Membaca tulisan, berita, artikel, atau buku yang menyenangkan itu asyik. Pasti dibaca sampai selesai. Bahkan selalu terasa kurang. Mirip ketagihan ngopi, ngerokok, atau emping melinjo.
Itulah yang membuat catatan-catatan Dahlan Iskan selalu ditunggu. Kalau dulu seminggu sekali di koran cetak, sekarang bisa dibaca tiap hari. Ada rasa kehilangan kalau tidak baca catatan beliau yang unik lengkap dengan bumbu sambal humor Suroboyoan.
Bagaimana dengan membaca tulisan yang tidak menarik? Berita tentang olahraga yang tidak kita sukai? Misalnya, hoki, rugby, paralayang, pergolakan politik di Haiti, Madagaskar, dan sejenisnya? Ini yang menantang.
Sangat tidak gampang membaca berita-berita yang tidak kita sukai. Karena itu, tidak banyak orang yang membaca semua berita di surat kabar atau majalah. Membaca 50 persen berita saja sudah bagus. Bahkan, 30 persen sudah bagus.
"Aku malah cuma baca judul-judul aja. Paling cuma baca 4 atau 5 berita aja. Itu pun tidak seluruhnya," kata Cak Slamet, wartawan senior yang juga gurunya wartawan.
"Sekarang malah gak langganan koran sama sekali. Aku baca berita-berita di internet yang aku suka aja. Gak sempat baca koran lagi," kata Cak Hendry, penulis buku yang juga pensiunan wartawan.
Tak hanya para pensiunan, banyak sekali wartawan-wartawan muda yang masih aktif juga jarang membaca surat kabar, majalah, atau medianya. Apalagi generasi milenial yang tidak biasa baca koran saat masih sekolah atau kuliah. Mereka ini tidak bisa konsentrasi membaca dalam durasi panjang. Sebentar-sebentar lihat media sosial di HP dan sebagainya.
Karena itu, tulisan wartawan-wartawan muda umumnya tidak ada improvement. Selalu bikin kesalahan tata bahasa, diksi, kata depan di sering disambung, lead yang kacau, tidak runut, kalimat-kalimat panjang dsb. Masalahnya sederhana, reporter-reporter muda tidak mau membandingkan naskah aslinya dengan naskah editan yang dimuat di koran atau laman online.
Seorang editor senior, lulusan Amerika Serikat (USA), sering menasihati para pekerja media supaya selalu berusaha membaca berita-berita yang (dianggap) paling tidak menarik di koran atau majalah. Dari awal sampai akhir. Meskipun tidak suka, ya tetap membaca, membaca, dan membaca.
Misalnya, advertorial tentang produk kacamata, obat kuat, situasi di Yaman atau Honduras, atau olahraga yang tidak umum di Indonesia. Pagi ini saya baca berita Kyokushinkai di Jawa Pos. Olahraga asing bagi saya tapi tetap diikuti dari kalimat pertama hingga kalimat terakhir.
Berat memang membaca berita atau naskah yang tidak kita sukai di koran. Tapi masih jauh lebih bagus karena sudah diedit oleh redaktur dan diperiksa editor bahasa alias copy editor. Jauh lebih sengsara membaca naskah-naskah mentahan dari penulis yang ruwet dan bikin pusing.
Karena itu, tidak heran para editor atau redaktur atau penyunting, atau apa pun namanya, biasanya lebih gampang stres, pusing, cepat botak. "Dan, bisa setengah gila kalau kurang piknik atau hiburan," kata Cak Sugeng, redaktur senior koran terkenal yang sudah meninggal dunia (bukan covid).
Itulah yang membuat catatan-catatan Dahlan Iskan selalu ditunggu. Kalau dulu seminggu sekali di koran cetak, sekarang bisa dibaca tiap hari. Ada rasa kehilangan kalau tidak baca catatan beliau yang unik lengkap dengan bumbu sambal humor Suroboyoan.
Bagaimana dengan membaca tulisan yang tidak menarik? Berita tentang olahraga yang tidak kita sukai? Misalnya, hoki, rugby, paralayang, pergolakan politik di Haiti, Madagaskar, dan sejenisnya? Ini yang menantang.
Sangat tidak gampang membaca berita-berita yang tidak kita sukai. Karena itu, tidak banyak orang yang membaca semua berita di surat kabar atau majalah. Membaca 50 persen berita saja sudah bagus. Bahkan, 30 persen sudah bagus.
"Aku malah cuma baca judul-judul aja. Paling cuma baca 4 atau 5 berita aja. Itu pun tidak seluruhnya," kata Cak Slamet, wartawan senior yang juga gurunya wartawan.
"Sekarang malah gak langganan koran sama sekali. Aku baca berita-berita di internet yang aku suka aja. Gak sempat baca koran lagi," kata Cak Hendry, penulis buku yang juga pensiunan wartawan.
Tak hanya para pensiunan, banyak sekali wartawan-wartawan muda yang masih aktif juga jarang membaca surat kabar, majalah, atau medianya. Apalagi generasi milenial yang tidak biasa baca koran saat masih sekolah atau kuliah. Mereka ini tidak bisa konsentrasi membaca dalam durasi panjang. Sebentar-sebentar lihat media sosial di HP dan sebagainya.
Karena itu, tulisan wartawan-wartawan muda umumnya tidak ada improvement. Selalu bikin kesalahan tata bahasa, diksi, kata depan di sering disambung, lead yang kacau, tidak runut, kalimat-kalimat panjang dsb. Masalahnya sederhana, reporter-reporter muda tidak mau membandingkan naskah aslinya dengan naskah editan yang dimuat di koran atau laman online.
Seorang editor senior, lulusan Amerika Serikat (USA), sering menasihati para pekerja media supaya selalu berusaha membaca berita-berita yang (dianggap) paling tidak menarik di koran atau majalah. Dari awal sampai akhir. Meskipun tidak suka, ya tetap membaca, membaca, dan membaca.
Misalnya, advertorial tentang produk kacamata, obat kuat, situasi di Yaman atau Honduras, atau olahraga yang tidak umum di Indonesia. Pagi ini saya baca berita Kyokushinkai di Jawa Pos. Olahraga asing bagi saya tapi tetap diikuti dari kalimat pertama hingga kalimat terakhir.
Berat memang membaca berita atau naskah yang tidak kita sukai di koran. Tapi masih jauh lebih bagus karena sudah diedit oleh redaktur dan diperiksa editor bahasa alias copy editor. Jauh lebih sengsara membaca naskah-naskah mentahan dari penulis yang ruwet dan bikin pusing.
Karena itu, tidak heran para editor atau redaktur atau penyunting, atau apa pun namanya, biasanya lebih gampang stres, pusing, cepat botak. "Dan, bisa setengah gila kalau kurang piknik atau hiburan," kata Cak Sugeng, redaktur senior koran terkenal yang sudah meninggal dunia (bukan covid).