Minggu, 17 November 2024

Remembering the 1979 Eruption of Mount Hobalt and the Tsunami in Lembata: Nearly a Thousand Lives Lost

Mount Hobalt, an active underwater volcano located in the Atadei District, southern Lembata Island in East Nusa Tenggara, is known for its dangerous eruptions. Its eruption in 1979, accompanied by a tsunami, claimed the lives of nearly a thousand people and submerged coastal villages.

The Volcanology and Geological Disaster Mitigation Center (PVMBG) records that Mount Hobalt erupted in 1976, 1979, 1983, and 2013, with the most devastating eruption occurring on July 21, 1979. 

Before the disaster, Peter Rohi, a reporter for Sinar Harapan, had warned in his article that Waiteba, the capital of Atadei, could be submerged if Mount Hobalt erupted.

Peter had witnessed numerous fish, including sharks, washed up on the shores, likely killed by the heat from the volcano. He warned the authorities about the impending eruption, but his caution was dismissed. 

Local government officials even told the residents to ignore the journalist's concerns. "Don't worry, just continue your work as usual. It's just a journalist's story," Peter recalled them saying.

Tragically, just days later, Mount Hobalt erupted, triggering a tsunami that reached up to 50 meters in height, sweeping along the coastline. Waiteba was swallowed by the sea.

 The East Nusa Tenggara provincial government recorded 539 fatalities, 364 missing persons, and 470 injured. A total of 903 lives were lost.

Peter's warning had come from a source in East Flores who had noticed signs of an eruption, coupled with information from a relative working at PVMBG in Bandung. Without hesitation, Peter chartered a boat from Larantuka to Lembata. 

Upon arrival, he traveled on foot to Lewoleba, the capital of Lembata, where he stayed the night. The next day, accompanied by a local, he continued his journey to Waiteba, traversing difficult terrain, and reached the village at midnight.

 While photographing Waiteba from a hilltop the following day, a sudden earthquake struck, causing the ground to collapse beneath him.

"I was thrown among the rocks but managed to survive. My goal was ahead—there was a major story, lives to be saved," Peter recalled.

Jonathan Lassa, from the Institute of NTT Studies, described how the tsunami inundated nearly the entire bay area, stretching 12 kilometers long and 500-600 meters wide. Debris lodged in lontar palm trees reached a height of about seven meters.

The event involved three tsunami waves, followed by landslides. After the eruption, the tip of Mount Hobalt vanished beneath the sea, and it remains an underwater volcano to this day.

Jumat, 15 November 2024

Javanese Catholic Tradition Lives On in Sweet Friday Prayer Vigil at Puhsarang

Thousands of Catholic faithful from 46 parishes in the Diocese of Surabaya gathered last night for a prayer vigil Mass at the Lourdes Grotto in Puhsarang, Kediri, honoring the Javanese tradition of "Jumat Legi" or Sweet Friday.

 Many pilgrims from Surabaya joined the monthly pilgrimage, a special time for communal prayer.

The Mass was imbued with rich Javanese cultural elements, harmoniously blending Javanese customs with Catholic rituals, creating a spiritually enriching experience for the pilgrims.

"I always make an effort to come to Puhsarang every Friday Legi night unless there are unavoidable obligations," said Susilo, a Catholic from Sidoarjo.

Maria from Surabaya, also present at the vigil, expressed her gratitude, saying, "Last night's Friday Legi prayer vigil Mass at the Lourdes Grotto, Puhsarang Kediri, was a blessing. May God bless us all."

During the procession to the Lourdes Grotto, participants walked while carrying lit candles and singing the hymn "At Lourdes in the Grotto." 

Each candle was placed before the statue of the Virgin Mary, a symbol of the sincerity of their prayers. Prayer requests, initially hung on tree branches, were burned one by one, symbolizing their submission of hopes and prayers to God through the intercession of Mother Mary.

Keroncong dan Seriosa Kian Redup, Final Bintang Radio 2024 di Surabaya Hanya Lomba Pop

Tren musik keroncong dan seriosa semakin meredup di Indonesia. Hal ini terlihat dari ajang Final Bintang Radio 2024 di Surabaya beberapa hari lalu, yang hanya melombakan kategori musik pop atau hiburan. 

Padahal sejak digelar pertama kali pada 1951, Bintang Radio yang pernah menjadi ajang paling bergengsi di Indonesia ini selalu memasukkan kategori seriosa, keroncong, dan hiburan.

Apakah ini menandakan keroncong dan seriosa sudah tak lagi diminati?

Musafir Isfanhari, dosen musik di Unesa dan mantan juri Bintang Radio, menilai keroncong dan seriosa masih memiliki penggemar, meski segmennya lebih kecil dibanding pop. "Di mana-mana begitu," ujarnya.

Isfanhari melihat keroncong justru sedang bangkit, terutama di kalangan anak muda. "Sekarang banyak grup keroncong muda dengan kualitas permainan bagus," katanya. 

Di Semarang bahkan muncul fenomena "Cong Rock," perpaduan keroncong dan rock yang tetap membawa nuansa khas keroncong. "Banyak grup keroncong sekarang semua anggotanya wanita. Di masa lalu, grup seperti ini hampir tak ada."

Untuk musik seriosa, Isfanhari menyebut bahwa di negara asalnya, Eropa, peminatnya memang terbatas. "Seriosa itu tidak seperti rock atau dangdut yang bisa tampil di lapangan sepak bola dengan ribuan penonton," jelasnya.

Ia menambahkan, seriosa dan keroncong tergolong "chamber music" atau musik kamar, yang idealnya dimainkan di ruangan tertutup. "Penontonnya datang berpakaian rapi dan memberi tepuk tangan secukupnya."

Namun, Isfanhari juga menyoroti tantangan besar bagi kedua genre ini jika dijadikan kategori lomba. "Kalau seriosa dan keroncong masuk ajang lomba, siapa yang mau mensponsori? Pasti sponsornya sedikit, dan ini masalah tersendiri," ujarnya.

Berat Badan Para Romo, Uskup, hingga Paus Cenderung Tidak Terjaga, Rawan Penyakit

Berat badan para uskup dan imam Katolik sering kali terlihat tidak terkontrol, cenderung mengalami kenaikan yang berdampak pada kesehatan. Ini terlihat hampir di seluruh dunia.

 F. Rahardi, wartawan senior sekaligus pemerhati masalah kegerejaan, mengungkapkan kondisi ini mencerminkan pola hidup yang kurang berolahraga di kalangan pemuka agama.

"Berat badan itu salah satu faktor penentu kesehatan seseorang," kata Rahardi. 

Ia mencontohkan Paus Fransiskus yang tampak lebih langsing saat terpilih pada konklaf 13 Maret 2013, namun berbeda saat berkunjung ke Indonesia pada awal September 2024.

 "Saat berdiri terlihat sekali tubuhnya berat untuk ditopang. Padahal di Vatikan ada dokter, ahli gizi, dan instruktur olahraga ringan," ujarnya.

Rahardi juga menyoroti sejumlah uskup muda di Indonesia yang sudah mengalami masalah kesehatan, termasuk sakit jantung. Menurutnya, ini terkait pola makan, pola hidup yang cenderung kurang gerak, serta pola pikir.

 "Jalan kaki satu jam per hari itu mudah dan murah, tapi niatnya yang mahal. Yang jual niat pun langka," ungkap Rahardi yang juga penulis buku.

Rahardi mengingat Paus Yohanes XXIII yang dikenal berperawakan gemuk dan hanya memimpin Gereja selama lima tahun, dari 1958 hingga 1963, sebelum wafat di tengah berlangsungnya Konsili Vatikan II. 

"Monsinyur Ruby wis penakiten, kurang gerak," tambah Rahardi, mengenang dengan nada reflektif sebagai mantan seminaris yang tak jadi pastor.

Senada, Wied Harry, salah satu jemaat Katolik, juga menyoroti masalah kesehatan yang kerap dialami para imam muda. 

"Banyak romo muda yang sudah kolesterol, tensi, gula darah, atau asam uratnya tinggi. Selain faktor makanan, peran 'caosan dhahar' dari umat yang biasanya berupa makanan kesukaan romo juga mempengaruhi," tulis Wied di media sosialnya.

Ahli gizi itu menyebut hanya sedikit romo yang sadar pentingnya pola makan sehat, seperti Romo Fitri dan Romo Santo, yang ia kenal dengan baik.

Kamis, 14 November 2024

Mount Batutara in Lembata: A Natural Wonder of Explosive Beauty

Mount Batutara, located in the administrative area of Lembata Regency, sits on Komba Island—a remarkable place that is both an island and a volcanic mountain. Situated in the Flores Sea just north of Lembata Island, Batutara is known for its unique and powerful eruptions.

What makes Mount Batutara especially fascinating is its consistent eruption cycle—every 20 minutes, it releases fiery hot lava, forming beautiful sparks that light up the sky.

 The eruptions are often accompanied by small tsunamis, though these are harmless and can be safely viewed from about 20 meters away. This stunning natural display occurs continuously throughout the day, but according to Ocep Karez, a young man from Atadei who recently visited Batutara, it's most enchanting during dusk and dawn.

A 90-minute journey by speedboat from Lewoleba brings you to Batutara, making it relatively accessible for adventurous travelers. Mount Ile Batutara is one of only three volcanoes in the world with such a unique eruption pattern—the others are in Sicily and the Atlantic Ocean.

Recently designated a geological tourist destination by Lembata Regency, Batutara has begun attracting visitors from across the globe, eager to witness this extraordinary natural show. Just recently, about 35 tourists from Latin America visited Batutara to marvel at its fiery landscape.

"Batutara is incredibly beautiful," said Ocep. "More and more visitors are coming, although most stay along the shoreline to dive and enjoy the coral beauty."

With a steep structure, Batutara's peak is bare, unlike other volcanic mountains. The summit features small, sporadic eruptions, releasing ash and smoke every 20-25 seconds, creating a fascinating sight.

Is Batutara Always Open to Visitors?

While it's possible to hike Batutara, visitors must obtain permission from local security officials to ensure they are aware of any climbing activities. 

"There's no phone signal up there, so it's important to inform authorities if you're planning to climb," Ocep added.

With its unique geological features and captivating views, Mount Batutara is fast becoming a must-see destination for those seeking a rare encounter with Earth's raw beauty.

Riwayatnya Hoesinstraat atawa Jalan Husin di Kembang Jepun Surabaya, Mengenang Saudagar Kaya Haji Hoesin bin Haji Tajib Napis


Sudah lama owe penasaran dengen Jalan Husin, Surabaya. Persis di pojokan Shin Hua Barbershop yang terkenal di Kembang Jepun. Agak aneh ada jalan bernama Husin di Handelstraat kawasan pecinan.

Owe dulu sempet nanya kiri kanan tapi tidak dapet jawaban. Memang dari dulu namanya Jalan Husin, kata rekan aktivis tempo doeloe yang seneng blusukan di kota lama.

Eureka! Akhirnya, owe gak sengaja nemu berita kecil di koran tempo doeloe pake bahasa Melayu Tionghoa. Sin Tit Po edisi Selasa, 1 Desember 1931. 

Isi berita kecil itu sebagai berikut:

 Dalam pertemuan Dewan Kota Surabaya tahun 1931, Tuan Hadji Hoesin bin Hadji Tajib Napis, perwakilan dari perusahaan konstruksi Bouw-en Handels Compagnie bin Tajibnapis, mengajukan permintaan agar sebuah jalan baru di Kampung Dukuh diberi nama sesuai jasanya. 

Jalan tersebut diusulkan untuk dinamai Hoesinstraat atau Hoesindwarsstraat.

Oalah... 

Permintaan ini akhirnya disetujui oleh gemeente atau pemerintah kota saat itu, sehingga Jalan Husin menjadi salah satu cabang Jalan Kembang Jepun di sisi utara.

 Jalan ini dikenal sebagai jalan baru sejak tahun 1931, sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi Tuan Hadji Hoesin. Hadji Hoesin, saudagar kaya asal Banjar,  dianggap memiliki jasa besar bagi masyarakat Kota Surabaya, terutama di sektor pembangunan dan perdagangan.

"Bisnisnya tidak kalah dengan pengusaha-pengusaha Tionghoa di kawasan Pabean, Kembang Jepun, Cantian, Slompretan, Pabean, Sambongan, dan kawasan pecinan lainnya," ujar Liman, seorang anggota komunitas tempo doeloe.

Owe periksa di Google dengen ketik nama "Hoesin" dan "Tajibnapis". Tidak banyak informasi. Tidak ada artikel yang membahas perdagangan tuan itu pada masa kolonial di Surabaya. Tapi ada satu tulisan di blog yang menyebut Hoesin Tajibnapis salah satu orang terkaya di NTB.

Artinya, sejak dulu bisnis Haji Tajibnapis, dilanjutkan Hoesin bin Tajibnapis dan saudara-saudaranya menyebar ke beberapa kota. Di Surabaya sendiri Tajibnapis jadi saudagar kaya dan tuan tanah yang disegani pemerintah kolonial Belanda.

Karena itu, Gemeente Soerabaia alias pemkot pada masa Hindia Belanda, tahun 1931, meluluskan pembukaan jalan baru dengen nama Hoesinstraat atawa Jalan Husin.

Owe sendiri sering lewat Jalan Husin ke arah Kampung Dukuh lalu terus Nyamplungan mampir sejenak di Wisata Religi Ampel, Masjid Raden Rahmat, Surabaya. Dulu owe fikir Hadji Hoesin ini orang Hadramaut atau Arab dari Kampung Ampel. Ternyata orang Banjar, Kalimantan Selatan. 

Sekian.

Orang Jawa terkesan keramahan orang Lembata saat mendaki Gunung Ile Werung

Oleh Sarah dan Cio

Tahun 2022 kemarin, saya dan teman saya mau mendaki ke gunung di NTT. Kami dari Bogor menuju Kupang, ke Larantuka, terus ke Ende, Bajawa, Manggarai, dan Labuan Bajo. Rencana awal untuk mendaki Inerie tertunda karena teman saya sakit.

 Akhirnya, kami kembali ke Larantuka dan melanjutkan perjalanan ke Adonara dan Lembata. Banyak cerita di sana, orang-orang NTT sangat ramah. 

Mungkin kalau di Pulau Jawa, beberapa orang bilang galak dan kasar, tetapi saya bisa buktikan bahwa mereka tidak seperti itu. Mereka sangat ramah, sopan, dan peduli dengan orang-orang luar seperti saya.

Ada satu momen ketika kami pergi ke Lemabata, di mana kami ingin mengunjungi dapur alam dan mendaki Gunung Ile Werung di Kecamatan Atadei. Kami melewati sebuah desa dan kebetulan kehabisan air minum. Nama desa itu Bauraja. 

Di ujung desa itu, kami ingin beli minum di warung. Saat sedang belanja, ada anak remaja sekitar 15 tahun yang membawa kelapa muda. 

Teman saya bertanya, "Kelapanya dijual, nggak dek? Biar kami beli, karena sangat haus." Namun, si adek bilang tidak dijual, tapi jika kakak mau, bisa diambilkan.

Dia mengambil sekitar 5 buah dan sudah dikupas pula. Setelah semuanya beres, aku kasih uang 100 ribu, tetapi ditolak sama adeknya. 

Aku pikir kurang, tetapi dia bilang kelapanya gratis, tidak usah bayar. Temanku juga sempat mengeluarkan 100 ribu lagi untuk ditambahkan, tetapi tetap tidak mau.

 Setelah kami paksa, baru dia mau menerima. Yang bikin aku kaget lagi, dia bilang, "Kakak, kapan pulang? Biar nanti kalau lewat, saya tunggu buat kasih buah sama kelapa lagi." 

Sumpah, di situ aku nangis, tidak tahu mau bilang apa.

Aku sama temanku dari Bogor dan cuma modal nekat pergi ke tempat yang sama sekali tidak kami ketahui. Pengalaman selama petualangan atau backpackeran di NTT merupakan pengalaman yang tak terlupakan. 

Daerah atau desa di NTT yang aku datangi selalu punya cerita yang akan selalu aku ingat. Senyum dan tawa mereka begitu ikhlas. Semoga suatu hari nanti bisa kembali ke sana untuk sesuatu yang lebih besar.

Oh ya, untuk si adik, kami akhirnya bertemu lagi keesokan harinya. Saya minta alamat rumah dan nomor HP orang tuanya, dan saya kirimkan beberapa baju serta sepatu untuk sekolah. Tidak banyak, tetapi semoga bisa jadi kenang-kenangan untuk dia.

Sedikit cerita indah di ujung Timur Indonesia. (*)