Minggu, 18 Mei 2025

Sungguh Kubangga Bapa jadi alas gorengan di warkop

Aneh sekali! Di salah satu warkop di kawasan Prambon Sidoarjo saya temukan lagu karismatik lawas. Jadi alas gorengan. Pisang goreng, tela goreng, tahu goreng dsb.

Lagu itu Sungguh Kubangga Bapa ciptaan Lisna G. Arifin. Dulu sering dinyanyikan di berbagai persekutuan doa (PD) karismatik. Saat saya masih pelajar SMA dan mahasiswa.

Kalau tidak salah sampul bukunya warna hijau. Dicetak pakai font komputer jaman old yang masih ada bintik-bintik hurufnya. Komputer yang pakai disket program, disket data dsb. Sebelum ada MS Word yang sangat gampang dioperasikan.

Saya pun mengambil lembaran itu lalu membunyikan nada2 dalam hati. Enak juga. Gaya kalipso. Biasanya dinyanyikan gembira, tepuk tangan sukaria ala karismatik. Haleluyaaa!

Lisna G. Arifin seorang komposer lagu-lagu pujian dan penyembahan era 90-an. Banyak yang hit di berbagai denom gereja. Gerakan karismatik membuat persekutuan doa katolik sangat kental pentakosta.

 Ada acara bahasa roh juga. Saya mundur dari karismatik, dulu sekali, karena gagal dapat bahasa roh meski sudah sering mancing dengan berbagai cara. Juga gagal ambruk saat didoakan ramai-ramai di depan.

Selembar partitur lagu karismatik ini membuka kenangan lama. Haleluyaaa!

Kamis, 15 Mei 2025

Gereja Salib Suci Tropodo terkepung banjir, misa pagi batal

Pagi ini, Kamis 15 Mei 2025, niat ke gereja. Misa pagi di Salib Suci, Wisma Tropodo, Waru, Sidoarjo. Bayar misa karena hari Minggu kemarin absen.

Daily Mass atau misa harian di gereja yang digembala imam-imam SVD itu mulai pukul 05.30. Beda dengan Gereja Roh Kudus Rungkut, parokiku, yang mulai pukul 06.00. Sudah kesiangan. 

Saya sih maunya misa pagi dimulai pukul 05.00 seperti beberapa paroki di Malang. Tapi, sebagai domba, kita hanya bisa manut aturan para gembala dan dewan paroki. Pukul 05.30 dianggap jalan tengah. Tidak terlalu pagi dan tidak kesiangan.

Saya pun gowes sekalian gerak badan. Alamak! Wisma Tropodo rupanya berubah jadi tambak raksasa. Kawasan perumahan itu terendam air hujan sekitar 30-an sentimeter. Bisa lebih di beberapa tempat.

Sepeda motor sulit lewat. Mobil bisa tapi kesulitan. "Hujan sejak tadi malam jam 10-an. Deres banget," kata seorang ibu warung dekat apotek.

Apa boleh buat. Terpaksa balik kucing. Tidak jadi misa. Saya menduga misa harian dibatalkan.

Wisma Tropodo memang sudah terkenal sebagai salah satu kawasan langganan banjir di Sidoarjo. Dulu sering saya laporkan dan beritakan agar diperhatikan pemkab. Mulai zaman Bupati Win (dua periode) disusul Bupati Saiful (dua periode juga).

Biasanya ada tanggapan. Pemkab melakukan "pompanisasi". Menyedot air dengan pompa. Masalah utamanya belum terselesaikan sehingga kini. Yakni saluran air yang tidak berfungsi dengan baik.

Gereja Katolik Salib Suci peninggalan Pater Heribert Ballhorn SVD ini memang sangat indah. Akustiknya bagus banget. Kualitas paduan suara atau kor-kor di Paroki Salib Suci menurut saya di atas rata-rata paroki lain di seluruh Jawa Timur. Mereka juga paling jago menyanyi Gregorian yang sulit.

Akan tetapi, ya itu tadi, ketika hujan deras dan lama, cuaca ekstrem istilah BMKG, maka kawasan Wistrop tenggelam. Gereja Salib Suci bahkan membatalkan misa agung Malam Natal pada 24 Desember 2024.

Mea culpa!
Mea culpa!

Ekonomi lesu, banyak ruko dan toko mangkrak di Surabaya

Ekonomi lagi lesu kayaknya. Ruko lama di Kembang Jepun itu ada tulisan DIJUAL hubungi 0815xxxx.

Dulu ruko itu toko yang ramai. Banyak pelanggan dari luar Surabaya, bahkan luar Jawa. Tapi sekarang tutup.

Toko di KJ 148 itu malah jadi tempat mangkal T4. Baju-baju digantung macam di kampung kumuh. Ada handuk dan tripleks sebagai pembatas tempat kos si T4 alias tempat tinggal tidak tetap alias gelandangan itu.

Aneh sekali karena Kembang Jepun ini salah satu tempat wisata di kota lama. Zona Pecinan. Biasa buka hari Jumat, Sabtu, dan Minggu petang sampai tengah malam.

Bagaimana wisatawan akan betah kalau destinasi wisata terlihat suram seperti itu? 

Persis di seberangnya, KJ 129, juga ada tulisan ruko dijual atawa dikontrakkan. Empat lantai. Ngantong pula. 

Insya Allah, rezeki pun ngantong! Sopo sing tuku?

Kalau tidak salah hitung ada 10 lebih ruko di Kembang Jepun yang "dijual" atawa "disewakan". Termasuk di sebelah bangunan cagar budaya.

Tidak hanya di KJ atau Surabaya Utara. Kelesuan ekonomi juga terlihat di kawasan lain. Ruko-ruko dijual atau dikontrakkan. 

Pemerintah daerah hingga Presiden Prabowo kudu segera tanggap. Wapres Gibran yang janji mencetak jutaan lapangan kerja juga kudu aksi nyata. Jangan terlalu sibuk seremoni-seremoni pantau acara MBG di sekolah-sekolah. 

Jumat, 09 Mei 2025

In the Shadow of Pope Leo X and Martin Luther, Hope Grows with Pope Leo XIV

By Fr. Patris Allegro, Kupang, Indonesia

Pope Leo X and Martin Luther stand as two unyielding poles of Church history. One represents the apex of ecclesial power in the 16th century; the other, the inner cry of a troubled Augustinian monk. 

Their clash was not merely a conflict of ideas, but of spiritual experience—between institution and conversion, between worldly splendor and restless faith.

Luther, in the silence of his Augustinian cloister, once wrote that he found no peace until he realized that "the righteousness of God" was not condemnation, but mercy that justifies the sinner by faith. It was a personal awakening that shattered external order. But in the turmoil of the time, there was no space for dialogue—what emerged instead was division.

Now, centuries later, we witness the election of Pope Leo XIV, also from the Order of Saint Augustine. As if history offers a new possibility—not a re-run of conflict, but the gift of healing. He carries the Augustinian legacy not to reopen old wounds, but to mend what has been torn.

Leo XIV does not come with the power of Leo X, nor with the fury of Luther, but with the humility of a shepherd shaped by pastoral mission in Peru—far from the centers of prestige, close to the peripheries where the Church walks in weakness and compassion. 

His priesthood, his missionary heart, his years among the poor, place him nearer to the anguished soul Luther once was. He knows that true conversion is not a journey toward doctrine, but toward a Person: the living Christ.

There is profound meaning in this symbolic convergence—that the two who once stood opposed now find a kind of unity, not historically, but spiritually. In Pope Leo XIV, we glimpse a meeting point: between Rome and Wittenberg, between past and future, between truth and mercy.

Perhaps this is what his motto proclaims: In illo uno unum—"In the One, we are made one."

 In Christ, even history's wounds can become a font of reconciliation.

Suster Ursula OSA dari Lembata pernah bertemu dan dialog dengan Kardinal Robert Prevost OSA yang kini jadi Paus Leo XIV

Sehari sebelum Konklaf di Vatikan, Suster Ursula OSA kirim pesan WA kepada saya:

"Sekarang te laran kae pi. Pedela dgn kereta dari Semarang."

Bahasa Lamaholot artinya: "Saya sudah di perjalanan dengan kereta dari Semarang."

Mampir sejenak, seperti biasa, di Biara Susteran Ordo Santo Agustinus (OSA) di Geluran, Taman, Sidoarjo. Kemudian Sr Ursula dan suster-suster lain langsung ke Tumpang, Malang. Di Rumah Sakit Sumber Santosa. Sekaligus Biara OSA yang besar dan bersejarah.

saat itu saya sedang menyunting berita tentang persiapan pemilihan paus baru. Pengganti Paus Fransiskus yang wafat pada 21 April 2025. Saya baca-baca beberapa media Barat yang mengunggulkan nama beberapa kardinal.

Habemus Papam!

Jumat dini hari, 9 Mei 2025, tersebar luas berita dan video Paus Leo XIV memberkati ribuan jemaat di Lapangan Santo Petrus. Paus pertama dari Amerika Serikat dari Ordo Santo Agustinus (OSA).

Saya langsung kirim ucapan selamat kepada Sr Ursula OSA di Tumpang. Selamat atas terpilihnya Paus Leo XIV! Paus dari OSA!

Suster Ursula OSA langsung bagi foto lama yang bersejarah. Foto bersama Pater Robert Prevost OSA. Saat itu Pater Robert menjabat superior general atau pimpinan tertinggi kongregasi OSA di seluruh dunia.

"Ketemu 15 tahun yang lalu ketika ada pertemuan kaum muda Agustinus di Inggris. Waktu itu na sbg General OSA 😁" tulis Suster Ursula OSA.

Seperti kebetulan. Tak terbayangkan Kardinal Robert Prevost OSA akhirnya terpilih sebagai Paus Leo XIV. Deo gratias! Syukur kepada Allah!

Suster Ursula dan suster-suster, romo-romo OSA, tentu sangat bahagia. Bahkan semua umat Katolik ikut bahagia karena takhta lowong, sede vacante, sudah terisi.

Paus baru ini tentu punya kedekatan dengan para imam dan suster OSA di Indonesia. Bahkan, saat menjadi superior general OSA, Paus Leo XIV juga pernah berkunjung ke Sorong, Papua, 2003.

Habemus Papam! Kejutan Paus Leo XIV dari Amerika Serikat

Sudah saya duga konklaf akan selesai dalam dua hari. Sama dengan dua konklaf sebelumnya yang memilih Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus. 

Saya juga menduga hasil konklaf terlihat pada pemilihan putaran ketiga atawa keempat. Balot pertama mustahil. Balot kedua juga sulit. Biasanya paus baru terpilih setelah balot ketiga atau keempat. Paus Yohanes Paulus II pada balot kelima kalau tidak salah.

Karena itu, saya menunggu asap hasil balot ketiga dari Kapel Sistina di Vatikan sekitar pukul 23.00. Tapi saya ketiduran. Kelelahan. Baru terbangun pukul 02.00. Nonton sepak bola.

Saya yakin sudah Habemus Papam! Betul. Saya cepat-cepat nyalakan ponsel. Situs-situs dunia ramai-ramai memuat berita tentang paus baru asal Amerika Serikat: Paus Leo XIV. 

Kardinal Robert Prevost asal Chicago ini benar-benar kejutan. Sama seperti Paus Fransiskus yang juga tidak terduga.

Sejak Paus Fransiskus wafat pada 21 April 2025 - mudah diingat karena pas Hari Kartini - saya sering menerjemahkan, lebih tepatnya mengolah berita-berita terkait Paus Fransiskus, konklaf, dan siapa gerangan kardinal yang diunggulkan.

Ada 9 nama yang disebut-sebut. Ada media yang mengerucut jadi 6 nama. Kardinal dari Filipina bahkan sering disebut. Tapi tidak ada nama Kardinal Robert Prevost dari USA. 

Media-media besar dunia malah cenderung memprediksi dari Global South. Asia Afrika dianggap punya peluang. Ada lagi analisis bahwa 80% kardinal yang ikut konklaf diangkat oleh Paus Fransiskus. Karena itu, kardinal yang dekat dengan Pope Francis dianggap paling berpeluang.

Tapi konklaf bukan pemilihan presiden atau pemilu biasa. Sebelum mulai konklaf 133 kardinal menyanyikan Veni Creator Spiritus. Lagu terkenal yang pasti dihafal semua orang Katolik di dunia. Di Flores lagu ini bernama Datanglah, Ya Roh Pencipta!

Ya.. Roh Pencipta itulah yang bekerja.
Habemus Papam! Paus Leo XIV.

Kamis, 24 April 2025

Pater Markus Solo Kewuta SVD Menyapa Paus Fransiskus di Dalam Peti Jenazah

Pagi belum benar-benar ramai di Vatikan. Tapi satu pria asal Flores Timur sudah duduk diam di kursi yang tak jauh dari peti Paus Fransiskus. Namanya Pater Dr Markus Solo Kewuta, SVD. 

Di kalangan Gereja Katolik internasional, namanya tidak asing. Ia adalah imam misionaris yang sudah lama jadi bagian dari jantung Takhta Suci.

Dan pagi itu, tepat pukul 07.00 waktu Roma, Pater Markus datang untuk yang ketiga kalinya melihat jenazah pemimpin tertinggi Gereja Katolik itu. Tapi kali ini beda.

"Rasanya tidak ingin pergi dari tempat itu," katanya.

Peti tempat Paus terbujur itu, katanya, sangat sederhana. Tanpa ukiran berlebih. Tubuh Paus sudah jauh berubah. Wajahnya putih pucat. Tak segemuk dulu. 

"Semuanya menyusut," ujar Pater Markus.

Yang mencolok hanya jubah merah yang dikenakan. Bukan merah biasa. Itu merah liturgi—warna cinta yang paling besar kepada Tuhan. Juga simbol kematian dalam tugas suci.

Selama tiga puluh menit ia duduk di situ. Kadang berlutut. Kadang duduk diam. Seperti sedang mengulang film panjang yang pernah mereka jalani bersama: saat Paus datang ke Jakarta, lalu Port Moresby, Timor Leste, hingga ke Singapura. Termasuk di dalam pesawat yang sempit tapi penuh cerita.

Dan ketika waktunya berpamitan datang, Pater Markus berdiri. Ia mendekat. Lalu dengan suara nyaris tak terdengar, ia berkata: "Selamat jalan, Bapa Suci. RIP."

Tak ada air mata. Tapi ada hening yang lebih dalam dari tangisan.

Begitulah pagi itu di Vatikan. Bukan pagi yang biasa bagi Pater Markus dari Flores Timur.