Rabu, 17 September 2025

Sembahyang Tutup Peti Oei Hiem Hwie Dipimpin Pater Thomas Bani SVD


 Tokoh literasi, wartawan era Orde Lama, Soekarnois tulen, Oei Hiem Hwie tutup usia. Ayas sangat kehilangan. Penggemar buku-buku, majalah, koran, tempo doeloe di Surabaya juga kehilangan besar.

Ayas sering mampir menemui Om Oei di Perpustakaan Medayu Agung, kawasan Rungkut Surabaya. Setiap kali gowes pagi ke hutan bakau wisata mangrove Gunung Anyar biasanya mampir. 

Ada saja bahan yang dibahas Oei Hiem Hwie. Cerita-cerita tentang pengalamannya di Pulau Buru paling menarik. Mantan wartawan koran Trompet Masjarakat itu (kantornya dekat Tugu Pahlawan) dibuang selama 8 tahun di Buru. 

Oei yang lahir di Malang ditangkap di Malang, dibawa ke Nusa Kambangan tiga bulan lalu dibuang ke Pulau Buru. Ia dianggap orang kiri, Soekarnois, pengurus Baperki.

 "Saya ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru tanpa pengadilan," katanya.

Oei dan ribuan tahanan politik, narapidana politik, sudah hilang asa. Merasa sudah selesai di Buru. Mati di pulau yang pada awal 1970-an masih liar itu. Tapi proyek orba itu dikecam dunia barat. 

Tahun 1978 Oei dibebaskan. Setahun kemudian Pramoedya Ananta Tour dibebaskan. Oei yang menyediakan kertas, alat tulis agar Pram tetap bisa menulis novel atau apa saja di Pulau Buru. Manuskrip-manuskrip asli Pram pun disimpan dan disembunyikan Oei.

Ayas, seperti biasa, tidak pernah menanyakan apa agama seseorang. Ayas menduga Om Oei jemaat kelenteng. Bisa Tridharma atau Buddha. Bisa juga Khonghucu. 

Nasrani kayaknya bukan karena diksi-diksi yang diucapkan Oei jauh dari kata-kata yang biasa kita dengar dari orang Katolik, Protestan, Pentakosta, Karismatik, Advent dsb. Om Oei tak pernah bicara soal gereja atawa kekristenan sama sekali.

Ayas beberapa kali mampir di Medayu Agung pada Jumat pagi. Ngobrol biasa, tanya jawab, lalu Om Oei siap-siap berangkat ke Masjid Cheng Hoo Surabaya. Bersama salah seorang karyawannya.

Oh, berarti Om Oei ini mualaf. Seperti Haji Masagung tokoh muslim Tionghoa yang juga idola Oei Hiem Hwie, pikir Ayas.

Karena itu, Ayas agak terkejut saat mengikuti acara tutup peti mendiang Om Hwie di Adi Jasa Surabaya. Loh, ada Romo Thomas Bani SVD, Pastor Paroki Roh Kudus, Rungkut. Pater asal Belu NTT ini pastor paroki saya yang meliputi Kecamatan Rungkut dan Gunung Anyar.

"Salam damai, Pater!" 

Ayas menyalami pater yang ramah ini. Pater tampak semangat.

Di Adi Jasa saat itu ada banyak akademisi Unair yang memang dekat dengan Om Oei. Ada Dr Dede Oetoemo, Dr Shinta Rahayu dosen dan sinolog terkenal, hingga tokoh-tokoh Tionghoa. Ada pula beberapa umat Katolik dari Paroki Roh Kudus.

Oh, ternyata Om Oei ini Katolik. Dua hari kemudian dikremasi di Kembang Kuning. Ibadat cara Katolik juga.

Orang Tionghoa memang paling luwes. Sangat fleksibel. Tidak fanatik. Sering sulit ditebak apa agamanya. Lahir sebagai umat kelenteng, belajar di sekolah Katolik kadang jadi katekumen, dewasa bisa jadi mualaf, kemudian berpulang dan dimakamkan secara Katolik. 

Toh, Tuhan Allah hanya satu, bukan?

Selamat jalan, Om Oei!

9 komentar:

  1. Di sejarah dunia ini selalu ada orang2 yang menjadi pengembara rohani.

    Di masa Kristen dini, para pengikut Yesus yang pertama ialah orang2 Yahudi yang tidak puas dengan ajaran orthodoks Agama Yahudi.

    Kemudian, Paulus menginjili orang2 yang merindukan Tuhan, tetapi tidak boleh menjadi Yahudi (karena waktu itu hanya bisa melalui pernikahan atau keturunan) ... para pencari ini suka datang ke sinagoga walaupun tidak resmi Yahudi. Akhirnya mereka2 inilah yang menjadi jemaat2 pertama yang dimualafkan oleh Paulus. Semua ini diceritakan di Kisah Para Rasul.

    Begitu pula Tiga Raja yang mencari bayi Yesus di Hari Natal. Mereka orang Majusi pengikut ajaran Zarathustra.

    Selalu mencari.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu banyak dilakukan warga tenglang. Selalu mencari, mencoba, penasaran... Banyak orang Indonesia dibuat bingung karena agamanya si pencari ini tidaj hitam putih tapi luwes ke mana2.

      Hapus
  2. Luar biasa kontribusi Oei Hiem Hwei terhadap sastra Indonesia. Tanpa keberaniannya, karya magnum opus Pramudya AT tak akan tercetak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Luar biasa memang jasa dan pwngorbanan Bapak Oei Hiem Hwie khususnya saat dihukum buang ke Pulau Buru. Oei bukti bahwa baba2 Tionghoa tidak habya sibuk dagang tapi juga ada yang idealis banget di lapangan yang penuh risiko.

      Vivere pericolosso!

      Hapus
    2. Itu jaman dulu, Lambertus, ketika politik masih membuka pintu bagi baba2 Tionghoa. Sejak jaman Orde Baru, ga ada orang Tionghoa aktif di politik atau aktivisme. Kami semua menjadi kaum yg tertaklukkan, aktif golek duit saja.

      Hapus
    3. Salah satu ciri2 kaum yang tertaklukkan ialah: jika nama yang kamu gunakan berbeda dengan nama nenek moyangmu. Lambertus masih menggunakan nama Hurek, berarti bangsamu masih mandiri. Kaum Tionghoa di Indonesia mengadopsi nama Jawa (Wanandi), Arab (Salim), Batak (Sitorus), Portugis (Da Costa), dll. Berarti mereka sudah takluk.

      Hapus
  3. Nama marga Oei (baca: wi) banyak diganti menjadi Wijaya atau Widjaja, krn ingin mempertahankan bunyi "wi". Ada juga yang Winata atau Winoto. Belum pernah ketemu: "Wikgedene".

    Liem Bian Koen mengganti namanya menjadi Paulus Wanandi. Wana = hutan dalam Bahasa Jawa, terjemahan dari Lim (Bhs Hokkian = hutan). Liem Sioe Liong bersaudara 3, mengganti nama marga mereka menjadi Salim (3 Lim) yang merupakan kata serapan dari Bhs Arab (S-L-M, berarti damai, aman, sentosa).

    Teman SMAku diangkat anak oleh keturunan raja di Larantuka. Walaupun Tionghoa, nama marganya Da Costa.

    Martua Sitorus, salah satu orang terkaya yang pengusaha kelapa sawit. Aslinya Thio Seng Hap dlm Bhs Hokkian. Bgmn Thio bisa jadi Sitorus?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Almarhum Oei Hiem Hwie tidak ganti nama. Mungkin jiwa idealis pengurus Baperki terus bertahan meski dibuang di Pulau Buru dan KTP-nya ditulisi eks tapol.
      Raja Larantuka angkat anak tentu masuk akal kalau pakai marga berbau Portugis. Beda dengan kami yg Lamaholot rakyat biasa. Larantuka yg berbahasa Nagi (Melayu Larantuka) adalah Lamaholot yang dikreolisasi dinaikkan levelnya oleh Portugis. Begitu

      Hapus
  4. Bisa dibilang "takluk" tapi bisa juga fleksibel mampu beradaptasi dengan situasi terburuk sekalipun agar tetap eksis dan jaya. Itulah tenglang. Dipaksa ganti nama pun mereka gunakan nama2 yang ada clue ke marga leluhur.

    Sekolah THHK ditutup maka muncul THHK baru versi Malang : Taman Harapan Hari Kemudian.

    Opo ora hebat?

    BalasHapus