair dan melodinya.
"Apa yang sudah kutulis tetap tertulis!"
Kata-kata Pilatus ini jadi prinsip Paul Widyawan komposer asal Jogjakarta. Karena itu, tidak ada satu pun lagu karangan Paul Widyawan yang dimuat di Puji Syukur. Padahal lagu-lagu liturgi inkulturasi karya Paul Widyawan (+) paling banyak mengisi buku Madah Bakti.
Bisa jadi suatu ketika kata penolong pun dianggap tidak sopan di Indonesia. Maka judul lagu itu bisa berubah lagi menjadi Bunda Asisten Abadi.