Sabtu, 05 Maret 2022

Menyepi di RSJ Sumber Porong Lawang

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr Radjiman Wediodiningrat di Sumber Porong, Lawang, cukup terkenal di Indonesia. Kalau ada orang sakit jiwa biasanya dirujuk ke sini. Termasuk pasien-pasien dari luar Jawa.

Dulu saya beberapa kali berkunjung ke Sumber Porong ini. Bukan sakit ingatan tapi mampir ke rumah mertua seorang Lembata, NTT. Tentu saja lewat kawasan RSJ Sumber Porong itu.

Entah sudah berapa tahun saya tidak mampir ke rumah sakit ingatan (istilah lama) yang dibuka tahun 1902 itu. Pembangunannya sendiri tahun 1884. RS tentu bukan tempat wisata atau mejeng. Apalagi mejeng di RSJ. Bisa ramai.

Namun, setelah membaca narasi dan foto di grup media sosial tentang tempo doeloe, saya jadi tertarik mampir ke RSJ Radjiman. Apalagi sedang santai di Lawang.

Suasana kawasan itu masih relatif sama dengan tahun 1990-an. Hijau, sejuk, nyaman, indah. Tak banyak orang melintas selain warga setempat. Paviliun-paviliun sedang tutup rapat. Tak ada pasien yang jalan-jalan cari angin di halaman.

Saya coba minta izin satpam untuk melihat sejenak salah satu paviliun tapi tidak diizinkan. Sebab dianggap tidak berkepentingan. "Kecuali keluarga pasien," katanya.

Apa boleh buat, saya hanya bisa mampir ke salah satu depot di ujung kompleks RSJ. Menikmati kopi pahit sambil mendengarkan lagu lawas di depot itu. Seger waras!

Kamis, 03 Maret 2022

Menikmati James Ingram di tengah covid

Salah satu kesibukanku di masa pandemi ini adalah nonton YouTube. Kadang dengar khotbah-khotbah lawas Billy Graham, pidato-pidato presiden Amerika Serikat, dan nonton rekaman konser musik. Terutama musik-musik lawas.

Dulu saya terlalu asyik dengar musik instrumental. Orkes simfoni, resital piano, aksi para instrumentalis jazz Amerika hingga Bubi Chen dari Surabaya. Kemudian musik-musik kontemporer yang aneh dari Slamet Abdul Sjukur dan sejenisnya. Ajaran almarhum Mas Slamet memang sangat mempengaruhi selera dan pilihan dengar saya.

Belakangan saya sadar bahwa terlalu banyak mendengar musik tanpa kata ternyata punya sisi negatif. Telinga saya jadi kurang terbiasa mendengarkan lirik-lirik dalam bahasa Inggris. Itu juga membuat lemah di listening. Sulit menangkap kata-kata bahasa Inggris dari penyanyi asli USA.

Maka, sejak pandemi saya biasakan dengar lagu-lagu Barat yang syairnya jelas. Bukan rap atau speed metal yang kata-katanya tidak jelas itu. Tempo moderato atau sedang-sedang saja.

Lagu-lagu pop lawas jadi pilihan terbaik untuk menikmati musik sambil belajar listening. Makin tua lagunya makin gampang ditangkap kata-katanya. Macam My Way, Love Me Tender, Baby Blue, I Don't Like to Sleep Alone etc etc.

Namun, dari sekian banyak itu saya menganggap James Ingram yang paling enak. Baik lirik maupun musikalitasnya. Lagu-lagu James Ingram bukan pop biasa tiga jurus ala country atau Rinto Harahap dan Pance di Indonesia. Musiknya awalnya sederhana tapi makin lama makin complicated alias ruwet.

Tidak mudah membawakan komposisi seperti itu kalau tidak didukung vokal hebat sekelas James Ingram atau Whitney Houston. Lagu-lagu dahsyat ala festival internasional. James Ingram, seperti juga Whitney, sudah tak ada tapi lagu-lagunya akan abadi.

I did my best
But I guess my best wasn't good enough
Cause here we are
Back where we were before

Seems nothin' ever changes
We're back to being strangers
Wondering if we ought to stay
Or head on out the door

Just once
Can we figure out what we keep doin' wrong
Why we never last for very long
What are we doin' wrong?

Rabu, 02 Maret 2022

Memento homo, quia pulvis es

Masih ada satu dua spanduk ucapan selamat tahun baru yang belum dicopot. Eh, kini sudah masuk masa puasa. Dimulai dengan Rabu Abu, 2 Maret 2022.

Sudah dua tahun tidak terima abu di gereja karena pandemi covid. Hanya bisa dapat berkat dan abu virtual saja. Daun palma yang usang pun tidak bisa diganti karena belum bisa leluasa misa langsung di gereja.

Apa boleh buat. Wabah corona ini ujian Tuhan yang harus kita lalui. Sebagai manusia lemah tak berdaya. Kita makin disadarkan betapa rapuhnya manusia ketika diserang virus corona yang super mikron itu.

Wahai manusia, engkau itu debu dan akan kembali jadi debu!

Memento homo, quia pulvis es, et in pulverem reverteris!

Rabu Abu membuat kita sadar bahwa manusia itu cuma noktah abu. Debu. Masa Paskah ini jadi momentum pertobatan sebelum... kita jadi debu.

Kamis, 24 Februari 2022

Tinggal di Malang, Kerja di Surabaya, Biasaaaa

Konco-konco lawas alias cowas akhirnya hadir di Kembang Jepun, Surabaya. Ikut merayakan hari jadi surat kabar. Kasih semangat dan vitamin agar media cetak mampu bertahan di era digital.

Ada Bang Koco dan Cak Hendar dari Malang. Cak Amu jurnalis top Jawa Pos yang pernah jadi manajer Mitra Galatama. Cak Pin pakarnya masalah Kota Surabaya. Cak Iku jagoan lobi pejabat kepolisian. Bung Sahara jago nyanyi hard rock dan petualang off road.

Suasana jadi meriah. Nostalgia mengenang masa lalu ketika masih sering dimarahi juragan. Sekaligus mengulas kualitas media massa di era digital saat ini. "Banyak tantangan tapi selalu ada peluang," kata para senior itu.

Sayang, protokol kesehatan ketat tidak memungkinkan nanggap penyanyi dan organ tunggal atau orkes. Padahal Cak Takim, pimpinan orkes dangdut terkenal, hadir juga. "Saya cuma sediakan sound saja. Masih pandemi jadi tidak ada live music," kata bos OM Rollista, Krian, itu.

Apa boleh buat, Cak Sahara tidak bisa unjuk kebolehan melantunkan lagu-lagu Deep Purple, Rolling Stones, dan sejenisnya. Cak Pin juga tak bisa membawakan lagu-lagu dangdut lawas. "Sing penting waras. Tidak kena covid," katanya.

Sambil menikmati sego pecel, minumnya Jamu Iboe, saya terkenang Bang Koco dan Cak Hendar. Juga beberapa karyawan dan mantan karyawan yang tinggal di Malang. Betapa cintanya mereka dengan kota sejuk itu.

Bayangkan, selama bertahun-tahun Bang Koco dan Cak Hendar pergi pulang Malang-Surabaya. Enam hari seminggu. Menempuh jarak sekitar 100 kilometer.

Bang Koco dulu pakai motor laki yang gagah. Malang-Surabaya tak sampai dua jam. Cak Hendar lebih banyak naik bus. Mendiang Cak Hari langganan sepur. Setiap hari asyik melintasi jalanan Malang ke Surabaya. Begitu seterusnya sampai pensiun atau resign.

Mengapa kuat ngelaju Malang-Surabaya selama bertahun-tahun? Mengapa tidak kos saja? Akhir pekan baru ke Malang?

Ternyata tidak semudah itu. Malang itu zona nyaman. Sang istri yang asli Malang tak akan mau tinggal di Surabaya. Biasanya pernah dicoba tapi tidak kerasan karena dirasa panas dsb. Suami yang harus ngalah. Harus mengukur jalan setiap hari.

"Itu semua perjalanan hidup. Kalau sekarang pasti tidak kuat naik motor Malang-Surabaya," kata Bang Koco agak lirih  Suaranya tak selantang dulu. Motor yang gagah pun sudah dijual.

Pengalaman Bang Koco, Cak Hendar, dan cowas-cowas asal Malang ini menunjukkan bahwa sejak dulu sejak dulu sudah banyak warga komuter. Tinggal di Malang kerja di Surabaya. Tinggal di Sidoarjo kerja di Surabaya mah biasa. 

Jarak 100 kilometer tidak dianggap jauh di Jawa Timur. Sementara di NTT jarak 40 kilometer atau 50 meter dianggap sangat jauh. Maklum, kualitas jalan sangat buruk sehingga motor hanya bisa melaju dengan kecepatan rata-rata di bawah 20 km/jam.

Rabu, 23 Februari 2022

Rijaman pelukis pointilisme Surabaya menghadap Sang Khalik

Satu per satu pelukis dipanggil pulang ke pangkuannya di masa pandemi ini. Mas Rijaman, seniman Suroboyo yang terkenal dengan pointilisme, meninggalkan kita.

Kaget juga karena Rijaman sering bagi cerita tentang berbagai kegiatannya. Juga suka komentar sosial politik trending topic. Selalu kritis tapi pakai guyonan khas punakawan.

Terakhir Rijaman gelar pameran tunggal di Lippo Plaza, Gresik. Pameran tunggal ke-19. Sekaligus pameran terakhirnya. Alirannya tetap sama: pointilisme. Tak banyak perupa di Jawa Timur yang menekuni pointilisme karena ribet.

Pointilisme butuh ketelatenan dan kesabaran. Sebab melukis objek di kanvas besar pakai titik, titik, titik, titik. Bintik-bintik itu disatukan jadi gambar pemandangan. Objek yang ditekuni Rijaman sejak 80-an.

"Mau gimana lagi? Aku memang paling cocok dengan pointilisme," kata Rijaman di sejumlah pameran tunggalnya. Paling sering di Tunjungan Plaza.

Saya yang awam seni rupa dulu sering dapat kuliah gratis dari Mas Rijaman. Senang karena alirannya tidak umum. Hanya dia sendiri yang menekuni sampai akhir hayatnya. Banyak pelukis lain yang coba-coba bikin pointilisme. Tapi cuma iseng sekali dua.

Makin lama saya makin sering bertemu Rijaman. Di Ngagel Jaya Selatan. Sebab ia sering mengunjungi Ibu Siti Rijati (alm) pelukis senior yang ternyata dulu sama-sama belajar di Taman Budaya, Gentengkali. Ngomong panjang lebar soal lukisan.

Saya cuma nguping saja karena sering gak nyambung. Tapi Rijaman selalu memaksa saya ikut diskusi karena saya dianggap paham seni rupa. "Banyak aliran di seni rupa. Bu Rijati punya aliran sendiri," katanya.

Konsumen atau pembelinya juga lain-lain?

"Jelas," kata Rijaman.

Pembeli atau bahasa halusnya, kolektor, lukisan-lukisan pointilisme ala Rijaman juga terbatas. Sangat segmented. Tapi selalu ada. Dan umumnya orang-orang beruang yang senang pemandangan yang indah, padi menguning, bukit berbunga, dan sejenisnya.

Karena itu, Rijaman selalu bikin pameran di pusat perbelanjaan alias mall. Sesekali di hotel. Dan selalu pameran tunggal. Bukan pameran ramai-ramai lima pelukis, 10, 15, atau 25 pelukis. Durasi pamerannya pun lama. Bisa satu bulan dan sering diperpanjang.

Pameran lukisan yang sifatnya apresiasi, eksperimen, pun jarang diikuti Rijaman. Sebab pameran macam itu dianggap tidak ramah pasar. Bukan market friendly. "Sopo sing tuku? Yang nonton pun biasanya sesama pelukis juga," katanya.

Sudah lama saya tak jumpa langsung Rijaman sejak pandemi covid merebak awal 2020. Cuma bisa say hallo atau komen pendek di media sosial. Pameran tunggal terakhirnya di Gresik pun tak bisa lagi aku nikmati.

Lalu muncul kabar duka dari Rojib, pelukis Sidoarjo, bahwa Mas Rijaman sudah tidak ada. Kita kehilangan pelukis yang mau bergelut dengan pointilisme selama puluhan tahun di Surabaya.

Selamat jalan, Mas!

Selasa, 15 Februari 2022

Vaksinasi ketiga melawan virus setan corona

Rombongan kami, pekerja media massa, ikut vaksinasi pertama dan kedua paling awal di Jawa Timur. Langsung di kantor Gubernur Jawa Timur dan disaksikan Gubernur Khofifah. Dapat suguhan makanan yang enak pula setelah disuntik vaksin Sinovac.

Vaksinasi massal di kantor gubernur itu bukan karena kita orang sangat penting atawa VIP. Tapi dianggap kelompok risiko tinggi. Sering bertemu aneka macam manusia. Maka kita orang punya badan harus dilindungi dengan vaksin untuk melawan virus setan bernama corona itu.

Vaksinasi kedua pada 13 Maret 2021. Sudah lama sekali. Hampir satu tahun yang lalu. Artinya sudah saatnya vaksinasi ketiga atawa booster. Meskipun banyak juga yang sudah dapat vaksin langsung dari alam pada bulan Juni hingga Agustus 2021. Saat puncak wabah varian Delta yang mengerikan itu.

Lantas, kapan vaksin booster? Belum jelas. Yang dapat prioritas adalah warga lansia. Rombongan kami yang risiko tinggi belum dapat jatah. Stok vaksin terbatas, kata teman yang biasa ngurus vaksinasi massal.

Stok vaksin yang banyak di Jawa Timur adalah Sinovac. Sedangkan vaksinasi booster harus pakai yang bukan Sinovac. Padahal AZ atau Moderna tidak sebanyak stoknya di tanah air.

Selasa 15 Februari 2022.
Selepas nggowes, saya iseng-iseng mampir di kantor polisi di Gunung Anyar, Surabaya. Minta informasi tentang vaksinasi dosis ketiga untuk umum. Siapa tahu dibolehkan.

Setelah ditanya macam-macam, riwayat vaksinasi, KTP mana dsb, petugas akhirnya bilang boleh. Tapi tidak boleh banyak-banyak warga bukan KTP Surabaya. "Silakan fotokopi KTP dulu," katanya.

Puji Tuha

Akhirnya saya bisa dapat vaksin ketiga di Surabaya. Tidak pakai banyak birokrasi. Di Sidoarjo sendiri masih fokus untuk lansia. Surabaya memang lebih maju dua tiga langkah di Jawa Timur.

Semoga setelah vaksin ketiga ini pandemi covid segera berlalu. Dan tak ada lagi vaksinasi covid dosis keempat, kelima, keenam dst meskipun virus setan yang namanya corona akan terus bermutasi jadi delta, omicron, dan entah apa lagi.

Sabtu, 05 Februari 2022

Biasakan membaca berita-berita yang tidak disukai

Membaca tulisan, berita, artikel, atau buku yang menyenangkan itu asyik. Pasti dibaca sampai selesai. Bahkan selalu terasa kurang. Mirip ketagihan ngopi, ngerokok, atau emping melinjo.

Itulah yang membuat catatan-catatan Dahlan Iskan selalu ditunggu. Kalau dulu seminggu sekali di koran cetak, sekarang bisa dibaca tiap hari. Ada rasa kehilangan kalau tidak baca catatan beliau yang unik lengkap dengan bumbu sambal humor Suroboyoan.

Bagaimana dengan membaca tulisan yang tidak menarik? Berita tentang olahraga yang tidak kita sukai? Misalnya, hoki, rugby, paralayang, pergolakan politik di Haiti, Madagaskar, dan sejenisnya? Ini yang menantang.

Sangat tidak gampang membaca berita-berita yang tidak kita sukai. Karena itu, tidak banyak orang yang membaca semua berita di surat kabar atau majalah. Membaca 50 persen berita saja sudah bagus. Bahkan, 30 persen sudah bagus.

"Aku malah cuma baca judul-judul aja. Paling cuma baca 4 atau 5 berita aja. Itu pun tidak seluruhnya," kata Cak Slamet, wartawan senior yang juga gurunya wartawan.

"Sekarang malah gak langganan koran sama sekali. Aku baca berita-berita di internet yang aku suka aja. Gak sempat baca koran lagi," kata Cak Hendry, penulis buku yang juga pensiunan wartawan.

Tak hanya para pensiunan, banyak sekali wartawan-wartawan muda yang masih aktif juga jarang membaca surat kabar, majalah, atau medianya. Apalagi generasi milenial yang tidak biasa baca koran saat masih sekolah atau kuliah. Mereka ini tidak bisa konsentrasi membaca dalam durasi panjang. Sebentar-sebentar lihat media sosial di HP dan sebagainya.

Karena itu, tulisan wartawan-wartawan muda umumnya tidak ada improvement. Selalu bikin kesalahan tata bahasa, diksi, kata depan di sering disambung, lead yang kacau, tidak runut, kalimat-kalimat panjang dsb. Masalahnya sederhana, reporter-reporter muda tidak mau membandingkan naskah aslinya dengan naskah editan yang dimuat di koran atau laman online.

Seorang editor senior, lulusan Amerika Serikat (USA), sering menasihati para pekerja media supaya selalu berusaha membaca berita-berita yang (dianggap) paling tidak menarik di koran atau majalah. Dari awal sampai akhir. Meskipun tidak suka, ya tetap membaca, membaca, dan membaca.

Misalnya, advertorial tentang produk kacamata, obat kuat, situasi di Yaman atau Honduras, atau olahraga yang tidak umum di Indonesia. Pagi ini saya baca berita Kyokushinkai di Jawa Pos. Olahraga asing bagi saya tapi tetap diikuti dari kalimat pertama hingga kalimat terakhir.

Berat memang membaca berita atau naskah yang tidak kita sukai di koran. Tapi masih jauh lebih bagus karena sudah diedit oleh redaktur dan diperiksa editor bahasa alias copy editor. Jauh lebih sengsara membaca naskah-naskah mentahan dari penulis yang ruwet dan bikin pusing.

Karena itu, tidak heran para editor atau redaktur atau penyunting, atau apa pun namanya, biasanya lebih gampang stres, pusing, cepat botak. "Dan, bisa setengah gila kalau kurang piknik atau hiburan," kata Cak Sugeng, redaktur senior koran terkenal yang sudah meninggal dunia (bukan covid).