Jumat, 29 Juli 2022

Om, Ina sudah diterima di Undana!

Terlalu lama tidak mudik membuat kita kehilangan orientasi. Sering pangling dengan kampung halaman. Tidak kenal anak-anak kecil yang ternyata keponakan dekat, anak-anak teman, dsb.

Waktu berlalu, tau-tau anak-anak kecil ingusan di kampung itu sudah besar. Sudah jadi gadis remaja. Kita orang juga makin tua.

"Om, Ina sudah lulus SMA. Puji Tuhan, diterima di Undana," kata Ina Yuli, ade Erni Hurek punya anak.

Undana: Universitas Nusa Cendana di Kupang. Perguruan tinggi negeri, universitas terbaik di NTT. Ina diterima di fakultas keguruan.

Syukur kepada Allah! Tidak banyak anak Lomblen Island yang bisa tembus Undana kalau tidak pinter betoel. 

Ina Yuli memang anak Lembata tapi sekolah SMA di Kupang. Negeri pula. Jadi, ada penyesuaian selama tiga tahun untuk menghadapi seleksi masuk PTN.

Mengapa masuk fakultas keguruan? Ina kelihatannya punya angan-angan ingin bikin pinter anak-anak Lembata. Biar punya wawasan lebih bagus. Biar tidak ditipu oleh orang-orang pendatang yang lebih pinter.

Sekarang memang zaman telepon pinter. Orang-orang juga makin keras adu pinter. Pinter-pinteran... keminter.

Rabu, 27 Juli 2022

Pabrik Paku Madjid Asnoen di Waru Riwayatmu Dulu

Saya pernah dapat kiriman buku dari seorang profesor di USA: Surabaya, City of Work, karya Howard W. Dick. Kajian yang mendalam tentang perkembangan ekonomi di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan sekitarnya.

"Kamu perlu baca buku itu. Kamu punya bahasa Inggris tidak terlalu buruk," kata profesor botak yang pandai berbahasa Indonesia itu.

Sayang, buku tebal itu hilang entah ke mana. Beberapa kali dipinjam mahasiswa yang mau skripsi, difotokopi, dibaca.. tapi tidak dikembalikan. 

Nah, salah satu yang dibahas HW Dick adalah pabrik paku di kawasan Kedungrejo, Waru, Sidoarjo.  Yang bersebelahan dengan Terminal Purabaya.

Gara-gara membaca buku itu, meski agak berat karena pakai academic English, saya jadi kenal nama Madjid Asnoen, pengusaha top, crazy rich Surabaya tempo doeloe. Madjid importer terkemuka sejak zaman Hindia Belanda. Tidak kalah dengan tauke-tauke dan kongsi-kongsi Tionghoa yang sangat merajalela saat itu.

Madjid Asnoen, Rahman Tamin (Ratatex), Moesin Dasaad (Kantjil Mas), dan beberapa lagi dianggap sebagai pengusaha pribumi dan industriawan yang hebat. Karena itu, mereka diharapkan jadi lokomotif perekonomian Indonesia setelah tahun 1950. Belanda baru benar-benar minggat pada akhir Desember 1949. 

Nah, Madjid Asnoen yang sudah konglomerat itu kemudian diberi dukungan penuh, insentif, dsb untuk mendirikan pabrik paku di Waru, Sidoarjo. Sebab, Presiden Soekarno menganggap bahan-bahan bangunan sangat dibutuhkan rakyat dari Sabang sampai Merauke. 

Pabrik Paku Madjid Asnoen itu memang berkembang pesat. Didukung rantai distribusi Firma Madjid Asnoen yang memang sudah mapan sejak era kolonial Belanda. Beda dengan taipan-taipan Tionghoa yang bisnisnya kocar-kacir setelah ditinggal meneer-meneer Belanda. 

Saking terkenalnya, pabrik paku jadi land mark atau tetenger di kawasan Waru dekat perbatasan Surabaya. Seluruh kawasan Bungurasih, Kedungrejo, hingga Kureksari biasa disebut pabrik paku. Terminal Purabaya di Desa Bungurasih belum ada. Dulu orang cuma kenal Terminal Joyoboyo.

 "Bungurasih dulu masih hutan, sawah-sawahnya banyak," kata Eni Rosada, Kades Bungurasih, yang baru saja lengser. "Pabrik paku itu sudah ada di Waru jauh sebelum saya lahir," Bu Kades menambahkan.

Berbeda dengan pabrik Ratatax di Balongbendo yang sudah lama rata tanah, pabrik paku di Waru masih bertahan meski tidak lagi pakai nama Pabrik Paku Madjid Asnoen. Manajemennya sudah berbeda.

Informasi yang beredar di media sosial, pemerintah daerah mengubah peruntukan lahan di kawasan Kedungrejo, Waru, dan sekitarnya. Tidak lagi untuk pabrik seperti era 1950-an hingga 1980-an tapi permukiman dan perdagangan. Maka izin HGB tak akan diperpanjang lagi.

Kalaupun pabrik paku di Waru itu tutup (atau relokasi), sepertinya kawasan itu akan tetap disebut pabrik paku. Sama dengan Ratatex yang juga jadi land mark di Balongbendo. 

Selasa, 26 Juli 2022

Nostalgia Sejenak di Biara Frateran BHK Malang

Nostalgia sejenak di Malang atawa Ngalam. Dulu saya biasa mampir ke Frateran Bunda Hati Kudus (BHK) di Celaket 21. Ketemu para frater satu daerah asal Pulau Flores, Lembata, Adonara, Solor, NTT. 

Ada guru SD asal Pulau Lembata yang terpanggil jadi frater. Orang ini paling jago melatih drum band di Lomblen City tempo dulu. Tiba-tiba ia "hilang" dan parade drum band di saya punya kecamatan tidak ada lagi.

Eh, ternyata bapa guru itu tersesat di jalan yang benar. Dan saya bertemu dia di Malang. Orangnya ramah seperti orang kampung umumnya.

"Ama, mo menu kopi ki," ajak Frater M. Andreo, BHK. (Mas, minum kopi dulu.)

"Ama Frater, kopi nepi gula take?" (Bapa Frater, kopi ini kok tidak ada gulanya?)

Sejak itulah saya paham bahwa biara-biara macam BHK selalu menyediakan kopi panas tanpa gula. Gula pasir disediakan di situ. Kita tinggal memasukkan gula sesuai selera. Boleh satu sendok, dua sendok, empat sendok dsb.

Model kopi pahit tanpa gula ini belakangan saya temui di hotel-hotel. Pengunjung tinggal menambahkan gula satu saset, dua saset, tiga saset (kemanisan) dsb. 

Selain biara Frateran BHK, ada SMPK Mardiwiyata yang diasuh para frater itu. Frater M. Clemens Keban, BHK asal Pulau Solor, pendiri museum zoologi di kawasan Dau, Kabupaten Malang, belum lama ini berpulang. Mendiang Fr Clemens pernah jadi pimpinan tertinggi BHK.

Frater Clemens ini seorang pendidik yang luar biasa. Guru paling top di Larantuka, Flores Timur, dulu. Murid-murid seperti terpukau kalau diajar Fr Clemens. Sebab ia punya kemampuan story telling yang hebat sekali.

Peserta didik selalu merasa kurang kalau pelajaran Fr Clemens selesai. Ingin tambah terus. "Fr Clemens memang guru paling top. Sulit mencari orang seperti beliau," kata Paulus Latera, mantan murid Fr Clemens di SPG Podor, yang kini jadi guru SMA Petra di Kalianyar, Surabaya.

Nostalgia kali ini di BHK hanya dari luar saja. Masih ada protokol kesehatan, jaga jarak, pakai masker, cuci tangan dsb. Saya pun sudah tidak punya kenalan khusus macam Frater Clemens atau Frater Andreo di bangunan kolonial yang perkasa itu. 

Jumat, 22 Juli 2022

Bapa Niko naika tun telo kae

Jumat 22 Juli 2022. 

Amak nimun naika Bapa Langun kae. Go kai rae Paroki Roh Kudus, Gununganyar, Surabaya,  pesan misa arwah 3 tahun.

Petugas paroki (naranen koi hala) sorong amplop. Tulis intensi misa. Pate stipendium ake lupang. 

Onek peten Bapa, peten Mama! Matay peken kame ana pat.

Go balik lewo koi mo hala muri. Inak take, amak take.. go ata kiden. Heku mayang go muri rae lewo!

 Lewotanah, tanah ekan, lango di data laga kae. Ile rae lewo bete paera.

Bapa Niko, peten kame ana moen.
Mama Yuli, peten kame ana moen.

Requiem aeternam..

Rabu, 20 Juli 2022

Bisa terlelap di mana saja

Betapa nikmat jika bisa tidur di mana saja. Dan bisa pulas meski tak lama. Apa gunanya tidur lama tapi tak nyenyak?

Mantan menteri, pengusaha, bos media ini membagikan foto saat sedang tidur di kursi bandara. Tak ada gengsi atau sungkan sebagai orang penting. VIP.

Yu Xiansheng menulis:

"Kursi bandara bak tempat tidur.
Ternyata banyak juga yang seperti saya, terlelap di mana saja."

Tidur di mana saja, kapan saja, memang sudah lama dilakoni Mr Yu. Kadang di lantai, kursi, dsb. Rupanya kebiasaan lama ini masih berlaku meski siansen ini sudah lama jadi orang terkenal dan kaya raya. 

Guru sekolah favorit di Jatim tidak paham Pulau Flores

NTT atau Nusa Tenggara Timur alias Nasib Tidak Tentu bukan provinsi yang luas. Tapi pulau-pulaunya banyaaak. Ada yang bilang 100 hingga 200.. yang pasti di atas 100 biji.

Ada tiga pulau besar (tepatnya dianggap besar) di NTT: Flores, Sumba, Timor. Pulau terbesar di NTT tentu Pulau Timor. Tapi pulau yang tempo doeloe jadi sarang cendana wangi itu terbagi dua negara: Timor Leste dan Indonesia. 

Pulau Timor bagian barat masuk Indonesia. Ibu kota Provinsi NTT (Nanti Tuhan Tolong) di Kupang. Kota Kupang itu berada di Pulau Timor. 

Karena Pulau Timor dibagi dua, maka Flores dianggap sebagai pulau terbesar di NTT. Karena itu, Pulau Flores sangat terkenal di NTT. Tapi di luar NTT tetap tidak dikenal.

 Selalu ada pertanyaan di Pulau Jawa: Flores itu dekat Ambon ya? Flores dekat Papua? Bahkan bulan lalu ada orang di Surabaya yang menyebut Flores itu dekat Batak. Orangnya sangat ngotot meski saya koreksi dan jelaskan bahwa Flores itu salah satu pulau di Provinsi NTT.

"Oh, keliru. Flores dekat Batak," katanya. 

Yo wis.. sing waras ngalah! Saya pun ngalah dan tidak lagi meladeni omongan orang itu. Sia-sia!

Kemarin saya ngobrol dengan seorang guru senior SMAN 3 Malang di ponsel. Cerita tentang gedung sekolah tua peninggalan Belanda dekat Alun-Alun Bunder dan Balai Kota Malang. Topik yang asyik karena saya paham betul kompleks sekolah itu. SMAN 1, SMAN 3, SMAN 4.

Anehnya, di Malang ini SMAN 2 malah berada di Kotalama. Menempati eks sekolah Tionghoa yang dirampas pada awal Orde Baru. SMAN 5 Malang juga menempati eks gedung sekolah Tionghoa Machung hasil rampasan juga. Rampas merampas aset-aset asing memang sempat jadi budaya di negeri ini.

Nah, Pak Guru itu mengaku sempat ngopi bareng dengan Bupati Flores dan anggota DPRD Flores. Bupati Flores? Dari kabupaten apa?

"Bupati Flores, NTT," katanya.

Oh, rupanya guru sekolah negeri paling favorit di Malang itu tidak tahu banyak tentang Pulau Flores. Dia kira Flores hanya ada satu kabupaten. Bupatinya ya satu, Bupati Flores itu.

Lalu, saya jelaskan sedikit tentang kabupaten-kabupaten di Pulau Flores. Di masa Orde Baru ada 5 kabupaten: Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur. Setelah reformasi jadi 8 kabupaten. Manggarai tambah 2 dan Ngada tambah 1 kabupaten.

Pulau Lembata yang sebelumnya ikut Flores Timur pun jadi kabupaten sendiri. Karena Lembata dianggap bagian dari Flores, maka total jenderal ada 9 kabupaten di Flores. Pemekaran kabupaten ini sebetulnya ada skenario untuk membentuk provinsi baru: Provinsi Flores. Entah kapan bisa terwujud.

"Oh, ternyata Flores wilayahnya luas ya. Pikirku hanya 1 kabupaten," kata guru di SMA negeri paling top di Malang itu.

Saya pun merenung. Kalau orang berpendidikan tinggi, wawasan luas, pengajar sekolah favorit saja tidak paham Pulau Flores, bagaimana dengan yang lain? Padahal Flores itu pulau terbesar di NTT. Apalagi Pulau Lembata, Adonara, Solor, Alor, Pantar, Sabu, Rote, dsb.

Senin, 18 Juli 2022

Waduh, harga pisang goreng naik 100%

Kopi, koran, pisang goreng.

Itu kebiasaan lama yang sulit hilang. Meski saat ini berita-berita, ulasan, artikel tersedia berjibun di internet, media sosial dsb. 

Baca koran tanpa ngopi bak sayur tanpa garam. Kurang terasa kenikmatan kopi rada pahit itu.

Pisang goreng pun nikmat sekali. Apalagi pisak kepok. Di Surabaya Raya pisang kepok mahal sehingga jarang digoreng untuk jajanan di warkop. Biasanya tersedia di hotel atau kafe kelas atas.

Pisang goreng di Jawa sebetulnya tidak seenak di Pulau Flores, Pulau Lembata, Pulau Solor, Pulau Adonara, Pulau Alor dan pulau-pulau kecil lain di NTT. Sebab di Jawa ini minyak goreng buatan pabrik olahan sawit. Dus, lebih tepat disebut minyak sawit.

Di NTT, khususnya Flores Timur dan Lembata, minyak goreng itu disebut HELAN TAPO alias minyak kelapa.  Helan = minyak, tapo = kelapa. Sawit bukan tapo (kelapa) sehingga tidak bisa disebut helan tapo.

Di Jawa Timur hampir tidak ada helan tapo alias minyak kelapa. Bahkan istilah "minyak kelapa" atau "lengo kelopo" pun tak pernah saya dengar. Yang ada cuma minyak goreng. Maksudnya ya minyak sawit.

Berita-berita di koran pagi ini biasa saja. Tidak ada yang menarik. Cuma kelanjutan atawa running news kasus polisi tembak polisi. Ada dua kapal terbakar di Kalimas Surabaya.

 Unair ternyata masih serius produksi vaksin Merah Putih untuk membasmi covid. "Beter telaat dan nooit toch," kata wong lawas yang seneng Hollands Spreiken. 

Pisang goreng telu + kopi piro? "Songo, Cak," kata pelayan warkop di kawasan Medokan Ayu dekat tambak-tambak dan hutan bakau.

Oh, ternyata harga pisang goreng naik 100%. Biasanya 2.000 karena bukan pisang kepok. Pisangnya juga tidak besar.

Bisa jadi harga gorengan naik gara-gara minyak goreng alias minyak sawit langka. Meski Presiden Jokowi pernah melarang ekspor sawit dan bahan mentah minyak sawit agar persediaan di dalam negeri melimpah. Asumsinya harga turun kalau stok banyaaaak.

Harga naik itu biasa. Tapi kenaikan yang sampai 100% mungkin cuma ada di Indonesia.

Itu juga karena sistem mata uang rupiah sudah lama bermasalah. Pisang goreng yang tadinya 1000 mestinya naik 1100, 1200, 1300. Harga baru 1500 pun kelewat mahal karena naik 50%. Yang normal itu kenaikan sekitar 10% lah.

Syukurlah, ongkos naik haji dan pigi wisata ziarah di Vatikan atawa Lourdes tidak ikut naik 100%.