Sabtu, 29 Agustus 2020

Terlalu banyak data hangus


Semalam terlalu capek. Ketiduran. Lagu-lagu lawas gaya swing khas Hendri Rotinsulu terus mengalun. Sampai pagi.

Bangun agak kesiangan. Lalu muncul pesan pendek (SMS):

"Pkt XTRA Combo 15GB+15GB, 30hr, Rp129rb Anda terhenti karena pulsa tidak cukup utk perpanjangan. Isi pulsa mudah di myXL atau internet/m-banking. Info 817."

Waduh. Lupa beli pulsa semalam.

Hanguslah data yang cukup banyak. Masih sekitar 15 GB. Sangat besar. Anak-anak sekolah cuma dijatah 10 GB untuk pembelajaran daring selama sebulan.

Kalaupun pulsa cukup pun tetap hangus datanya. Yang bisa diakumulasi cuma 1 GB. Provider XL rupanya sudah mengubah sistem jualannya.

Dulu data sisa diakumulasi atau ditambahkan saat memperpanjang paket. Saya lupa. Karena itu, saya hemat data selama bulan Agustus ini. Eh, ternyata malah hangus banyak sekali datanya.

Hikmahnya, saya makin tahu kebutuhan data internet sebulan. 30 GB terlalu banyak. Apalagi saya mengurangi nonton bola tengah malam. Dan tidur lebih awal. Saat pandemi.

Dulu saya coba paket data 10G sebelum pandemi korona. Ternyata kurang. Itu juga karena terlalu sering nonton bola dan video-video petualangan dan lagu-lagu swing jazz lawas.

Lalu coba paket 20G. Pernah kurang tapi pernah sisa. Lalu muncul tawaran diskon 15G+15G bulan lalu. Alias 30G. Ternyata, itu tadi, kebanyakan.

Beberapa menit lalu muncul SMS:

"XTRA Combo 10GB+10GB 89rb sdh aktif, berlaku s.d 28/09/2020 00:00."

Semoga cukup untuk menikmati YouTube, WA, browsing, WFH, dan sesekali blogging.

Salam sehat untuk semua!

Jumat, 28 Agustus 2020

Kata Mereka tentang Saya

Ternyata saya sempat 'dirasani' sejumlah wartawan senior Jawa Pos Group di salah satu WA Group. Kebetulan saya sudah lama tidak ikut grup-grup yang tidak ada hubungan dengan kerjaan. Memori ponselku terlalu sempit untuk menampung data dari WAG yang besar itu.

Menarik. Gara-gara pertanyaan Pak Maksum, dosen, mantan redaktur opini Jawa Pos. Saya kenal Pak Maksum, bahkan tahu tempat duduknya, dulu. Tapi ia tidak kenal saya.

Kalau ketemu langsung, saya yakin Pak Maksum kenal. Cuma tidak tahu nama saya.

Bung Thom, eks wartawan senior JP Group, yang membagikan sedikit percakapan di WA Group para jurnalis lawas itu. Ceritanya, nama saya tercatat sebagai salah satu pemesan buku biografi Cak Soeryadi, mantan karyawan Jawa Pos, yang jago sepak bola itu.

Maksum: "Mbak Oemi, sopo Hurek itu Mbak?"

Soeryadi: "Hurek itu redaktur Radar Surabaya Pak Maksum."

ArNov Palabo (pensiunan wartawan ekonomi Jawa Pos): "Hurek iku dulu Redaktur Suara Indonesia/Radar Surabaya. Areke pendiam berat. Tapi, nek diajak ngobrol, omonge uuuuaaaakeeeeh.

Nek diajak ngobrol, guyone luar biasa gayeng. Sangat nyaman diajak berteman."

Maksum: "Lah, maka itu Cak Nov karena saya belum kenal nanya."

ArNov Palabo: "Memang anaknya gak banyak omong, Cak Sum. Tapi grapyak dasyat. Asal NTB klo gak salah."

Amri (redaktur Jawa Pos): "Bang Hurek itu arek NTT mas.. Lembata tepatnya. Bener. Kalo udah ngobrol sama dia, seru banget. Wawasannya luas."

David Yusuf (wartawan senior): "Lembata NTT Flores."

Isna Fatmawati (mantan wartawan Radar Surabaya dan Tabloid Nurani):

"Lambertus Lusi Hurek, Redaktur satu ini emang bener-bener top markotob. Beliau berasal dari Lembata (Flores Timur) NTT, tapi sudah lama sekali merantau ke Pulau Jawa.

Saya banyak belajar dari beliau. Pak Hurek sudah saya anggap bapak sekaligus guru menulis.

Model liputan blusukannya jadi acuan saya tiap kali liputan. Cara mengajarnya bak seorang guru, enak, mudah dipahami, dan langsung masuk.

Pak Hurek tidak pernah bilang tulisanmu salah, atau tulisanmu kurang bagus tidak cocok. Tapi, beliau menegur dengan kalimat-kalimat positif yang bisa membangun wartawan bimbingannya menjadi lebih baik. Saya akan selalu merindukan bimbingan dari Pak Hurek."

Menarik juga komentar teman-teman wartawan senior Jawa Pos dan Isna yang milenial asli Pagerwojo, Sidoarjo. Komentar-komentar positif, bikin senang.

Tapi ya itu.. ada banyak sisi negatif yang tidak disebut para kolega. Mungkin aku kurang luwes dan luas bergaul sehingga Pak Maksum tidak kenal saya.

Padahal, sejak mahasiswa saya mengikuti analisis berita dan ulasan Pak Maksum setiap pagi, Senin sampai Kamis, di Radio SCFM Surabaya. Saat itu Maksum yang sehari-hari redaktur opini Jawa Pos menjadi salah satu narasumber di SCFM.

Matur nuwun atas komentar konco-konco lawas (cowas) Jawa Pos Group.

Gunawan PSI Berjuang Jadi Wakil Wali Kota

Tak ada kata menyerah dalam kamus Gunawan. Sudah kepalang basah kudu maju terus. Berjuang agar bisa jadi calon wakil wali kota Surabaya. Jadi pendamping Muhammad Yasin.

Gunawan, kader PSI, pengusaha Tionghoa. Juga pendeta salah satu gereja haleluya alias evangelical di Surabaya. Pasangannya, Yasin, orang Sampang, Madura.

"Kami maju karena didukung rakyat," ujar Bro Gun, sapaan Gunawan.

Rakyat yang mana? Gunawan tidak menjawab. Maklum, lagi sibuk cari dukungan sekian ratus ribu KTP. Sangat berat memang syarat maju dari jalur perseorangan atau independen.

Pagi ini ada berita di koran. Bawaslu tolak permohonan Yasin-Gunawan. Gara-gara jumlah dukungan kurang. Sangat jauh dari angka minimal.

"Bagaimana Bro Gun? Apakah masih ada secercah sinar? Setitik asa?" tanya saya rada guyon via WA.

Sudah saya duga. Gunawan belum angkat bendera putih. Asa masih ada. "Tim masih berjuang lewat PTUN," katanya.

Bro Gun masih percaya bahwa keputusan KPU Surabaya yang mencoret paslon Yasin-Gunawan itu keliru. Sebab, versi dia, jumlah e-KTP dukungan sudah cukup.

Saya tidak bertanya lebih detail karena persoalan Yasin Gunawan vs KPU Surabaya sudah jelas. Dan Gunawan tidak punya banyak waktu untuk ngobrol sejak mantap mencalonkan diri sebagai pemimpin Kota Surabaya.

Mengapa begitu ngotot maju pilkada? Apakah Anda punya nilai jual? Elektabilitas tinggi?

Bagaimana dengan Yasin yang orang Sampang? Siapa yang kenal dia di Surabaya?

"Jangan salah Bro! Warga Surabaya keturunan Madura itu banyak lho. Di Surabaya Utara banyak banget," kata Bro Gun sebelum pandemi korona.

Gunawan juga tidak gentar melawan Machfud Arifin, mantan kapolda, yang diusung 8 partai. Pun tak gentar dengan paslon dari PDI Perjuangan.

Yang pasti, saat maju dalam pemilu legislatif tahun lalu, Gunawan tidak terpilih. Kurang suara. Kalah sama beberapa kader PSI yang usianya lebih muda.

Bagaimanapun juga kegigihan dan keuletan Bro Gunawan patut diapresiasi. Ia membuktikan bahwa orang Tionghoa di Surabaya punya peluang yang sama di bidang apa saja. Bisa jadi pedagang, profesional, pendeta, politisi.. bakal calon wali kota.

Selasa, 25 Agustus 2020

Sayap Patah SSO - Berpulangnya Suwadji Widjaja

Makin banyak orang penting yang meninggal dunia akhir-akhir ini. Ada yang sakit biasa, usia sepuh, ada yang kena corona. Ada penyakit penyerta plus Covid-19.

Plt Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin berpulang pada Sabtu lalu, 22 Agustus 2020. Selama ini Cak Nur sehat walafiat. Bahkan sempat mengambil alih kerja tukang kubur dengan memakamkan jenazah pasien covid di Sidoarjo.

Eh, setelah tiga bulan, Cak Nur kena covid. Lalu meninggal dunia. Tak lama setelah masuk rumah sakit dan kembali ke pangkuan Beliau. Ajal memang datang kepan saja. Hanya Beliau yang tahu.

Pagi ini, Selasa 25 Agustus 2020, saya dapat kabar dukacita. Pengusaha Suwadji Widjaja meninggal dunia. Usianya 77 tahun.

Jenazah Pak Suwadji akan dikremasi di Kembang Kuning, Surabaya, Kamis 27 Agustus 2020. RIP!

Cukup lama saya mengenal Bapak Suwadji Widjaja sebagai pendiri Surabaya Symphony Orchestra (SSO). Orkes simfoni ini dibentuk bersama Solomon Tong, dirigen dan guru musik terkenal di Surabaya.

Suwadji yang mengurus logistik bersama para pengusaha Tionghoa. Sedangkan Solomon Tong, 81, yang menangani sektor musik, artis, aransemen, paduan suara dsb. Itu yang membuat SSO mampu bertahan sejak akhir Desember 1996.

Suwadji sendiri bukan musisi. Bukan penyanyi. Tapi sangat hobi menikmati musik. Karena itu, dia bersama temannya Solomon Tong bikin SSO.

"Agar Surabaya punya symphony orchestra. Kota sebesar Surabaya harus punya symphony orchestra," katanya.

Sudah lama saya tak bertemu Pak Suwadji untuk ngobrol atau wawancara. Terakhi Desember 2012. Jelang Konser Natal SSO di Hotel Shangri-La Surabaya. Bertepatan dengan perayaan 16 tahun SSO.

SSO resmi diluncurkan pada konser pertama di Hotel Westin (sekarang JW Marriot), Jalan Embong Malang, Surabaya, pada 11 Desember 1996. Saat itu banyak orang skeptis akan masa depan SSO.

"Ada yang meramal paling-paling hanya bertahan satu dua tahun saja. Ada yang bilang konser lima kali saja sudah bagus," tutur Suwadji.

Singkatnya, hampir tidak ada seorang pengusaha pun yang optimistis dengan SSO. Maklum, di Indonesia ini sangat sulit mempertahankan keberadaan sebuah orkestra simfoni yang memang sangat sepi dukungan sponsor. Padahal, biaya produksi dan biaya operasional sangat besar.

Mengapa SSO bisa bertahan?

"Semua ini karena pimpinan dan berkat Tuhan semata-mata. Yah, bila kita menoleh ke belakang, jalan yang ditempuh SSO ini tidak rata dan berliku-liku," katanya saat itu.

Suwadji dan Solomon memang sangat ingin agar SSO atau orkes simfoni bisa bertahan di Surabaya. Karena itu, dukungan pengusaha, donatur, pemerintah, hingga media massa sangat dibutuhkan.

Rupanya keinginan Suwadji dan Tong tidak akan mudah terwujud di sini. Apalagi di era masker ini. Ekonomi sedang limbung. Masyarakat lebih fokus ke sembako. Musik bukanlah kebutuhan pokok. Apalagi musik klasik.

Kepergian Suwadji Widjaja membuat SSO seakan kehilangan salah satu sayapnya. Tinggal sayap satunya lagi: Solomon Tong. Itu pun bukan lagi Solomon Tong yang energetik seperti 20 atau 15 tahun lalu.

Namun, seperti yang sering disampaikan Suwadji dalam pidato-pidato pengantar konser SSO, bagi Tuhan tak ada yang mustahil.

Selamat jalan Bapak Suwadji Widjaja!

Selamat menikmati simfoni yang indah di surga!

Minggu, 23 Agustus 2020

Jawa Pos Minggu Gaya Tabloid

Koran Jawa Pos edisi Minggu ini (23 Agustus 2020) tampil beda. Ukurannya separo dari biasa. Jadi tabloid. Tampilannya lebih menarik. Berita-beritanya lebih padat. Nuansa senggangnya lebih terasa.

Ya.... Jawa Pos melakukan redesain. Khusus edisi Minggu. Dari koran 7 kolom jadi setengahnya. Tinggi 300 mm x lebar 5 kolom.

Direktur Jawa Pos Koran Leak Kustiya mengatakan, redesain ini sebetulnya sudah diuji coba tahun 2013. Uji coba sukses. Banyak yang suka. Tapi belum langsung diterapkan.

Nah, ketika dunia dihajar pandemi, barulah Jawa Pos menengok lagi hasil uji coba 7 tahun lalu itu. Kemudian disesuaikan dengan tren surat kabar dunia.

Koran-koran internasional yang sukses umumnya berukuran tabloid. The Sun, Washington Post, The Straits Times.. tabloid. Sangat tebal. Maka tabloid Jawa Pos edisi Minggu pun terbit 32 halaman. Alias 16 halaman koran biasa.

Saat ini Kompas cuma 16 halaman. Surya, Memorandum Radar Surabaya hanya 12 halaman. Sejak harga kertas naik gak karuan. Ditambah pandemi virus corona itu.

"Kami harus mengikuti habit koran-koran negara maju. Edisi Minggunya sangat tebal. Sangat mencerminkan kemajuan bisnisnya," kata Leak yang juga kreator di balik redesain Jawa Pos.

Bisnis. Iklan. Itu yang jadi nyawa media massa. Itulah yang kurang jalan di terbitan Minggu. Sebagian besar pengusaha dan pemerintah sangat jarang yang pasang iklan di hari Minggu.

Karena itu, banyak koran yang tidak terbit hari Minggu. Kalaupun terbit, halamannya ditipiskan. Atau asal terbit saja. Itu yang rupanya mau diharap Jawa Pos dengan edisi tabloid mingguannya.

"Kalau penerbit surat kabar bisa menggairahkan edisi minggunya berarti koran apa pun akan maju secara bisnis," tulis Leak Kustiya.

Bagamana respons pembaca? Kita akan lihat setelah lima atau enam edisi ke depan. Masih terlalu prematur hanya menilai satu edisi saja.

Yang pasti, surat kabar atau media cetak di era digital. Media sosial dan media daring sejatinya bukan musuh koran.

Sabtu, 22 Agustus 2020

Bupati Sidoarjo Meninggal karena Covid-19

Mampir di warkop dekat Bandara Juanda, saya buka ponsel. Mengecek informasi seputar Surabaya, Sidoarjo, Gresik, atau Jatim umumnya. Sambil nyeruput kopi sasetan.

Oh, Tuhan!

Cak Nur meninggal dunia.
Plt Bupati Sidoarjo itu dikabarkan wafat karena Covid-19. Sempat dirawat di RSUD Sidoarjo tapi tidak tertolong.

Selamat jalan Cak Nur!
Terima kasih atas amal jasa dan pengabdian Sampean untuk Kabupaten Sidoarjo. Cukup banyak kenangan bersama Sampean di berbagai event di Kabupaten Sidoarjo.

Praktis sejak wabah corona sampai ke tanah air saya tidak pernah bertemu Bapak Nur Ahmad Syaifuddin. Tapi saya selalu mengikuti kegiatan Cak Nur lewat surat kabar dan media sosial.

Cak Nur benar-benar kerja keras untuk menangani pandemi Covid-19. Apalagi Sidoarjo bersama Surabaya menjadi episentrum covid di Jatim. Cak Nur harus blusukan ke mana-mana untuk sosialisasi protokol kesehatan.

Protokol pakai masker, jaga jarak, cuci tangan.. sebetulnya mudah. Tapi di lapangan sangat sulit diterapkan di Sidoarjo. Bahkan saat PSBB pun tetap ramai warkop-warkop di Kota Delta. Mulai Waru sampai Porong, Taman sampai Tarik, Wonoayu, Jabon... 18 kecamatan.

Cak Nur bersama Kapolres dan Dandim tak henti-hentinya sosialisasi. Bahkan pakai ancaman sanksi segala. Agar masyarakat Sidoarjo tidak meremehkan penyakit yang namanya covid.

Cak Nur juga tercatat sebagai bupati (kepala daerah) pertama yang turun langsung untuk memakamkan jenazah pasien covid. Maklum, saat itu petugas-petugas di makam ketakutan.

"Pakai protokol ketat," kata pejabat asal Waru itu.

Cak Nur dan beberapa pejabat kemudian dites swab. Hasilnya negatif. Alhamdulillah! Beberapa saat kemudian tes lagi. Negatif lagi.

Karena itu, saya dan banyak orang Sidoarjo terkejut membaca berita bahwa Cak Nur terpapar corona. Apalagi saat Hari Kemerdekaan beliau masih ngepos di media sosialnya.

Kepala Dinas Kesehatan Sidoarjo dr Syaf Satriawarman mengatakan, Cak Nur dirujuk ke RSUD Sidoarjo pada Sabtu (22/8) pagi karena mengalami gejala sesak napas. Hasil diagnosa belakangan menunjukkan pejabat yang ramah itu terpapar virus corona.

Saya hanya bisa tertegun. Berdoa semoga almarhum dilapangkan jalannya menuju Sang Mahakuasa!

Minggu, 09 Agustus 2020

Selamat Jalan Pendeta Alex Abraham Tanuseputra

Pendeta Alex Abraham Tanuseputra baru saja berpulang. Dipanggil Bapa di surga. Menyusul Pendeta Leonard Limanto yang lebih dulu menghadap dua minggu sebelumnya. 

Bukan karena Covid-19 tapi faktor usia. Usia pendiri Gereja Bethany itu memang jelang 80 tahun. Selama ini tidak ada riwayat penyakit serius yang diidap pendeta terkenal itu.

Alex dan Leo sama-sama tokoh utama Bethany. Awalnya mereka kompak merintis gereja beraliran karismatik haleluya haleluya itu. Dimulai dari gereja kecil di Manyar, berkembang jadi gereja terbesar di Jawa Timur. Bahkan mungkin terbesar di Indonesia.

The Successful Bethany Family!

Itulah semboyan Pak Alex dan para pembantunya. Sukses itu memang terlihat dari gereja-gerejanya yang besar dan mewah. Tak beda dengan hotel berbintang.

Tapi kesuksesan itu ternyata ada harganya. Harus bayar harga, istilah karismatiknya. Harganya ya gereja yang besar pecah jadi banyak gereja. Saking banyaknya sampai sulit dihitung, kata teman protestan yang tahu perkembangan Bethany di Surabaya sejak 1980-an.

Bukan saja pecah. Konflik internal Bethany berujung ke pengadilan. Selama bertahun-tahun. Alex lapor Leo. Leo lapor Alex. Kadang Alex menang, kadang Leo yang menang. Sampai-sampai media massa malas menulisnya.

Akankah kematian dua sahabat sekaligus musuh bebuyutan itu mengakhiri pertengkaran yang berlarut-larut di pengadilan? Kita lihat saja.

Yang pasti, di sisa usianya, Gereja Bethany bukan lagi milik Pendeta Alex Tanuseputra. Yang berkuasa justru Aswin Tanuseputra, anaknya. Yang karisma dan kemampuannya di bidang homilitika, dogmatika dsb jauh dari Alex.

Hanna Tanuseputra yang dekat papanya. Bersama suaminya, Yusak Hadi Siswantoro, Hanna bikin gereja baru bernama YHS: Yakin Hidup Sukses. Alirannya sama dengan Bethany. Hanya beda namanya saja.

Hanna bersama jemaat Gereja YHS yang justru jadi tuan rumah persemayaman mendiang Pendeta Alex Tanuseputra di Gedung Adi Jasa, Surabaya. 

Selamat jalan Bapak Pendeta Alex Tanuseputra, The Father of Bethany!

Rest in peace!