Senin, 22 September 2025

Nus Tuwanakotta Penyiar Legendaris TVRI Surabaya, Teknik Vokal Diafragma

 


Dulu hanya satu stasiun televisi di Indonesia. TVRI: Televisi Republik Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia nonton TVRI. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Sangihe sampai Rote di NTT.

Karena itu, wajah dan suara penyiar TVRI sangat dikenal orang-orang lawas. Sambas, Toety Aditama, Idrus, Yasir Denhas, Hasan Azhari Oramahi, Yan Partawidjaja, Luther Kalasuat, Pungky Runkat.... 

Di TVRI Surabaya ada Nus Tuwanakotta. Penyiar kawakan ini lebih dikenal dalam liputan olahraga. Pertandingan Persebaya Surabaya di Tambaksari hampir pasti disiarkan langsung oleh Bung Nus, 76.

Cuplikan pertandingan Persebaya biasa muncul di Dari Gelanggang ke Gelanggang. Kadang di Arena dan Juara. "Saya juga meliput langsung Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Semua pertandingan kami liput," ujar wartawan senior di Surabaya itu. 

Nus Tuwanakotta tandem dengan Max Sopacua saat liputan di Amerika Serikat. Reporter TVRI seksi olahraga lain yang kondang [hampir semua kondang] antara lain Abraham Isnan, Sambas sudah pasti, Huzair Tarmidzi, Azwar Hamid.

Yang menarik, gaya dan teknik vokal penyiar-penyiar TVRI djaman doeloe sangat khas. Suara berat, dalam, berwibawa. "Itu teknik vokal diafragma. Semua penyiar harus menjalani latihan cukup lama sampai benar-benar menguasai," kata Bung Nus.

Dulu, sebelum dilepas jadi penyiar berita, seorang calon penyiar harus melalui tahap latihan ketat. Ada ujian baca artikel dengan suara mantap, bulat, dan berwibawa. Kalau lolos, baru bisa dipercaya muncul di layar. 

Selain itu, ada juga pendidikan khusus di Balai Diklat TVRI Jakarta selama berbulan-bulan. Tujuannya jelas: membentuk suara diafragma yang kokoh.

“Live reporting pun harus pakai suara diafragma,” kata Nus Tuwanakotta. 

Bahkan ketika ia melaporkan langsung pertandingan sepak bola 2x45 menit, termasuk Piala Dunia, Olimpiade, hingga Asian Games, semua tetap menggunakan teknik suara dari diafragma.

 Itulah sebabnya, penyiar TVRI dan RRI zaman dulu suaranya rata-rata berat, berwibawa, dan terdengar seragam.

Sekarang, situasinya agak berbeda. Presenter atau host televisi lebih banyak tampil dengan suara natural. Tidak semua dituntut untuk punya suara besar dan berotoritas.

Malah, tren penyiaran modern justru lebih menekankan spontanitas, gaya santai, dan kedekatan dengan penonton. Seakan-akan yang penting bukan lagi suara berat, melainkan kesan akrab dan mudah dicerna.

Perubahan ini tentu ada plus minusnya. Di satu sisi, suara berat dan berwibawa memberi rasa formalitas dan kepercayaan. Di sisi lain, suara natural cenderung lebih disukai audiens sekarang yang lebih suka gaya informal.

Bung Nus sebagai penyiar era diafragma menegaskan bahwa teknik vokal diafragma yang terbaik bagi penyiar radio dan televisi. Putranya, Iwan Tuwanakotta, sekarang penyiar TVRI Jawa Timur (nama baru TVRI Surabaya) mewarisi bakat ayahnya.

Bung Nus kerap diundang menjadi instruktur penyiar-penyiar di sejumlah televisi swasta nasional dan televisi lokal. Dia perlu waktu lama, sangat telaten, membentuk vokal dengan pernapasan diafragma. Mirip latihan vokal untuk penyanyi profesional.

Salah satu muridnya adalah Rendra Sudjono presenter Indosiar dan SCTV spesialis siaran pandangan mata atawa live reporting sepak bola. Rendra menggunakan diafgrama. Bukan suara natural ala orang ngobrol di kafe atau pasar.

Melaporkan pertandingan sepak bola 2x45 menit plus tambahan waktu jelas membutuhkan stamina dan suara yang prima. Tidak mudah serak. Itu hanya bisa jika menggunakan teknik diafragma. 

3 komentar:

  1. Pak Nus ini dari nama famnya seorang keturunan Maluku, ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keturunan Makassar kalau tidak salah. Tapi selama ini dikira Maluku atawa Ambon.

      Hapus
    2. Menurut Paman Google, Tuanakotta itu nama marga dari Pulau Saparua, di Maluku.

      Hapus