Sabtu pagi ini, 27 September 2025, ramai banget di Kotalama Malang. Rupanya ada perayaan 200 tahun Kelenteng Eng An Kiong.
Luar biasa! Sudah dua abad usia kelenteng di kawasan Pecinan Malang itu.
Ada acara kirab arca atawa tepekong dari 52 kelenteng di Jawa. Panitia membatasi karena kapasitas yang terbatas. Dari Surabaya ada Kelenteng Mbah Ratu ikut serta. Ada juga kelenteng dari Semarang, Lasem, hingga Jawa Barat kirim arca untuk pawai keliling kota.
Kevin panitia bilang ada perwakilan 7 negara partisipasi dalam perayaan dua abad Eng An Kiong sekaligus 14th World Tua Pek Kong Festival. Rombongan dari luar negeri sekitar 1.500 orang. Undangan dari dalam negeri 2.500 orang.
Setiap kelenteng bawa arca tuan rumahnya masing-masing lalu dibawa kirab bersama, kata Kevin.
Perayaan dua abad Kelenteng Eng An Kiong di Malang ini penting dan bersejarah. Paling tidak jadi rujukan bahwa sudah 200 tahun lebih warga Tionghoa eksis di Kota Malang. Mereka dagang, buka toko, dan ikut membangun peradaban modern di Kota Malang dan tanah air umumnya.
Ayas masih ingat dulu ada bioskop di depan kelenteng. Bioskop Mulia kalau tak salah. Zaman Belanda namanya Emma Theatre. Persis di samping Emma Hotel. Hotel tua itu baru saja dibongkar sekitar dua bulan lalu.
Tidak jauh dari situ ada Bioskop Garuda. Juga tinggal nama. Kemudian di sebelahnya ada Sekolah Tionghoa yang kini jadi SMAN 2 Malang.
Tak jauh dari SMAN 2 ada Rumah Sakit Tionghoa Malang. Sekarang jadi RS Panti Nirmala milik yayasan Katolik. Begitu banyak aset Tionghoa di kawasan Petjinanstraat atawa Jalan Martadinata nama sekarang.
Ayas dulu sangat sering jalan kaki di depan kelenteng ke rumah paman yang hanya sepelemparan batu dari kelenteng legendaris itu. Tapi tidak pernah masuk. Apalagi wawancara atau sekadar bertanya tentang tradisi budaya Tionghoa dan sebagainya.
Bahkan, dulu zaman Orde Baru, segala hal yang berbau Tionghoa atawa Cina harus dijauhi. Termasuk bahasa Tionghoa, aksara Mandarin, barongsay, liang liong, busana Tionghoa dan sebagainya.
Karena itu, dulu kelenteng terlihat misterius. Ada kegiatan tapi diam-diam saja. Ayas baru masuk setelah ikut rombongan Kelenteng Hong San Ko Tee Surabaya mengikuti pawai kirab tepekong sekian tahun sebelum covid. Ibu Juliani pimpinan Kelenteng Hong San Ko Tee yang ajak ke Malang.
Sejak itu Ayas makin terbiasa mampir di Eng An Kiong. Dewa-dewi Tionghoa bukan lagi sosok misterius dan menakutkan. Bahasa dan aksara Tionghoa pun bukan lagi "bahasa setan" seperti yang sering disampaikan pejabat-pejabat pada masa Orde Baru.
Dirgahayu Kelenteng Eng An Kiong!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar