Tiap Minggu pagi Jalan Jemursari selalu ditutup untuk Car Free Day (CFD). Warga Surabaya bagian selatan diajak bakar lemak bareng-bareng. Jalan utama itu ditutup sampai pukul 09.00.
Saya lupa kalau Jalan Jemursari ditutup. Begitu juga dua atau lima orang lain. Apa boleh buat, harus nuntun motor ke Jemur Andayani. Tepatnya Gereja Katolik Gembala Yang Baik (GYB).
Misa tinggal 25 menit lagi. Jalan kaki lebih cepat ketimbang memutar jauh. Pasti terlambat misa. Asyik juga jalan kaki ke gereja yang diasuh imam-imam SVD asal Flores NTT itu.
Minggu pagi itu cuaca mendung. Hawa sejuk. Dus, tidak banyak keringat saat sampai di belokan Jemur Andayani. Gereja GYB sudah dekat.
Deo gratias! Belum terlalu terlambat. Pater Gregorius Kaha SVD bersama putra-putri altar baru bergerak masuk ke dalam gereja. Kor yang diperkuat banyak anak muda asal Flores sedang menyanyikan lagu pembukaan: Dari Timur Jauh Benar.
Pesta Tiga Raja. Begitu istilah lama untuk menyebut ekaristi pada hari Minggu yang dekat 6 Januari. Temanya tentang tiga orang majus datang ke Bethlehem setelah melihat bintang di sebelah timur.
"Tiga majus itu mampu membaca tanda-tanda alam. Sementara kita di zaman modern ini sering tidak peka. Bahkan ramalan BMKG pun sering diabaikan," kata Pater Goris Kaha SVD. Sepertinya menyentil banjir besar di Jakarta.
Sudah sangat lama saya tidak bertemu Pater Goris yang asli Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur. Terakhir saya menemui beliau di Paroki Roh Kudus, Gununganyar, Surabaya, untuk mengambil jagung titi. Oleh-oleh khas Flores Timur dan Lembata.
Pater Goris kemudian belajar lagi di Eropa. Balik ke Surabaya ditempatkan di Paroki GYB, salah satu dari 6 paroki yang digembalakan imam-imam SVD di Surabaya dan Sidoarjo.
Meskipun sering bertemu beliau, baru kali ini saya ikut misa yang dipimpin Pater Goris Kaha SVD. Saat homili logat Lamaholot atau Flores Timur kurang terasa. Beda dengan pater-pater SVD lainnya yang sulit menghilangkan aksen bahasa ibunya saat berbahasa Indonesia.
Tidak banyak yang saya ingat dari khotbah Pater Goris. Cuma cerita dari Tanah Batak (katanya) tentang suami istri yang terlalu asyik main ponsel atau media sosial. Anak balitanya dibiarkan main sendiri.
Anak kecil itu akhirnya tenggelam di dalam ember di kamar mandi. Suami dan istri saling menyalahkan. "Tapi anaknya sudah mati. Tidak bisa hidup lagi," kata sang pastor.
Pater Goris kemudian menyoroti manusia-manusia modern yang makin fokus pada diri sendiri. Fokus gadget, swafoto, abai pada sesama.
Beda dengan tiga majus yang pandai membaca pertanda alam kemudian mengikuti petunjuk bintang dan akhirnya sampai di kandang Bethlehem itu.