Rabu, 06 April 2022

Tukang Becak dan Pemulung Kembang Jepun Berumah di Angin

Angin sudah bertahun-tahun jadi tukang becak. Mangkal di pojok barat Kembang Jepun. Selain Angin, ada beberapa lagi abang becak yang mangkal di kawasan kota lama Surabaya itu.

Angin tidak peduli angin malam yang dingin dan, kata orang, membawa penyakit. Juga tidak peduli hujan deras, banjir dsb. Apalagi cuma gerimis tipis. Angin tetap bisa tidur pulas di atas becaknya.

"Kalau ngantuk ya tidur. Kadang mimpi," kata Angin yang selalu berbahasa Jawa halus kulonan.

Pernah dapat nomer? 

Pernah, katanya. Tapi lebih sering tidak kena. Cuma sekali-sekali saja Angin nombok nomor togel, judi toto gelap kesukaan tukang becak atau wong cilik lainnya. Kalangan kuli tinta biasanya senang tebak skor di situs-situs mancanegara.

Bulan puasa ini Angin juga puasa. Meski tetap harus genjot becaknya dengan kaki. Angin belum pakai mesin motor seperti becak-becak di Surabaya saat ini.

 "Alhamdulillah, masih puasa. Kalau ndak kuat ya ndak puasa," katanya.

Tidak takut covid? 

"Alhamdulillah, mboten. Kalau waktunya mati ya mati. Ada ndak ada covid ya tetep mati kalau memang wis wayahe," katanya enteng.

Tak jauh dari situ, masih di Kembang Jepun, ada Petir. Tukang pijat rangkap pemulung sampah-sampah plastik. Petir pun sudah belasan tahun meninggalkan rumahnya di Gresik. Ia memilih jadi gelandangan.

Petir tidur di emperan gedung tua peninggalan Belanda yang telantar. Kantor penting tempo doeloe itu selalu tertutup. Tidak jelas siapa pemiliknya sekarang.

Kalau Angin tidur di atas becak, Petir tidur di atas papan. Biasanya kemulan sarung rangkap dua. Kelihatan asyik banget orang ini tidur. Biasanya ngorok agak keras. 

"Alhamdulillah, masih dikasih rezeki," katanya setiap kali ditraktir kopi, rokok, atau nasi bungkus.

Pak Petir ini kecanduan berat rokok. Uang hasil pijat dan pulung sampah biasa dipakai beli rokok. Beras atau nasi atau mi nomor sekian. Karena itu, Petir sering kelihatan seperti orang kelaparan dan loyo. 

"Mana nasi bungkusnya?" kata Petir setiap bertemu orang yang sudah dikenalnya.

Selama pandemi covid dua tahun ini Angin, Petir, Guntur, Kilat, dan kawan-kawan jarang pakai masker. Tidak paham protokol kesehatan 3M atau 5M meski sering baca surat kabar pemberian wartawan. 

Polisi dan satpol PP sering bagi masker gratis di kawasan itu. Cuma dipakai sebentar lalu dicopot. Manusia-manusia bebas, T4, tunawisma, gelandangan macam ini kelihatannya kebal virus corona. Padahal Angin dan kawan-kawan belum divaksinasi.

Selasa, 05 April 2022

Kacang kapri ternyata mahal banget

Kacang kapri asli Gresik. Hosana mereknya. Since 1990. 

Sudah lumayan lama camilan kapri ini. Tapi saya baru tahu pagi tadi. Juga baru tahu kalau kacang kapri itu sangat mahal ketimbang kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, dan kacang-kacangan lain.

Satu bungkus kecil Rp 50 ribu, kata pelayan di salah satu depot di Gresik.

Apa tidak salah dengar? Camilan kapri jauh lebih mahal ketimbang nasi krawu gresik plus teh panas? 

Itu yang murah. Yang agak besar 80 ribu. Ada yang 100 ribu, kata ibu itu meyakinkan saya.

Oh, begitu!

 Kacang kapri ternyata mahal di Jawa Timur. Lebih mahal dari duren kelas sedang. Durian kelas biasa-biasa saja bisa dapat tiga Rp 50 ribu.

Dari dulu kacang kapri memang mahal, katanya. Ibu itu berusaha meyakinkan saya yang terlihat belum percaya dengan harga kacang kapri cap Hosana itu.

Apa boleh buat, kaprinya sudah dimakan meski kurang enak. Wajib bayar. Anggap saja buat pengalaman. Biar kapok. Kali lain jangan beli kacang kapri yang harganya gak umum itu.

Mendingan beli durian meski kadang cuma dapat duren bosok.

Apes! Dapat Duren Bosok di Pasar Lawang

Asyik juga jalan-jalan di Lawang. Ada Hotel Niagara yang antik + bumbu-bumbu cerita anehnya, Rumah Sakit Jiwa (RSJ) paling top, bangunan-bangunan lawas, hingga Pasar Lawang yang selalu ramai.

Kawasan RSJ dr Radjiman di Sumber Porong belakangan ini sepi. Tak banyak pasien dan keluarganya sliwar-sliwer. Warga setempat pun tak banyak lewat. Sesekali ada mobil dan motor menuju ke perumahan baru di ujung kompleks RSJ. 

Malang Anggun Sejahtera namanya. Kawasan perumahan ini masih mirip hutan atau kampung baru.

Saya agak pangling di kompleks RSJ ternama itu. Banyak sekali bangunan baru. Suasana khas rumah sakit kurang terasa. Tak tercium bau obat-obatan. Tak terlihat perawat-perawat dan dokter pakai seragam kebesaran baju putih.

Syukurlah, ada kopi yang layan enak di salah satu kafe. Khas Ngalam kata pedagang. Tidak terlalu pahit dan keras. Tapi juga tidak seenteng kapal api.

Tak ada hiburan di RSJ, saya langsung cabut ke pasar. Lagi musim durian di Lawang, Purwodadi, Pandaan, Trawas. Biasanya duren-duren di Lawang lebih murah ketimbang di Ngalam Atok (Malang Kota). 

Duren memang banyak sekali dijajakan di lapak-lapak depan pasar. Kebetulan hampir semua pedagangnya berbahasa Inggris Timur alias telo lema. Cocok buat latihan bicara dengan native speaker.

"Yang ini masak pohon.. nyaman," kata mama tua telo lema.

Dilihat dari luar memang bentuknya sangat meyakinkan. Bersih dan agak gemuk. Tebal gak dagingnya? Wis ta.. nyaman nyaman, kata bakul duren itu.

Akhirnya, ayas beli duren kelas sedang produk lokal. Sudah lama gak makan duren. Sekarang saatnya menikmati duren di Lawang. Syukuran karena covid mulai melandai di Jawa Timur.

Malang tak dapat ditolak... duren yang lumayan mahal itu ternyata bosok separo. Hanya separo yang bisa dimakan. Itu pun kurang enak karena ada cacat dari sananya. 

Mau dikembalikan tidak mungkin. Maki-maki pedagang itu pun tak ada gunanya. Sebab, dia hanya menjalankan tugasnya untuk meyakinkan pembeli. Salah sendiri mau beli duren di pinggir jalan.

Kapok lombok. Kapok beli duren tapi biasanya kumat lagi.

Sabtu, 02 April 2022

Jumat, 01 April 2022

Kambing Haram, Babi malah Halal di Pelosok NTT

Semalam Mas Tri Ongko bagi-bagi berkat akikah. Menu daging kembang yang lezat. Ada sate, gula, krengsengan. Sangat jarang ada acara makan enak seperti ini.

Awalnya saya ragu dengan kuliner kambing. Tapi akhirnya sikat saja. Sudah sekian tahun tidak makan daging kambing meski sangat sering lihat orang angon kambing di tambak-tambak dekat Bandara Juanda.

Bukan apa-apa. Setiap lihat sate kambing, gulai kambing, krengsengan kambing.. saya jadi teringat kampung halaman. Jauh di pelosok Pulau Lembata, NTT. Ada semacam hukum adat nenek moyang yang wajib dipatuhi.. di kampung.

Salah satunya pantang makan daging kambing. Dulu saya pikir semua jenis kambing diharamkan adat Lewotanah. Setelah saya cek ulang, ternyata hanya kambing jenis wedhus gembel atau domba atau biri-biri yang bulunya lebat itu. 

Aturan itu hanya berlaku untuk suku (marga) Hurek Making. Juga beberapa suku yang masih satu tungku atau rumpun.

 Selain domba, daging anjing dan ikan lumba-lumba juga haram untuk suku Hurek. Babi malah tidak haram. Mulai babi kampung, babi belanda, babi putih kuping lebar, babi hutan, celeng dsb. Babi rusak tidak dikenal.

 Tidak ada marga di kampung yang mengharamkan babi. Kecuali mereka yang beragama Islam tentu saja. Macam keluarga besar Ama Hasan Hurek atau keluarga besar Ama Haji Tadong, Ama Imam Paokuma dsb dsb. Mereka-mereka ini golongan Watan Lolon atau orang Islam sejati yang amat taat rukun-rukun agamanya.

Marga-marga lain juga punya pantangan yang berbeda. Ada yang pantang bebek atau sapi. Ada yang haramkan ikan paus. Ini karena setiap marga punya legenda atau riwayat sendiri.

"Ikan lumba-lumba dulu yang tolong kita punya nenek moyang," kata kakek tokoh adat di desa dulu.

"Anjing juga yang menolong kita punya suku lango (keluarga besar) dari bala bencana," begitu tuturan turun temurun.

Bagaimana dengan domba? Ada ceritanya juga tapi saya lupa.

Bagaimana kalau kita melanggar pantangan adat? 

Ada sanksinya. Ada juga ritual untuk penghapusan kesalahan. Waktu SD saya pernah diruwat di rumah adat karena ketahuan makan RW alias krengsengan anjing.

Ketika makan sate kambing, di tanah rantau, apalagi di Jawa, kita tidak tahu pasti itu kambing atau domba. Maka sebaiknya dihindari. Kecuali terpaksa karena tak ada pilihan lain.

Karena itulah, saya biasanya menghindari konsumsi daging kambing. Tapi alasannya sengaja dibuat agak ilmiah: daging kambing bikin darah tinggi. Tekanan darah naik dsb. Kebanyakan makan daging kambing bisa stroke.

Semalam saya anggap menu akikah kambing dari Mas Tri bukan domba. Kalaupun wedhus gembel ya tetap saya anggap wedhus kambing. Agar tidak melanggar nasihat-nasihat adat Lamaholot di Pulau Lembata sana.

Enak sekali ternyata daging kambing itu. Bumbu-bumbunya pas. Jeroannya boleh juga. Alhamdulillah!

Nasi kotak yang dikirim Tri ternyata masih bersisa. Semua orang dapat bonus satu lagi untuk dibawa pulang. Dimakan besok pagi pun masih bisa. Belum basi.

Jumat pagi ini saya sarapan nasi gule kambing, sate kambing, krengsengan kambing. Sedap sekali. Tidak takut darah tinggi atau aturan adat di kampung nan jauh di mata.

Belakangan baru saya sadar. Jumat ini hari pantang. "Jangan makan daging pada hari pantang," begitu bunyi salah satu butir Lima Perintah Gereja.

Mea culpa, mea culpa!
Mea maxima culpa!

Semut pesta jemblem

beli jemblem di pasar krempyeng

lima ribu dapat empat

biasanya dapat lima

saiki sembarang larang, lengo larang, gulo larang, kata pedagang telo lema


sudah lama kita orang tak makan jemblem

singkong parut campur gula merah

cocok jadi teman ngopi

jemblem itu tak langsung dimakan

agak siang sajalah


kopi tubruk kapal api siap ngombe

ratusan semut mengepung jemblem

bagai tentara putin mengepung ukraina

semut pesta jemblem

Kamis, 31 Maret 2022

Gedung Tua Cagar Budaya di Kembang Jepun yang Wingit

Mama tua asal Madura jualan kopi di emperan Kembang Jepun. Dekat Bank Mega d/h Bank Karman. Gedung-gedung tua di kawasan kota lama Surabaya itu memang banyak yang tutup. Ada tukang becak dan pengelana istirahat.

Saya pesan kopi tubruk. Pisang rebus dua biji. Mama asal Madura, tinggal di Pesapen, bicara dalam bahasa Madura. Selalu semangat dan bersyukur atas rezeki saban hari meski tidak banyak. Alhamdulillah, katanya.

Di depan mata ada Kya Kya. Gapura Kembang Jepun. Kawasan pecinan yang pernah jaya di masa lalu. Pernah dihidupkan jadi semacam pasar malam tapi kini lengang setelah magrib.

Di sebelah selatan jalan raya ada beberapa gedung tua. Kembang Jepun 165 ditempeli tanda bangunan cagar budaya. Bangunan kolonial yang masih lestari dan dianggap jadi penanda kawasan. Tidak boleh diubah, kata aturan undang-undang.

Dulunya gedung apa? Tak oneng, kata mama tua Pesapen itu. Meskipun sudah puluhan tahun jualan di situ, dia tak oneng (tahu) gedung apa di depannya. Dari dulu tutup terus, katanya.

Di Google pun tak ada keterangan. Cuma ditulis bangunan cagar budaya di Surabaya. "Pintu depan tutup terus sejak dulu. Biasanya ada pegawai masuk dari belakang," kata Suryadi yang bekerja di Kembang Jepun sejak pertengahan 1980-an.

Lumayan, Cak Sur tahu sedikit. Kembang Jepun 165 itu semacam kantor administrasi bangunan di kawasan Oud Soerabaia. "Orangnya selalu ngetik pakai mesin ketik lawas. Manual," kata lelaki asli Kaliasin itu.

Sembari nyeruput kopi tubruk, saya iseng periksa buku daftar telepon Surabaya tahun 1954. Perusahaan-perusahaan Tionghoa, Belanda, Arab, India, hingga pribumi masih eksis di Surabaya. Kembang Djepun, Kalimati, Petjinan Kulon, Tepekong, Kalimas, Bakmi.. dan nama-nama jalan gaya lawas lainnya.

Wow... akhirnya ketemu di buku telepon lawas koleksi orang Belanda itu. Bond van Huiseigenaren Jalan Kembang Jepun 165. Direkturnya Poeh Toeng Chan.

Kalau diartikan secara bebas: asosiasi para pemilik rumah. Mungkin itu yang dimaksud Suryadi sebagai kantor urusan administrasi untuk Surabaya Utara.

Gedung di sebelahnya, Kembang Jepun 163, juga sudah lama tutup. Puluhan tahun. Tapi banyak orang lama yang pernah tahu. Dulunya pabrik es balok. Pabrik es Kalimalang. Jalan pendek di selatan Kembang Jepun itu memang bernama Jalan Kalimalang.

Suasana kawasan itu memang jauh berbeda dengan di foto-foto Kembang Djepoen tempo doeloe yang meriah. Kini sudah meredup dimakan waktu. The glory is over! 

Mama tua pun berkemas-kemas. Mau kembali ke Pesapen.

Jangan mandi Kali Pesapen
Kali Pesapen banyak lintahnya
Jangan kawin noni Pesapen
Noni Pesapen banyak tingkahnya

Ayun ayun ayun in die hoge klapperboom...