Sabtu, 05 Februari 2022

Biasakan membaca berita-berita yang tidak disukai

Membaca tulisan, berita, artikel, atau buku yang menyenangkan itu asyik. Pasti dibaca sampai selesai. Bahkan selalu terasa kurang. Mirip ketagihan ngopi, ngerokok, atau emping melinjo.

Itulah yang membuat catatan-catatan Dahlan Iskan selalu ditunggu. Kalau dulu seminggu sekali di koran cetak, sekarang bisa dibaca tiap hari. Ada rasa kehilangan kalau tidak baca catatan beliau yang unik lengkap dengan bumbu sambal humor Suroboyoan.

Bagaimana dengan membaca tulisan yang tidak menarik? Berita tentang olahraga yang tidak kita sukai? Misalnya, hoki, rugby, paralayang, pergolakan politik di Haiti, Madagaskar, dan sejenisnya? Ini yang menantang.

Sangat tidak gampang membaca berita-berita yang tidak kita sukai. Karena itu, tidak banyak orang yang membaca semua berita di surat kabar atau majalah. Membaca 50 persen berita saja sudah bagus. Bahkan, 30 persen sudah bagus.

"Aku malah cuma baca judul-judul aja. Paling cuma baca 4 atau 5 berita aja. Itu pun tidak seluruhnya," kata Cak Slamet, wartawan senior yang juga gurunya wartawan.

"Sekarang malah gak langganan koran sama sekali. Aku baca berita-berita di internet yang aku suka aja. Gak sempat baca koran lagi," kata Cak Hendry, penulis buku yang juga pensiunan wartawan.

Tak hanya para pensiunan, banyak sekali wartawan-wartawan muda yang masih aktif juga jarang membaca surat kabar, majalah, atau medianya. Apalagi generasi milenial yang tidak biasa baca koran saat masih sekolah atau kuliah. Mereka ini tidak bisa konsentrasi membaca dalam durasi panjang. Sebentar-sebentar lihat media sosial di HP dan sebagainya.

Karena itu, tulisan wartawan-wartawan muda umumnya tidak ada improvement. Selalu bikin kesalahan tata bahasa, diksi, kata depan di sering disambung, lead yang kacau, tidak runut, kalimat-kalimat panjang dsb. Masalahnya sederhana, reporter-reporter muda tidak mau membandingkan naskah aslinya dengan naskah editan yang dimuat di koran atau laman online.

Seorang editor senior, lulusan Amerika Serikat (USA), sering menasihati para pekerja media supaya selalu berusaha membaca berita-berita yang (dianggap) paling tidak menarik di koran atau majalah. Dari awal sampai akhir. Meskipun tidak suka, ya tetap membaca, membaca, dan membaca.

Misalnya, advertorial tentang produk kacamata, obat kuat, situasi di Yaman atau Honduras, atau olahraga yang tidak umum di Indonesia. Pagi ini saya baca berita Kyokushinkai di Jawa Pos. Olahraga asing bagi saya tapi tetap diikuti dari kalimat pertama hingga kalimat terakhir.

Berat memang membaca berita atau naskah yang tidak kita sukai di koran. Tapi masih jauh lebih bagus karena sudah diedit oleh redaktur dan diperiksa editor bahasa alias copy editor. Jauh lebih sengsara membaca naskah-naskah mentahan dari penulis yang ruwet dan bikin pusing.

Karena itu, tidak heran para editor atau redaktur atau penyunting, atau apa pun namanya, biasanya lebih gampang stres, pusing, cepat botak. "Dan, bisa setengah gila kalau kurang piknik atau hiburan," kata Cak Sugeng, redaktur senior koran terkenal yang sudah meninggal dunia (bukan covid).
 

Rabu, 02 Februari 2022

Mas Tri Cetak Film hingga Cetak Jarak Jauh

Satu lagi kawan pamit. Mas Tri purnatugas. Tuntas sudah pengabdiannya di perusahaan media. Enggan diperpanjang kontraknya.

"Sudah cukup. Saya sudah bertahun-tahun ngelaju dari Mojokerto ke Surabaya pakai motor. Sekarang waktunya istirahat. Badan sudah capek," kata Tri Ongko Imam Juhanis, nama penuh kawan lama ini.

Cukup jauh jarak Mojokerto-Surabaya. Sekitar dua jam naik sepeda motor. Bisa lebih. Tapi karena dilakoni enam hari seminggu ya jadi kulino. Malah terasa seperti rekreasi setiap hari.

Pekerjaan apa pun, kalau dinikmati, jadi asyik. Sebaliknya, kalau tidak dinikmati rasanya berat. Meskipun jarak kantor dengan rumah mungkin tidak sampai lima kilometer. Saking nikmatnya, Mas Tri berhasil menuntaskan tugasnya di bagian pracetak.

Karyawan di belakang layar macam Mas Tri ini memang tak dikenal orang luar. Nama-nama dan wajah mereka tak muncul di atas kertas koran atau majalah. Tapi betapa pentingnya Mas Tri dkk dalam memastikan tidak ada salah ketik di judul atau tubuh berita. Keliru satu huruf saja bisa gawat.

Mas Tri ini, karena pengalamannya, punya kecermatan dan ketelitian tingkat tinggi. Dia bisa menemukan huruf atau kata yang 'aneh' atau kathut yang lolos dari pengamatan redaktur dan copy editor. 

"Apa gak keliru kalimat ini? Naskah ini kan sudah muat kemarin. Kok bisa muncul lagi?" begitu antara lain peringatan Mas Tri. Dan, setelah dicek ulang ternyata benar. Om redaktur sudah ngantuk atau kelelahan sehingga tidak fokus.

Mas Tri lulusan STM bagian grafika. Jadi, sangat paham proses printing atau percetakan surat kabar, majalah, buku, undangan pernikahan, dsb. Mulai separasi warna, pembuatan plat, dan tetek bengek urusan teknis lainnya.

Tri Juhanis ini juga generasi transisi. Ia mengalami proses cetak model lawas yang masih banyak manualnya hingga sistem cetak jarak jauh. Awalnya Tri dan kawan-kawan harus berkutat dengan film. Huruf-hurufnya terbalik macam di stempel. Tapi orang macam Tri ini sangat lancar membaca tulisan-tulisan terbalik bayangan cermin. Jangan-jangan malah lebih lancar ketimbang membaca tulisan normal.

Karena itu, Tri gampang saja menemukan kata yang salah ketik atau judul yang dianggap "gak bunyi". Kalau sudah begitu ya filmnya digunting. Redaktur revisi naskah itu. Lalu cetak film lagi. Hasilnya dilem di film yang besar tadi.

Nah, setelah semua halaman rampung, film-film itu dibawa ke percetakan. Pakai sepeda motor. Lumayan jauh. Paling lama 30 menit kalau macet. Bagaimana kalau film koran itu hilang atau dicuri di jalan? Alhamdulillah, belum ada kejadian seperti itu.

Jadi masalah besar ketika percetakan pindah ke kawasan Wringinanom, Gresik. Bukan lagi di Karah Surabaya. Apa boleh buat, film itu tetap diboyong ke Gresik. Pakai motor, bukan helikopter. Berat memang tapi kalau dinikmati jadi asyik kayak rekreasi saja.

Syukurlah, teknologi printing lawas pun berlalu. Diganti cetak jarak jauh. Tidak perlu lagi pakai film yang ribet itu. Juga sangat mahal. Halaman-halaman bisa dikirim secara digital lewat komputer. Tidak sampai satu menit sudah tiba di percetakan di Gresik. Pekerjaan jadi sangat enteng berkat jasa teknologi.

"Semua itu pengalaman yang harus kita lalui. Ke depan teknologi pasti semakin maju," katanya.

Kini Mas Tri sudah tidak lagi ribet memelototi kata-kata hingga titik koma atau membaca naskah bayangan cermin. Toh, naskah terbalik itu bisa dinormalkan hanya dengan sekali sentuhan. Tri ingin istirahat karena sudah capek wira-wiri atau riwa-riwi Mojokerto-Surabaya.

Salam sehat dan tetap gembira!

Selasa, 01 Februari 2022

Sin Cia sepi, harus banyak sembahyang

Sincia kalo ini sepi. Masih sama dengan tahun lalu. Gara-gara virus corona masih ada dan bermutasi jadi Omicron. Prokes ketat membuat orang Tionghoa ahli-ahli kelenteng enggan datang sembahyang Sincia.

Senin malam, 31 Januari 2022. Aku mampir ke TITD Hong San Ko Tee atawa Kelenteng Cokro, Jalan Cokroaminoto 12 Surabaya. Ingin lihat suasana malam tahun baru Tionghoa. Siapa tahu ada atraksi barongsai.

Ternyata sepi. Kelenteng sudah tutup pukul 21.00. Cuma ada lima atau tujuh orang di dalam. Lampion-lampion tidak dinyalakan. Seperti tak ada apa-apa. Padahal, biasanya kelenteng ini sangat ramai pada malam pergantian tahun. Melekan sampai pagi.

Di luar pintu pagar ada dua orang ahli Kaypang. Barisan peminta-minta sedekah. Keduanya menggerutu dalam bahasa daerah sebelah yang aku agak paham. Juga berdoa agar Tuhan kucurkan angpao di masa sulit ini.

"Angpaonya mana? Belum dapat sama sekali," kata anggota Kaypang yang agak muda. Temannya yang tua terus menggerutu.

Sin Cia tahun 2022 ini memang masih prihatin. Namun dewa-dewa ora sare, tidak tidur. Mereka melihat sepak terjang manusia-manusia di dunia yang tengah diamuk badai Covid-19.

Sebelum pulang saya baca pesan pengurus kelenteng: Harus banyak sembahyang biar bisa lolos dari malapetaka!

Salam Sin Cia!
Banyak sembahyang!
Kurangi dosa!

Senin, 31 Januari 2022

Nana Li sepi job selama pandemi

Sudah lama tidak ngobrol dengan artis lokal. Bahkan sebelum pandemi covid merebak akhir 2019. Senin (31/1/2022) baru ngobrol sejenak dengan Nana Li.

Nama asli? "Gak perlu lah," katanya sambil tersenyum.

Penyanyi asal Menganti, Gresik, ini dapat job menghibur rombongan Bupati Sidoarjo, Kapolres Sidoarjo, forkopimda, pimpinan bank, LSM, perhotelan dsb. Job manggung yang teramat jarang di masa pandemi ini.

Karena itu, Nana Li mengucap syukur kepada Tuhan. Selama hampir dua tahun tak ada job. Sebab, ada PSBB, PPKM darurat, PPKM level 4, level 3 dsb. Tak boleh ada hajatan. Kafe-kafe, tempat hiburan tutup. Tak ada live music atau organ tunggal.

"Sejak akhir tahun lalu sudah bisa manggung. Tapi belum normal," kata Nana.

Nana tipikal artis lokal yang all round. Dituntut bisa membawakan lagu jenis apa saja. Pop, dangdut, koplo, nostalgia alias tembang kenangan, Mandarin, Barat, campursari, keroncong. Sebisa mungkin dia berusaha memenuhi permintaan hadirin.

Di Sidoarjo dan Gresik lebih dominan lagu-lagu dangdut koplo. Kalangan pejabat di atas 40 tahun senang tembang kenangan. Ada juga lagu Broery duet dengan Dewi Yull. Lagu kesayangan mantan bupati yang barusan bebas dari penjara.

Gus Muhdlor, bupati sekarang, putra kiai kondang Gus Ali, rupanya tidak suka menyanyi. Karena itu, tidak ada request untuk duet bersama Nana. 

Penyanyi-penyanyi lokal senang diajak duet pejabat atau pengusaha karena sawerannya banyak. Nilainya lebih besar ketimbang tarif resmi.

Tak banyak waktu untuk ngobrol dengan Nana. Nona manis ini segera menikmati soto ayam setelah bekerja keras jual suara. Selepas dari Sidoarjo, ada job lagi di Surabaya. Malam tahun baru Imlek.

Semoga dapat banyak angpao!

Sabtu, 29 Januari 2022

Uji Nyali di Gereja Santo Mangkraksius Krian

Bangunan-bangunan tua yang mangkrak biasa dipakai untuk uji nyali. Sebab dipercaya ada setannya atau tempat jin buang anak. Siapa yang kuat nyali aman. Yang tidak kuat biasanya kesurupan atau kerasukan setan.

Salah satu gedung mangkrak di Kabupaten Sidoarjo ada di Krian. Di pinggir jalan raya arah ke Prambon, Mojosari, Pacet, Trawas. Kawasan wisata terkenal karena dekat Surabaya. Karena itu, banyak orang tahu gedung mangkrak itu. Tapi tidak tahu gedung apa.

''Pokoknya tempat uji nyali,'' kata beberapa orang Krian dan Balongbendo. ''Kalau lewat di situ malam hari takut,'' kata seorang penyanyi dangdut asal Krian.

''Itu gedung apa? Kok bisa mangkrak?'' tanya saya pura-pura tidak tahu kayak wartawan yang menyamar.

Artis lokal itu hanya menggeleng. Tidak tahu meski tinggal di Kecamatan Krian juga. Wajarlah karena tidak punya kepentingan apa-apa selain uji nyali.

Beda dengan orang Katolik di Sidoarjo dan Surabaya. Sebagian besar tahu bahwa itu bangunan gereja. Sudah 80 persen rampung tapi dipermasalahkan. Dulu sering ada unjuk rasa menolak pembangunan gereja meski sudah melalui proses perizinan.

Bangunan mangkrak itu mulai dimulai pada tahun 1993. Rencananya untuk kapel atau gereja untuk umat Katolik di wilayah Kecamatan Krian, Kedamaian, Tarik, dan Mojosari. Saat itu umat Katolik sekitar 1.000 jiwa.  

''Meskipun semua prosedur perizinan sudah dilalui, tetapi proses pembangunan dihentikan oleh sekelompok orang sejak 7 Juni 1994,'' kata sumber di Keuskupan Surabaya.

Sudahlah, lupakan saja. Kita stop. Berdoa dan berusaha semoga ada jalan ke depannya. Begitu kira-kira ucapan Uskup Surabaya Monsinyur Hadiwikarta (+). 

Sejak itulah bangunan jadi mangkrak. Aktivis gereja biasa guyon dengan menyebut bangunan itu Gereja Santo Mangkraksius.

Akhir tahun 2021, di tengah pandemi virus corona, Stasi Krian akhirnya dinaikkan statusnya jadi paroki. Tempat ibadah di kapel lama milik sekolah Katolik yang sudah direnovasi. Tidak seluas bangunan Mangkraksius itu tapi lumayan untuk ekaristi dan sebagainya.

Bapa Uskup Surabaya Monsinyur Sutikno Wisaksono saat peresmian Paroki Krian sempat menyinggung bangunan Gereja Mangkraksius itu. Saya pikir mau dilanjutkan jadi gereja paroki, balai paroki, auditorium atau sejenisnya.

Ternyata tidak. Bapa Uskup bilang lahan itu akan dibangun gedung SMA Katolik Untung Suropati Krian. Sekolah itu sudah lama tapi masih menumpang di SMPK.

Sabtu siang, 29 Januari 2022. Saya melintas di kawasan Krian. Tak ada lagi bangunan Santo Mangraksius. Sudah dibongkar. Dipagari seng.

 Komunitas penggemar uji nyali tak bisa lagi bikin konten uji nyali di situ. Para setan dan jin sudah minggat.

Pater Freinademetz Bahagia di Surga Bersama Rakyat Tiongkok

Ada pater asal Austria yang jadi misionaris di Tiongkok. Pater SVD: Societas Verbi Divini. Serikat Sabda Allah, terjemahan lazim di Flores, NTT. Kebetulan Flores atau NTT umumnya sejak dulu jadi ladang panggilan subur untuk imam-imam SVD. Maka orang kampung macam saya dulu hanya tahu dua macam pastor: SVD dan Praja.

Pagi ini saya baca catatan pendek Pater Fritz Meko SVD di Surabaya. Imam asal Pulau Timor, NTT, ini jago nyanyi, main musik, ngarang lagu, bikin puisi, menulis buku, dsb. Punya channel di YouTube juga Hobinya memang banyak. 

Pater Fritz memperkenalkan Santo JOSEF FREINADEMETZ. Orang kudus dari ordo SVD. Pater Fritz punya konfrater pendahulu.

''Ia adalah seorang misionaris di China. Selama bekerja dan melayani 34 tahun, ia tidak pernah kembali cuti di negerinya TIROL - AUSTRIA.
Begitu mencintai umat China, sampai ia mengatakan, "Walau di Surga, saya ingin tetap menjadi orang China." 

Ia sungguh seorang misionaris sejati. Ia sangat mencintai orang China.

Ia pun pernah mengatakan, "Di mana saja engkau diutus sebagai misionaris, hendaknya engkau menjunjung tinggi dan menghargai budaya setempat."

Menurut Pater Fritz van Timor, Santo JOSEF FREINADEMETZ telah meletakkan prinsip INKULTURASI yang kemudian mengispirasi Gereja Katolik untuk menghargai budaya semua bangsa, yang sebelumnya dicurigai dan dianggap "kafir."

Refleksi yang menarik. Tentang karya imam-imam misionaris di tanah misi. Mewartakan kabar baik tentang cinta kasih Tuhan kepada segala bangsa. Allah adalah cinta. Deus caritas est!

Kata atau istilah KAFIR ini menarik tapi juga kontroversial. Pater-pater tempo doeloe, para misionaris dari Eropa, biasa menggunakan kata itu untuk menyebut penduduk yang belum menganut agama resmi.

Nenek moyang yang mengamalkan kepercayaan lokal macam Lera Wulan Tanah Ekan di Flores Timur dan Lembata dianggap kafir. Banyak sekali kakek nenek yang ''kafir'' saat aku kecil di pelosok Lembata. Dan mereka tidak marah atau tersinggung.

Orang-orang tua yang ''kafir'' itu biasanya jadi orang beriman jelang meninggal. Dipermandikan secara darurat. Ada juga yang sempat dapat minyak suci. Bala tentara surga ikut gembira!

Mengapa pater-pater zaman dulu sangat getol menyelamatkan orang-orang (yang dianggap) kafir? Bahkan begitu banyak yang jadi martir? Karena extra ecclesia nulla salus. Dogma yang sangat kuat sebelum Vatikan II.

Sekarang ini istilah kafir jadi peyoratif. Bisa menyinggung perasaan pihak lain. Bisa ramai di media sosial. Bisa dijerat Undang-Undang ITE yang agak karet itu.

Istilah kafir rupanya jadi bumerang. Senjata yang makan tuannya. Sekarang ini, di Indonesia, umatnya Pater Freinademetz, Pater Arnoldus Jansen, Pater Fritz Meko.. dan pater-pater lain malah dianggap kafir. Dan orang kafir tempatnya di neraka.

Mea culpa! Mea maxima culpa!

Kangen Kue Keranjang Tjap Hokkian di Sidoarjo

Kue keranjang atawa nian gao sudah dijajakan di sejumlah tempat. Khususnya di kawasan pecinan. Di beberapa minimarket pun ada dodol khas tahun baru Imlek itu. 

Lihat kue keranjang mesti ingat Tante Tok. Ibu Tok Swie Giok pembuat kue keranjang yang paling setia di kawasan Raden Fatah, Sidoarjo.

 Ia membuat sendiri kue-kue keranjang selama satu bulan. Kita bisa ikuti proses bikin nian gao dari awal sampai jadi dodol.

 Awalnya harus sembahyangan dulu. ''Kalau tidak sembahyang biasanya tidak jadi,'' kata Tante Tok. ''Kita orang pake resep asli Hokkian.'' 

Gara-gara pandemi covid berkepanjangan, saya sudah lama tidak pigi ke rumah Tok Swie Giok. Melewatkan momentum produksi kue keranjang. Sebab, kita orang saban hari diingatkan pemerintah untuk prokes 5M.

 Orang tua atawa lansia macam Tante Tok itu lebih rawan kena covid. Teorinya sih gitu. 

Apakah prokes 5M itu masih berlaku jelang Tahun Macan? Masih, kata Khofifah gubernur Jawa Timur. Sebab kasus covid naik lagi. Apalagi ada varian Omicron yang katanya lebih cepat menular.

 Gara-gara omongan Gubernur Khofifah, Wali Kota Eri Cahyadi, dan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor itulah saya sungkan mampir ke tempat produksi kue keranjang Tante Tok. Tapi beberapa kali lewat di depan rumahnya. Bahkan ngopi-ngopi tak jauh dari situ. 

Jumat 28 Januari 2022. Satria Nugraha, teman lama fotografer kawakan di Sidoarjo, mengirim foto Tante Tok lewat WA. Juragan kue keranjang Tjap Hokkian (aslinya sih tanpa merek) itu tampak gembira.

 Tante Tok masih setia melakoni ritual bikin kue keranjang untuk Sincia. Bikin kue keranjang itu macam ibadah. Tidak hanya sekadar melestarikan tradisi Imlekan. Tidak sama dengan membeli kue keranjang di toko-toko.

 Karena ibadah itulah, Tante Tok tidak kenal lelah atau bosan. ''Sampean dicari sama beliau (Tante Tok). Katanya sudah lama enggak ke rumahnya. Katanya Sampean sudah lupa,'' tulis Satria.

 Oh, Tuhan, Tante Tok tampak masih sugeng, semangat, dan ingat saya. 

Lama tidak ada komunikasi karena beliau ini tidak pakai telepon seluler. Tidak pakai WA. Sebelum ada WA pun beliau tidak pakai HP biasa. Komunikasi lewat telepon rumah (nomornya hilang). Apalagi di musim pandemi corona yang sekarang bermutasi jadi Omicron. Serba susahlah kita orang.

 Kangen kue keranjang Tante Tok. Kangen pula teh asli Tiongkok yang rasanya macam jamu. Tapi yah... ada prokes yang memang sangat penting.

 Covid memang telah mengubah begitu banyak kebiasaan kita. Jangankan lihat Tante Tok bikin kue keranjang, pigi sembahyang misa di gereja pun belum bisa. Kita orang hanya bisa misa online lewat laptop atau HP.

Selamat Tahun Baru Imlek! Selamat makan kue keranjang!