Jauh sebelum ada Covid-19, saya sudah biasa ikut misa online. Bukan karena malas pigi misa di gereja atau ada halangan lain. Saya ingin tahu suasana misa bahasa Inggris di Amerika Serikat dan Kanada.
Di Surabaya juga ada misa bahasa Inggris tiap Minggu pukul 10.00 di Dukuh Kupang Barat. Tapi paternya bukan english native speaker. Biasanya romo Tionghoa, Jawa, Flores, atau Filipina.
Pater asal Filipina biasanya lebih fasih berbahasa Inggris. Tapi tetap saja logat atau aksennya beda dengan orang USA, UK, Kanada, atau Australia. Sama saja dengan orang Jawa atau Batak atau Flores berbahasa Inggris. Logat asli bahasa ibu tidak bisa hilang.
Karena itu, sejak kecepatan internet di Indonesia meningkat plus data melimpah, saya manfaatkan YouTube untuk Daily Mass dan Sunday Mass. Saya sengaja pilih misa versi Amerika Serikat dan Kanada. Bukan Australia apalagi Filipina atau India. Gereja Katolik di Filipina dan India sejak dulu punya layanan misa online.
Selain aksen American English yang sangat jelas dan menarik, layanan misa dari USA dan Kanada sangat profesional. Kualitas video, audio, angle, hingga tata liturginya paling profesional.
Sunday Mass atau Misa Minggu saya biasa ikut misa bersama pater-pater Pasionis di New York. Pater Paul Fagan OP yang jadi koordinator. Homilinya sederhana dan menarik.
Begitu juga kornya sangat profesional. Empat penyanyi dan satu pemain musik. Mereka bergantian jadi solis untuk Mazmur Tanggapan. Bagus banget.
Umatnya anak-anak sekolah menengah pertama. Ada juga beberapa orang dewasa yang ikut perayaan ekaristi di Kapel Pasionis untuk Sunday Mass itu.
Daily Mass atau Misa Harian saya pilih Kanada. Kapel di Ontorio. Aksen bahasa Inggris pater-pater dan lektor mirip dengan USA. Kecuali pater asal Belanda yang logat Hollands Spreken tidak hilang.
Misa harian ini tidak pakai kor. Lecta Missa. Ordinarium Kyrie dan Gloria diucapkan saja. Kecuali Sanctus dan Agnus Day dinyanyikan solis. Misa harian ini paling lama 29 menit.
Tentu saja kebiasaan saya mengikuti misa harian (beberapa kali bolos misa di gereja) diprotes. Dianggap tidak sah. Tidak ada komuni. Tidak berada di sekitar altar. "Itu kan kayak nonton televisi," kata teman.
Hehehe... Orang NTT itu lupa bahwa selama bertahun-tahun dia juga "menonton TV" saat misa di gereja karena gereja kadung penuh.
Sebagian umat mengikuti misa di balai paroki samping gereja. Ratusan umat di balai paroki itu menyaksikan imam, altar dsb lewat layar lebar yang dipasang di balai paroki. Itu yang selama ini terjadi di Sidoarjo Kota dan Sidoarjo Waru.
"Apa bedanya dengan saya yang nonton TV di rumah? Anda menonton TV di balai paroki?" kata saya bercanda.
"Tapi kan ada komuni. Ada umat. Sementara misa di YouTube tidak ada komuni," katanya.
Tak disangka-sangka datanglah wabah virus corona. Pandemi melanda dunia. Italia dan Vatikan pun dikarantina total. Sulit dibayangkan Lapangan dan Basilika Santo Petrus di Vatikan tutup.
Covid juga melanda Indonesia. Pasien naik terus. Yang mati banyak. Maka pemerintah melarang kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang. Termasuk ibadah di gereja, masjid, pura, kelenteng dsb.
Apa boleh buat. Uskup-uskup di Indonesia pun bikin surat gembala. Intinya meniadakan misa di gereja dan berbagai kegiatan di paroki. Umat dianjurkan memperbanyak doa-doa di rumah masing-masing.
Sabtu sore, 21 Maret 2020. Kali pertama dalam sejarah Keuskupan Surabaya diadakan misa online. Misa kudus langsung dipimpin Mgr Sutikno Wisaksono dari kapel keuskupan di Jalan Polisi Istimewa Surabaya.
Minggu diadakan dua kali misa secara online streaming. Kemudian misa harian juga diadakan secara daring.
Luar biasa!
Pandemi virus corona tak ayal membongkar tatanan lama yang sudah mapan selama ribuan tahun. Vatikan ditutup sementara! Ibadah umrah di Makkah pun distop sementara oleh Kerajaan Arab Saudi.
Saya sendiri tentu tidak kaget dengan Online Mass. Sebab misa ala nonton TV di kamar itu sudah seperti gaya hidup rutin layaknya nggowes sepeda pancal.
Di Surabaya juga ada misa bahasa Inggris tiap Minggu pukul 10.00 di Dukuh Kupang Barat. Tapi paternya bukan english native speaker. Biasanya romo Tionghoa, Jawa, Flores, atau Filipina.
Pater asal Filipina biasanya lebih fasih berbahasa Inggris. Tapi tetap saja logat atau aksennya beda dengan orang USA, UK, Kanada, atau Australia. Sama saja dengan orang Jawa atau Batak atau Flores berbahasa Inggris. Logat asli bahasa ibu tidak bisa hilang.
Karena itu, sejak kecepatan internet di Indonesia meningkat plus data melimpah, saya manfaatkan YouTube untuk Daily Mass dan Sunday Mass. Saya sengaja pilih misa versi Amerika Serikat dan Kanada. Bukan Australia apalagi Filipina atau India. Gereja Katolik di Filipina dan India sejak dulu punya layanan misa online.
Selain aksen American English yang sangat jelas dan menarik, layanan misa dari USA dan Kanada sangat profesional. Kualitas video, audio, angle, hingga tata liturginya paling profesional.
Sunday Mass atau Misa Minggu saya biasa ikut misa bersama pater-pater Pasionis di New York. Pater Paul Fagan OP yang jadi koordinator. Homilinya sederhana dan menarik.
Begitu juga kornya sangat profesional. Empat penyanyi dan satu pemain musik. Mereka bergantian jadi solis untuk Mazmur Tanggapan. Bagus banget.
Umatnya anak-anak sekolah menengah pertama. Ada juga beberapa orang dewasa yang ikut perayaan ekaristi di Kapel Pasionis untuk Sunday Mass itu.
Daily Mass atau Misa Harian saya pilih Kanada. Kapel di Ontorio. Aksen bahasa Inggris pater-pater dan lektor mirip dengan USA. Kecuali pater asal Belanda yang logat Hollands Spreken tidak hilang.
Misa harian ini tidak pakai kor. Lecta Missa. Ordinarium Kyrie dan Gloria diucapkan saja. Kecuali Sanctus dan Agnus Day dinyanyikan solis. Misa harian ini paling lama 29 menit.
Tentu saja kebiasaan saya mengikuti misa harian (beberapa kali bolos misa di gereja) diprotes. Dianggap tidak sah. Tidak ada komuni. Tidak berada di sekitar altar. "Itu kan kayak nonton televisi," kata teman.
Hehehe... Orang NTT itu lupa bahwa selama bertahun-tahun dia juga "menonton TV" saat misa di gereja karena gereja kadung penuh.
Sebagian umat mengikuti misa di balai paroki samping gereja. Ratusan umat di balai paroki itu menyaksikan imam, altar dsb lewat layar lebar yang dipasang di balai paroki. Itu yang selama ini terjadi di Sidoarjo Kota dan Sidoarjo Waru.
"Apa bedanya dengan saya yang nonton TV di rumah? Anda menonton TV di balai paroki?" kata saya bercanda.
"Tapi kan ada komuni. Ada umat. Sementara misa di YouTube tidak ada komuni," katanya.
Tak disangka-sangka datanglah wabah virus corona. Pandemi melanda dunia. Italia dan Vatikan pun dikarantina total. Sulit dibayangkan Lapangan dan Basilika Santo Petrus di Vatikan tutup.
Covid juga melanda Indonesia. Pasien naik terus. Yang mati banyak. Maka pemerintah melarang kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang. Termasuk ibadah di gereja, masjid, pura, kelenteng dsb.
Apa boleh buat. Uskup-uskup di Indonesia pun bikin surat gembala. Intinya meniadakan misa di gereja dan berbagai kegiatan di paroki. Umat dianjurkan memperbanyak doa-doa di rumah masing-masing.
Sabtu sore, 21 Maret 2020. Kali pertama dalam sejarah Keuskupan Surabaya diadakan misa online. Misa kudus langsung dipimpin Mgr Sutikno Wisaksono dari kapel keuskupan di Jalan Polisi Istimewa Surabaya.
Minggu diadakan dua kali misa secara online streaming. Kemudian misa harian juga diadakan secara daring.
Luar biasa!
Pandemi virus corona tak ayal membongkar tatanan lama yang sudah mapan selama ribuan tahun. Vatikan ditutup sementara! Ibadah umrah di Makkah pun distop sementara oleh Kerajaan Arab Saudi.
Saya sendiri tentu tidak kaget dengan Online Mass. Sebab misa ala nonton TV di kamar itu sudah seperti gaya hidup rutin layaknya nggowes sepeda pancal.