Rabu, 20 November 2024

Nuel Muda, Komposer Liturgi Asal Sumba, Hasilkan Lebih dari 120 Lagu Gerejani

 Emanuel Laurentius Muda, atau yang akrab disapa Nuel Muda, adalah seorang komposer musik liturgi Katolik yang telah menghasilkan lebih dari 120 lagu. 

Karya-karya Nuel yang memuliakan Tuhan dihimpun dalam sebuah buku berjudul "Nyanyikan Lagu Baru bagi Tuhan". Namun, buku ini belum diterbitkan karena kendala biaya.

 Hingga kini, hanya beberapa teman dekat yang memiliki buku tersebut. Buku tersebut telah memuat 88 lagu, sementara lagu lainnya masih berupa fotokopi dan file dalam flashdisk.

"Saya ketik semua lagu ini sendiri menggunakan program Words dengan format yang saya buat sendiri," ujar Nuel,  kelahiran Weetebula, Sumba Barat Daya, NTT, 10 Desember 1955.

Meski belum mendapatkan rekomendasi resmi dari Komisi Liturgi (Komlit), Nuel selalu menggunakan lagu-lagunya setiap kali bertugas memimpin paduan suara. "Saya siapkan fotokopi teks untuk umat, dan mereka dilatih bernyanyi bersama," tambahnya.

Beberapa karya andalannya antara lain:

"Ya Tuhan Kami Percaya", lagu ke-54 yang mengajak umat mempercayakan hidup kepada Allah.

"Mari Kita Wartakan", lagu komuni untuk Masa Paskah yang penuh semangat pewartaan.

"Kami Datang Bapa", lagu persembahan dengan motif gong khas Sumba yang bisa diiringi tarian liturgis.

"Bunda Penuh Rahmat", lagu ke-86 yang menjadi pujian untuk Bunda Maria.

Nuel mengungkapkan bahwa ia banyak belajar dari Romo Karl Edmund Prier, SJ, direktur Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta. "Beliau sering memberikan koreksi pada komposisi dan aransemen lagu-lagu saya. Karena itu, karya saya banyak terpengaruh oleh gaya aransemen PML," jelasnya.

Inspirasi menciptakan lagu kerap datang dari pengalaman sehari-hari. Salah satunya adalah lagu "Marilah Kita Merenungkan", yang idenya muncul saat perjalanan dari Yogyakarta ke Purwokerto. 

"Melodi itu tiba-tiba muncul di kepala, lalu saya matangkan saat sudah sampai rumah," kenang pria yang menjadi organis di Gereja Katedral Kristus Raja Purwokerto sejak tahun 1990 hingga sekarang itu.

Selain itu, Nuel juga menciptakan lagu-lagu bertema khusus seperti "Panggilan Tuhan", yang mengajak umat menanggapi panggilan Allah, dan "Jagalah KawananKu", yang diciptakan untuk para imam agar tetap setia pada janji imamat.

"Semua talenta ini adalah pemberian Tuhan, maka saya persembahkan kembali kepada-Nya," tutup Nuel penuh syukur. 

Melalui karya-karyanya, ia berharap dapat terus memuliakan Tuhan dan memperkaya musik liturgi gereja.

Lowongan Kuli Toko di Rungkut, Jadi Ingat Kuli Tinta, Bangsa Kuli

Sudah lama saya tidak dengar dan baca kata "kuli". Padahal, dulu saya selalu ngaku "kuli" kalau ditanya kerja di mana, kerja apa, kok pulang tengah malam terus.

Kuli tinta, kerennya. Tapi "tinta" dibuang tinggal kuli tok.

"Kuli apa?" tanya Mbah Tandur tukang soto di Rungkut.

"Kuli, masak gak ngerti!"

Sejak itu Mbah Tandur menganggap saya kerja sebagai kuli pelabuhan. Di Kalimas, Jamrud, kawasan Tanjung Perak. Kuli angkut, tukang pikul barang-barang berat.

Gara-gara dianggap kuli pelabuhan, bukan kuli tinta, porsi makan saya selalu dilebihkan Bu Tandur. Nasinya banyaaak. Soto ayam juga begitu -- kuahnya. Isinya sih sama saja.

Kuli harus makan banyak supaya kuat mikul barang di Kalimas. Mungkin begitu fikiran Mbah Tandur. Asyik juga dianggap kuli beneran!

Pagi ini saya lihat spanduk di dekat jalan raya kawasan Rungkut Menanggal. Isinya: "Dibuka lowongan pekerjaan kuli toko..."

Hahaha... kata "kuli" yang sudah lama hilang muncul lagi di Surabaya. Mungkin baba Tionghoa itu wong lawas. Biasa pakai kata "kuli" warisan kolonial Belanda. Mungkin baba itu belum biasa basa-basi gaya eufemisme: karyawan, pekerja, staf.. atau kata-kata lain yang dianggap lebih halus.

Kata "kuli" memang ada di dalam kamus bahasa Indonesia. Mulai kamus awal kemerdekaan hingga Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Owe periksa kata "kuli" di kamus.

KBBI: kuli n orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya (seperti membongkar muatan kapal, mengangkut barang dari stasiun satu tempat ke tempat lain) pekerja kasar: aku minta dicarikan -- pengangkut barang"

Kamus St Moh Zain, 1952:
pekerja atau buruh yg bukan tukang. buruh yg tidak ada kepandaian khusus. pemikul barang².
 
Bung Karno mengatakan: 

"Di antara benua Asia dan benua Australia, antara lautan Teduh dan Lautan Indonesia, hidup suatu bangsa yang mula-mula mencoba untuk hidup kembali sebagai bangsa. Tapi akhirnya kembali menjadi kuli diantara bangsa-bangsa, kembali menjadi  een natie van koelies, en een kolie onder de naties. Bangsa koeli dan koeli di antara bangsa-bangsa"

(Soekarno–Tahun Vivere Pericoloso – 1964).

Naga-naganya omongan Bung Karno ada benarnya. Hidup kuli!

Selasa, 19 November 2024

Mahathir Mohamad about big Chinese Characters in Kuala Lumpur 

By MAHATHIR BIN MOHAMAD 

1. Weekends I drive around Kuala Lumpur.

2. Sometime I drop in the shopping complexes.

3. KL's shopping complexes are great.

4. The new ones are fantastic.

5. They are bigger and better than the shopping complexes in London or Tokyo.

6. The other day I dropped in one of the new ones.

7. Wow. It is great.

8. But suddenly I felt I was in China.

9. Then I realised why.

10. All the signboards are in Chinese with English translations.

11. Nothing in Malay. Not at all.

12. So is this Malaysia.

13. Or have we become a part of China.

14. English I can understand why.

15. Even in Japan signboards have English translations.

16. But big Chinese characters.

17. I was told that some Chinese TV refer to Malaysia as Little China.

18. Why?

19. Because among the Southeast Asian countries Malaysia displays the Chinese characters all over; large and prominent.

20. Must be because we have so many Chinese visitors.

21. But translation in small characters yes.

22. But our national language is Malay.

Yuliati Umrah: Dari Aktivis Anak Jalanan hingga Menjadi Perangkai Bunga

Yuliati Umrah, ketua Yayasan Alit Indonesia, dikenal luas atas pengabdiannya dalam pemberdayaan anak jalanan yang sering disebut arek lintang. Dedikasinya dalam membantu anak-anak jalanan di Surabaya telah membuatnya menjadi sosok yang dihormati di kalangan aktivis sosial. 

Namun, di balik perannya sebagai aktivis, Yuliati juga memiliki sisi lain yang jarang diketahui publik: dia adalah seorang floris, perangkai bunga, dan pembudidaya bunga yang berbakat.

Lulusan FISIP Universitas Airlangga (Unair) itu telah lama menekuni dunia bunga. Keahliannya dalam merangkai bunga membawanya ke berbagai kota di Indonesia untuk mengisi pelatihan seni merangkai bunga. Bagi Yuliati, bunga bukan hanya sekadar hobi, tetapi juga menjadi ladang pengembangan diri, kewirausahaan, dan budaya.

"Saya bersyukur impian saya sejak kelas 4 SD akhirnya terwujud. Kini saya memiliki kebun bunga, menjual bunga di toko, dan mengajarkan seni merangkai bunga. Proses ini sangat menyenangkan dan juga mengasah kemampuan saya dalam bidang pertanian dan kewirausahaan," ujar Yuliati.

Yuliati menceritakan pengalaman menarik saat menyelenggarakan workshop merangkai bunga yang diikuti oleh berbagai peserta. Foto-foto karya mereka yang diunggah di media sosial mendapat respons positif dari publik.

"Beberapa di antaranya langsung mendapatkan pesanan bunga. Bahkan, ada lima peserta yang membuka toko bunga di Surabaya Utara, Sidoarjo, Malang, dan Jakarta," paparnya.

Selain itu, Yuliati dipercaya untuk mendekorasi panggung Upacara Penyucian Candi Prambanan pada 10 November 2024. Upacara ini menjadi salah satu momen sakral dalam pemeliharaan dan pelestarian Candi Prambanan yang telah diakui sebagai candi terindah di dunia.

 Untuk acara tersebut, total biaya dekorasi bunga mencapai  Rp 20 juta. Yuliati menggunakan berbagai jenis bunga. Di antaranya, lily marlon dan bacardi, serta lily yelloween yang memberikan kesan elegan.

 Tak ketinggalan, aster putih dan kuning, serta pikok putih, ruskus dan xanado. Rosida, sedap malam, serta pohon pucuk merah juga dimasukkan dalam rangkaian, menciptakan suasana yang lebih mistis dan sakral.

 Krisan yang ditanam dalam pot menjadi elemen tambahan yang mempercantik tampilan, sementara gabah kering dan gumitir menambah elemen tradisional yang kaya makna.

"Tuhan berkati karya-karya kami, untuk memuji-Mu dan mengirimkan keindahan itu kepada seluruh alam semesta. Semoga karya ini menjadi doa terbaik bagi leluhur kami yang telah membuat negeri ini menjadi indah," kata Yuliati penuh syukur.

Yuliati juga berharap suatu saat bisa mendekorasi Candi Borobudur setelah sukses mendekorasi Candi Prambanan. 

Senin, 18 November 2024

Father Nicholas Strawn, SVD: A Life Devoted to Lembata’s People

Father Nicholas Strawn, SVD, a missionary from the Society of the Divine Word, has spent over six decades serving the people of Lembata, Indonesia.

 Born on September 24, 1934, in Iowa, USA, Father Strawn celebrated his 90th birthday this year. His unwavering dedication and love for the people of Lembata have become his defining legacy, as he chose to remain in the region rather than return to his homeland.

During a recent visit to Bukit Hospital in Lewoleba on September 13, 2024, where Father Strawn is bedridden due to age and illness, locals reflected on his profound impact.

 Laurentius Lewo, a native of Lembata, shared his heartfelt memories of meeting Father Strawn for the first time when he was just five years old.

"When you first arrived at St. Paul's Station in Atawolo, I was a young child," Laurentius said. "We affectionately called you 'Tuan Nico.' Your kindness and warmth made all of us children feel close to you."

Laurentius fondly recalled how Father Strawn regularly visited schools during his pastoral missions, teaching religious lessons and engaging with students. "You were like a shepherd to your flock," he added.

Father Strawn's commitment extended to the Parish of Lerek, where he served with unwavering enthusiasm and humility. Despite the physical challenges of his advanced age, he remains in Lembata, embracing the community that has become his family.

For the people of Lembata, Father Strawn's decision to stay is a testament to his deep love and devotion. Laurentius expressed his gratitude, saying, "Thank you, our shepherd, for choosing to be with us. May you find joy on your 90th birthday, and may God bless you always."

As Father Strawn rests in Lewoleba, his story continues to inspire the island's residents, a living example of faith, service, and love.

Gereja Tua di Lembata Tahun 1950-an

Oleh Peter A. Rohi
Wartawan Sinar Harapan

Pada tahun 1970-an, beberapa kali menyeberangi Pulau Lembata, saya sangat terkesan dengan kerukunan di sana dan keramahan penduduk di kampung-kampung yang saya lalui.

 Dari Loang ke Lewoleba, lalu dari Lewoleba memotong ke tengah pulau menuju Waiteba. Menyusuri arah barat dengan berjalan kaki, menginap di rumah penduduk sepanjang perjalanan.

Saya ingin menyampaikan Salam Natal kepada mereka yang dengan senang hati mengulurkan tangan membantu saya setiap kali saya melanglang ke pulau indah itu. Terutama saat meliput detik-detik terakhir Kampung Waiteba sebelum akhirnya runtuh atau tenggelam ke dasar laut.

Inilah foto tahun 1950 dari sebuah gereja di Lewoleba, Pulau Lembata, yang saat itu masih dikenal sebagai Pulau Lomblen.

Pada tahun 1979, ada sebuah kota kecamatan bernama Waiteba di selatan Pulau Lembata yang runtuh ke dasar laut. Sebelumnya, gempa terus-menerus terjadi akibat aktivitas Gunung Hobalt, sebuah gunung berapi di bawah laut.

 Ketika meletus beberapa bulan kemudian, kota tersebut tenggelam ke dasar laut, menelan ratusan jiwa.

Peristiwa itu sangat dahsyat. Namun, karena pada saat itu media di Indonesia masih terbatas dan televisi hanya satu, kejadian ini tidak banyak terekspos. 

Meski begitu, laporan saya di Harian Sinar Harapan dijadikan bahan penelitian ilmiah oleh Universitas Colorado. Saya adalah satu-satunya wartawan yang melakukan peliputan beberapa saat sebelum kota itu tenggelam.

Minggu, 17 November 2024

Remembering the 1979 Eruption of Mount Hobalt and the Tsunami in Lembata: Nearly a Thousand Lives Lost

Mount Hobalt, an active underwater volcano located in the Atadei District, southern Lembata Island in East Nusa Tenggara, is known for its dangerous eruptions. Its eruption in 1979, accompanied by a tsunami, claimed the lives of nearly a thousand people and submerged coastal villages.

The Volcanology and Geological Disaster Mitigation Center (PVMBG) records that Mount Hobalt erupted in 1976, 1979, 1983, and 2013, with the most devastating eruption occurring on July 21, 1979. 

Before the disaster, Peter Rohi, a reporter for Sinar Harapan, had warned in his article that Waiteba, the capital of Atadei, could be submerged if Mount Hobalt erupted.

Peter had witnessed numerous fish, including sharks, washed up on the shores, likely killed by the heat from the volcano. He warned the authorities about the impending eruption, but his caution was dismissed. 

Local government officials even told the residents to ignore the journalist's concerns. "Don't worry, just continue your work as usual. It's just a journalist's story," Peter recalled them saying.

Tragically, just days later, Mount Hobalt erupted, triggering a tsunami that reached up to 50 meters in height, sweeping along the coastline. Waiteba was swallowed by the sea.

 The East Nusa Tenggara provincial government recorded 539 fatalities, 364 missing persons, and 470 injured. A total of 903 lives were lost.

Peter's warning had come from a source in East Flores who had noticed signs of an eruption, coupled with information from a relative working at PVMBG in Bandung. Without hesitation, Peter chartered a boat from Larantuka to Lembata. 

Upon arrival, he traveled on foot to Lewoleba, the capital of Lembata, where he stayed the night. The next day, accompanied by a local, he continued his journey to Waiteba, traversing difficult terrain, and reached the village at midnight.

 While photographing Waiteba from a hilltop the following day, a sudden earthquake struck, causing the ground to collapse beneath him.

"I was thrown among the rocks but managed to survive. My goal was ahead—there was a major story, lives to be saved," Peter recalled.

Jonathan Lassa, from the Institute of NTT Studies, described how the tsunami inundated nearly the entire bay area, stretching 12 kilometers long and 500-600 meters wide. Debris lodged in lontar palm trees reached a height of about seven meters.

The event involved three tsunami waves, followed by landslides. After the eruption, the tip of Mount Hobalt vanished beneath the sea, and it remains an underwater volcano to this day.