Senin, 31 Januari 2022

Nana Li sepi job selama pandemi

Sudah lama tidak ngobrol dengan artis lokal. Bahkan sebelum pandemi covid merebak akhir 2019. Senin (31/1/2022) baru ngobrol sejenak dengan Nana Li.

Nama asli? "Gak perlu lah," katanya sambil tersenyum.

Penyanyi asal Menganti, Gresik, ini dapat job menghibur rombongan Bupati Sidoarjo, Kapolres Sidoarjo, forkopimda, pimpinan bank, LSM, perhotelan dsb. Job manggung yang teramat jarang di masa pandemi ini.

Karena itu, Nana Li mengucap syukur kepada Tuhan. Selama hampir dua tahun tak ada job. Sebab, ada PSBB, PPKM darurat, PPKM level 4, level 3 dsb. Tak boleh ada hajatan. Kafe-kafe, tempat hiburan tutup. Tak ada live music atau organ tunggal.

"Sejak akhir tahun lalu sudah bisa manggung. Tapi belum normal," kata Nana.

Nana tipikal artis lokal yang all round. Dituntut bisa membawakan lagu jenis apa saja. Pop, dangdut, koplo, nostalgia alias tembang kenangan, Mandarin, Barat, campursari, keroncong. Sebisa mungkin dia berusaha memenuhi permintaan hadirin.

Di Sidoarjo dan Gresik lebih dominan lagu-lagu dangdut koplo. Kalangan pejabat di atas 40 tahun senang tembang kenangan. Ada juga lagu Broery duet dengan Dewi Yull. Lagu kesayangan mantan bupati yang barusan bebas dari penjara.

Gus Muhdlor, bupati sekarang, putra kiai kondang Gus Ali, rupanya tidak suka menyanyi. Karena itu, tidak ada request untuk duet bersama Nana. 

Penyanyi-penyanyi lokal senang diajak duet pejabat atau pengusaha karena sawerannya banyak. Nilainya lebih besar ketimbang tarif resmi.

Tak banyak waktu untuk ngobrol dengan Nana. Nona manis ini segera menikmati soto ayam setelah bekerja keras jual suara. Selepas dari Sidoarjo, ada job lagi di Surabaya. Malam tahun baru Imlek.

Semoga dapat banyak angpao!

Sabtu, 29 Januari 2022

Uji Nyali di Gereja Santo Mangkraksius Krian

Bangunan-bangunan tua yang mangkrak biasa dipakai untuk uji nyali. Sebab dipercaya ada setannya atau tempat jin buang anak. Siapa yang kuat nyali aman. Yang tidak kuat biasanya kesurupan atau kerasukan setan.

Salah satu gedung mangkrak di Kabupaten Sidoarjo ada di Krian. Di pinggir jalan raya arah ke Prambon, Mojosari, Pacet, Trawas. Kawasan wisata terkenal karena dekat Surabaya. Karena itu, banyak orang tahu gedung mangkrak itu. Tapi tidak tahu gedung apa.

''Pokoknya tempat uji nyali,'' kata beberapa orang Krian dan Balongbendo. ''Kalau lewat di situ malam hari takut,'' kata seorang penyanyi dangdut asal Krian.

''Itu gedung apa? Kok bisa mangkrak?'' tanya saya pura-pura tidak tahu kayak wartawan yang menyamar.

Artis lokal itu hanya menggeleng. Tidak tahu meski tinggal di Kecamatan Krian juga. Wajarlah karena tidak punya kepentingan apa-apa selain uji nyali.

Beda dengan orang Katolik di Sidoarjo dan Surabaya. Sebagian besar tahu bahwa itu bangunan gereja. Sudah 80 persen rampung tapi dipermasalahkan. Dulu sering ada unjuk rasa menolak pembangunan gereja meski sudah melalui proses perizinan.

Bangunan mangkrak itu mulai dimulai pada tahun 1993. Rencananya untuk kapel atau gereja untuk umat Katolik di wilayah Kecamatan Krian, Kedamaian, Tarik, dan Mojosari. Saat itu umat Katolik sekitar 1.000 jiwa.  

''Meskipun semua prosedur perizinan sudah dilalui, tetapi proses pembangunan dihentikan oleh sekelompok orang sejak 7 Juni 1994,'' kata sumber di Keuskupan Surabaya.

Sudahlah, lupakan saja. Kita stop. Berdoa dan berusaha semoga ada jalan ke depannya. Begitu kira-kira ucapan Uskup Surabaya Monsinyur Hadiwikarta (+). 

Sejak itulah bangunan jadi mangkrak. Aktivis gereja biasa guyon dengan menyebut bangunan itu Gereja Santo Mangkraksius.

Akhir tahun 2021, di tengah pandemi virus corona, Stasi Krian akhirnya dinaikkan statusnya jadi paroki. Tempat ibadah di kapel lama milik sekolah Katolik yang sudah direnovasi. Tidak seluas bangunan Mangkraksius itu tapi lumayan untuk ekaristi dan sebagainya.

Bapa Uskup Surabaya Monsinyur Sutikno Wisaksono saat peresmian Paroki Krian sempat menyinggung bangunan Gereja Mangkraksius itu. Saya pikir mau dilanjutkan jadi gereja paroki, balai paroki, auditorium atau sejenisnya.

Ternyata tidak. Bapa Uskup bilang lahan itu akan dibangun gedung SMA Katolik Untung Suropati Krian. Sekolah itu sudah lama tapi masih menumpang di SMPK.

Sabtu siang, 29 Januari 2022. Saya melintas di kawasan Krian. Tak ada lagi bangunan Santo Mangraksius. Sudah dibongkar. Dipagari seng.

 Komunitas penggemar uji nyali tak bisa lagi bikin konten uji nyali di situ. Para setan dan jin sudah minggat.

Pater Freinademetz Bahagia di Surga Bersama Rakyat Tiongkok

Ada pater asal Austria yang jadi misionaris di Tiongkok. Pater SVD: Societas Verbi Divini. Serikat Sabda Allah, terjemahan lazim di Flores, NTT. Kebetulan Flores atau NTT umumnya sejak dulu jadi ladang panggilan subur untuk imam-imam SVD. Maka orang kampung macam saya dulu hanya tahu dua macam pastor: SVD dan Praja.

Pagi ini saya baca catatan pendek Pater Fritz Meko SVD di Surabaya. Imam asal Pulau Timor, NTT, ini jago nyanyi, main musik, ngarang lagu, bikin puisi, menulis buku, dsb. Punya channel di YouTube juga Hobinya memang banyak. 

Pater Fritz memperkenalkan Santo JOSEF FREINADEMETZ. Orang kudus dari ordo SVD. Pater Fritz punya konfrater pendahulu.

''Ia adalah seorang misionaris di China. Selama bekerja dan melayani 34 tahun, ia tidak pernah kembali cuti di negerinya TIROL - AUSTRIA.
Begitu mencintai umat China, sampai ia mengatakan, "Walau di Surga, saya ingin tetap menjadi orang China." 

Ia sungguh seorang misionaris sejati. Ia sangat mencintai orang China.

Ia pun pernah mengatakan, "Di mana saja engkau diutus sebagai misionaris, hendaknya engkau menjunjung tinggi dan menghargai budaya setempat."

Menurut Pater Fritz van Timor, Santo JOSEF FREINADEMETZ telah meletakkan prinsip INKULTURASI yang kemudian mengispirasi Gereja Katolik untuk menghargai budaya semua bangsa, yang sebelumnya dicurigai dan dianggap "kafir."

Refleksi yang menarik. Tentang karya imam-imam misionaris di tanah misi. Mewartakan kabar baik tentang cinta kasih Tuhan kepada segala bangsa. Allah adalah cinta. Deus caritas est!

Kata atau istilah KAFIR ini menarik tapi juga kontroversial. Pater-pater tempo doeloe, para misionaris dari Eropa, biasa menggunakan kata itu untuk menyebut penduduk yang belum menganut agama resmi.

Nenek moyang yang mengamalkan kepercayaan lokal macam Lera Wulan Tanah Ekan di Flores Timur dan Lembata dianggap kafir. Banyak sekali kakek nenek yang ''kafir'' saat aku kecil di pelosok Lembata. Dan mereka tidak marah atau tersinggung.

Orang-orang tua yang ''kafir'' itu biasanya jadi orang beriman jelang meninggal. Dipermandikan secara darurat. Ada juga yang sempat dapat minyak suci. Bala tentara surga ikut gembira!

Mengapa pater-pater zaman dulu sangat getol menyelamatkan orang-orang (yang dianggap) kafir? Bahkan begitu banyak yang jadi martir? Karena extra ecclesia nulla salus. Dogma yang sangat kuat sebelum Vatikan II.

Sekarang ini istilah kafir jadi peyoratif. Bisa menyinggung perasaan pihak lain. Bisa ramai di media sosial. Bisa dijerat Undang-Undang ITE yang agak karet itu.

Istilah kafir rupanya jadi bumerang. Senjata yang makan tuannya. Sekarang ini, di Indonesia, umatnya Pater Freinademetz, Pater Arnoldus Jansen, Pater Fritz Meko.. dan pater-pater lain malah dianggap kafir. Dan orang kafir tempatnya di neraka.

Mea culpa! Mea maxima culpa!

Kangen Kue Keranjang Tjap Hokkian di Sidoarjo

Kue keranjang atawa nian gao sudah dijajakan di sejumlah tempat. Khususnya di kawasan pecinan. Di beberapa minimarket pun ada dodol khas tahun baru Imlek itu. 

Lihat kue keranjang mesti ingat Tante Tok. Ibu Tok Swie Giok pembuat kue keranjang yang paling setia di kawasan Raden Fatah, Sidoarjo.

 Ia membuat sendiri kue-kue keranjang selama satu bulan. Kita bisa ikuti proses bikin nian gao dari awal sampai jadi dodol.

 Awalnya harus sembahyangan dulu. ''Kalau tidak sembahyang biasanya tidak jadi,'' kata Tante Tok. ''Kita orang pake resep asli Hokkian.'' 

Gara-gara pandemi covid berkepanjangan, saya sudah lama tidak pigi ke rumah Tok Swie Giok. Melewatkan momentum produksi kue keranjang. Sebab, kita orang saban hari diingatkan pemerintah untuk prokes 5M.

 Orang tua atawa lansia macam Tante Tok itu lebih rawan kena covid. Teorinya sih gitu. 

Apakah prokes 5M itu masih berlaku jelang Tahun Macan? Masih, kata Khofifah gubernur Jawa Timur. Sebab kasus covid naik lagi. Apalagi ada varian Omicron yang katanya lebih cepat menular.

 Gara-gara omongan Gubernur Khofifah, Wali Kota Eri Cahyadi, dan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor itulah saya sungkan mampir ke tempat produksi kue keranjang Tante Tok. Tapi beberapa kali lewat di depan rumahnya. Bahkan ngopi-ngopi tak jauh dari situ. 

Jumat 28 Januari 2022. Satria Nugraha, teman lama fotografer kawakan di Sidoarjo, mengirim foto Tante Tok lewat WA. Juragan kue keranjang Tjap Hokkian (aslinya sih tanpa merek) itu tampak gembira.

 Tante Tok masih setia melakoni ritual bikin kue keranjang untuk Sincia. Bikin kue keranjang itu macam ibadah. Tidak hanya sekadar melestarikan tradisi Imlekan. Tidak sama dengan membeli kue keranjang di toko-toko.

 Karena ibadah itulah, Tante Tok tidak kenal lelah atau bosan. ''Sampean dicari sama beliau (Tante Tok). Katanya sudah lama enggak ke rumahnya. Katanya Sampean sudah lupa,'' tulis Satria.

 Oh, Tuhan, Tante Tok tampak masih sugeng, semangat, dan ingat saya. 

Lama tidak ada komunikasi karena beliau ini tidak pakai telepon seluler. Tidak pakai WA. Sebelum ada WA pun beliau tidak pakai HP biasa. Komunikasi lewat telepon rumah (nomornya hilang). Apalagi di musim pandemi corona yang sekarang bermutasi jadi Omicron. Serba susahlah kita orang.

 Kangen kue keranjang Tante Tok. Kangen pula teh asli Tiongkok yang rasanya macam jamu. Tapi yah... ada prokes yang memang sangat penting.

 Covid memang telah mengubah begitu banyak kebiasaan kita. Jangankan lihat Tante Tok bikin kue keranjang, pigi sembahyang misa di gereja pun belum bisa. Kita orang hanya bisa misa online lewat laptop atau HP.

Selamat Tahun Baru Imlek! Selamat makan kue keranjang!

Kamis, 27 Januari 2022

Tak ada lagi saweran angpao Imlek

Tahun baru Imlek sebentar lagi. Orang Tionghoa jemaat kelenteng ramai-ramai membersihkan rupang. Patung dewa-dewi Tionghoa itu dibersihkan. Ada yang cuma pakai air teh dan kembang. Ada yang pakai sabun detergen.

Erwina Tedjaseputra yang pimpin ritual bersih-bersih rupang di TITD Hong San Koo Tee, Jalan Cokroaminoto 12 Surabaya. Kelenteng Cokro nama populer kelenteng di tengah kota itu.

Dulu saya sering mampir ke Kelenteng Cokro karena sering diundang dan ditelepon Ibu Julaini Pudjiastuti, ketua kelenteng. Yang tak lain mamanya Erwina. Hampir semua acara di TITD Cokro aku diajak. Termasuk ikut rombongan ke berbagai kota di Jawa Timur.

Mendiang Bu Juliani ini lulusan SPG Santa Maria. Meskipun ngurus kelenteng, dulu rajin pigi misa di Katedral. Bapa rohaninya Pater Thobias Muda Kraeng SVD (alm) asal Pulau Lembata, NTT. Romo Thobias ini semasa hidupnya sangat terkenal di kalangan katolik di Surabaya.

''Saya sering curhat dan minta nasihat ke Romo Thobi,'' kata Bu Juliani.

Banyak banget cerita-cerita ringan yang dituturkan Bu Juliani. Sambil menikmati santapan khas kelenteng yang lezat.

Sin Cia atau Imlekan di Kelenteng Cokro biasanya sangat ramai. Acaranya dari sore sampai jelang pagi. Ada hiburan barongsai, liang liong, dewa rezeki, karaoke dsb. 

Saya beberapa kali ikut sumbang suara. Lagu nostalgia Yue Liang Dai Biao Wo De Xin. Cuma satu itu saja lagu pop Mandarin yang saya bisa. Satunya lagi Dayung Sampan versi Indonesia Tian Mi Mi.

Paling banyak tiga lagu. Satu lagi lagu Barat Fly Me To The Moon. Meski kualitas tidak bagus biasanya dapat angpao dan tepuk tangan meriah. Siapa pun yang nyanyi memang dapat aplaus di kelenteng itu. Bikin kita orang senang lah!

Bu Juliani sudah berpulang. Diganti anak dan mantunya. Erwina punya badan gemuk macam mamanya meski makan sedikit katanya. ''Yang penting sehat,'' kata Erwina.

Sincia tahun ini tidak ada acara meriah seperti sebelum pandemi. Sembahyang bersama malam hari ditiadakan. Pukul 21.00 pintu kelenteng ditutup. Tidak ada dewa rezeki, tak ada barongsai, liang liong, tak ada karaoke lagu-lagu lawas.

Yah.. otomatis tak ada angpao! Tak ada saweran untuk penyanyi dadakan macam kita orang.

Selamat tahun macan!
Gong xi fa cai!

Rabu, 26 Januari 2022

Nekat melarat di Malaysia, pulang jadi mayat

Sejak awal 2022 banyak sekali kisah sedih tentang PMI. Pekerja migran Indonesia. Grup-grup media sosial NTT, khususnya Flores Timur dan Lembata dipenuhi foto-foto sedih.

Salah satunya seorang PMI alias TKW asal Ile Ape, Lembata. Kembali ke kampung halaman dalam bentuk mayat. Benedikta yang mengurus para pahlawan devisa itu.

"Lindungi PMI dari ujung rambut sampai ujung kaki," tulis Benedikta.

Saya ikut terharu melihat foto-foto di Pelabuhan Larantuka. Jenazah Agustina Kewa diantar ke desanya di Riangbao, Ile Ape.

Bukan apa-apa. Saya kenal betul desa asal PMI yang meninggal di Malaysia itu. Desa Riangbao, Petuntawa, Kolongtobo, Waipukan. Tak jauh dari Riangbao ada Waowala. Kemudian Lewotolok, Lamawara, Bungamuda, Napasabok, Atawatung.. hingga Tokojaeng alias Lamatokan.

TKI atau bahasa resmi sekarang PMI memang lekat dengan Flores Timur dan Lembata. Atau NTT secara keseluruhan. Tapi Flotim dan Lembata punya riwayat yang lebih panjang. Merantau atau MELARAT (bahasa Lamaholot) sudah jadi budaya.

"Melarat" itu penting agar tidak melarat. Dan hasilnya memang ada. Jauh sebelum listrik PLN masuk desa sudah ada genset di kampung-kampung di Lembata. Hasil melarat atau merantau. Sepeda motor berseliweran di jalan sekarang. Hasil melarat juga.

Rumah-rumah gedhek yang sekarang berubah (hampir) semuanya jadi tembok juga karena melarat. Khususnya di Sabah, Malaysia Timur.

Lantas, mengapa masih banyak PMI asal Lamaholot yang jadi korban? Salahnya di mana?

"Berkas-berkas tidak lengkap. Mereka nekat merantau karena dirayu calo-calo. Tidak ikut jalur resmi. Jadinya seperti ini," kata Benedikta sang pendamping para PMI di Flotim dan Lembata.

Mengapa tidak diurus soal administrasi, paspor, visa dsb? Mengapa negara tidak hadir? Pemkab di mana?

Begitu banyak pertanyaan yang muncul di kalangan warganet di kampung. Tentu saja menyalahkan pemerintah daerah. "Ada sindikat yang mencari nafkah dari PMI ilegal," kata Benedikta.

Rabu 26 Januari, Benedikta kembali siaran:

"Jenasah PMI... PEKERJA MIGRAN INDONESIA mama Agustina Usi Kolin asal Desa KENERE Solor selatan Kabupaten Flotim tiba Larantuka... setelah seharian penuh melintasi cuaca ekstrim dr Ende hingga Larantuka. Trima kasih Tuhan. Besar kasih setiaMu.  Lindungi dan sertai kami dalm pelayaran ini menuju Pulau Solor DESA KENERE."

"Kami tidak melarang kamu pergi mencari REJEKI di perantauan...tapi ada baiknya Kamu ngurus semua Dokumen... biar kamu tercatat di SIMCO TKLN.

Kalau ada apa2 kamu terlindungi.terbantu.. jangan asal jalan tanpa dokumen. nah... seperti ini ni JADINYA. Sekarang petugas sudah ketat di mana2... di semua daerah perbatasan... di semua tempat Transit.. jadi URUSLAH DOKUMENnya BRO... Biar kalian kerja tidak lari2... kalian tidak berhadapan dg CALO."

Nasihat Kak Benedikta ini sebetulnya bukan barang baru. Dari dulu pun aturan masuk negara lain memang begitu. Tapi ya itu.. tetap saja orang nekat atau kepala batu masuk Malaysia karena merasa ada beking dari calo dan tauke-tauke di sana.

Selasa, 18 Januari 2022

Ong Khing Hwie ketua kelenteng TITD se-Indonesia berpulang

Tuan Ongko Prawiro atawa Ong Khing Hwie berpulang pada Rabu 12 Januari 2022. Laoban berusia berusia 75 tahun itu meninggalkan lebih dari 1.000 kelenteng di seluruh Indonesia.

 Selain meninggalkan pabrik kertas Jaya Kertas Group, hotel vintage Olympic di Surabaya dan Niagara di Lawang. Dan masih banyak harta kekayaan lainnya.

Di kalangan warga Tionghoa, khususnya yang rajin pigi sembahyang ke kelenteng, Tuan Ong Khing Hwie ini identik dengan kelenteng. Khususnya kelenteng-kelenteng Sam Kaw alias Tridharma.

Ongko Prawiro menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD) se-Indonesia sejak 1988. Menggantikan papanya, Ong Kie Tjay yang meninggal dunia. Ongko Prawiro juga Ketua Umum Majelis Rohaniwan Tri Dharma Se-Indonesia (Martrisia).

Pengusaha besar, taipan kaya raya sekaligus pimpinan tertinggi Buddha aliran Tridharma. Bahagia di bumi sekaligus di surga. Beda dengan kebanyakan orang yang sengsara di bumi dan ingin menikmati bahagia abadi di surga setelah ajal menjemput.

Ong Kie Tjay, papanya Ongko Prawiro, memang dikenal sebagai Bapak Tridharma. Dialah yang mendirikan perkumpulan tempat ibadat Tri Dharma pada tahun 1967. Organisasi ini sangat penting untuk menyelamatkan kelenteng-kelenteng yang terancam ditutup, disita, atau dialihfungsikan di awal Orde Baru.

Upaya Ong Kie Tjay kemudian disetujui pemerintah. Sejak saat itu kelenteng-kelenteng ganti nama jadi TITD: tempat ibadat Tri Dharma. Rumah ibadah untuk tiga agama/aliran sekaligus: Tao, Khonghucu, Buddha.

''Ketiga-tiganya itu jadi satu kesatuan yang utuh. Damai, serasi, harmonis,'' kata Ongko Prawiro kepada saya dalam sebuah wawancara.

Saya juga beberapa kali menemui Ongko Siansen di Kelenteng Dukuh. Sibuk benar dan sangat banyak jemaat yang datang menghadap. Macam-macam topi yang dubahas atau sekadar basa-basi jemaat dengan rohaniwannya.

Karena itu, jangan harap bisa wawancara lama dengan Ong Khing Hwie. Sepuluh menit saja sudah luar biasa. Ada kesan ia malas bicara dengan wartawan. Begitu melihat ada wartawan yang ingin bertanya soal makna Sincia, Cap Go Meh, sembahyang rebutan, lelang kalung dewa.. dia langsung berpaling.

Syukurlah, di Kelenteng Dukuh ini setiap hari ada pertunjukan wayang potehi. Dalang dan semua pemainnya orang Jawa. Saya jadi lebih sering ngobrol ngalor ngidul dengan rombongan potehi. Akhirnya jadi kenal dekat Dalang Mujiono, Eddy Sutrisno, Ki Subur dsb.

Tidak heran cerita-cerita tentang Kelenteng Dukuh di Surabaya lebih banyak soal pertunjukan wayang potehi itu. Kesenian tradisional Tionghoa yang dipentaskan tiap hari. Termasuk pada masa Orde Baru.

Cukup lama saya tidak bertemu Ong Sian Sen di Olympic Hotel yang sudah suram di Keputran itu. Juga tidak masuk ke Kelenteng Dukuh meski lewat di depannya hampir setiap hari. Saya malah lebih sering mampir ke kawasan Makam Sunan Ampel, tak jauh dari kelenteng tertua di Surabaya itu.

Sambil ngopi dan menikmati roti maryam khas Ampel, saya baca koran. Ada iklan besar setengah halaman. Tuan Ongko Prawiro meninggal dunia.

Selamat jalan, Pak Ongko!
Sabbe sankhara anicca!