Rabu, 17 September 2025

Sembahyang Tutup Peti Oei Hiem Hwie Dipimpin Pater Thomas Bani SVD


 Tokoh literasi, wartawan era Orde Lama, Soekarnois tulen, Oei Hiem Hwie tutup usia. Ayas sangat kehilangan. Penggemar buku-buku, majalah, koran, tempo doeloe di Surabaya juga kehilangan besar.

Ayas sering mampir menemui Om Oei di Perpustakaan Medayu Agung, kawasan Rungkut Surabaya. Setiap kali gowes pagi ke hutan bakau wisata mangrove Gunung Anyar biasanya mampir. 

Ada saja bahan yang dibahas Oei Hiem Hwie. Cerita-cerita tentang pengalamannya di Pulau Buru paling menarik. Mantan wartawan koran Trompet Masjarakat itu (kantornya dekat Tugu Pahlawan) dibuang selama 8 tahun di Buru. 

Oei yang lahir di Malang ditangkap di Malang, dibawa ke Nusa Kambangan tiga bulan lalu dibuang ke Pulau Buru. Ia dianggap orang kiri, Soekarnois, pengurus Baperki.

 "Saya ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru tanpa pengadilan," katanya.

Oei dan ribuan tahanan politik, narapidana politik, sudah hilang asa. Merasa sudah selesai di Buru. Mati di pulau yang pada awal 1970-an masih liar itu. Tapi proyek orba itu dikecam dunia barat. 

Tahun 1978 Oei dibebaskan. Setahun kemudian Pramoedya Ananta Tour dibebaskan. Oei yang menyediakan kertas, alat tulis agar Pram tetap bisa menulis novel atau apa saja di Pulau Buru. Manuskrip-manuskrip asli Pram pun disimpan dan disembunyikan Oei.

Ayas, seperti biasa, tidak pernah menanyakan apa agama seseorang. Ayas menduga Om Oei jemaat kelenteng. Bisa Tridharma atau Buddha. Bisa juga Khonghucu. 

Nasrani kayaknya bukan karena diksi-diksi yang diucapkan Oei jauh dari kata-kata yang biasa kita dengar dari orang Katolik, Protestan, Pentakosta, Karismatik, Advent dsb. Om Oei tak pernah bicara soal gereja atawa kekristenan sama sekali.

Ayas beberapa kali mampir di Medayu Agung pada Jumat pagi. Ngobrol biasa, tanya jawab, lalu Om Oei siap-siap berangkat ke Masjid Cheng Hoo Surabaya. Bersama salah seorang karyawannya.

Oh, berarti Om Oei ini mualaf. Seperti Haji Masagung tokoh muslim Tionghoa yang juga idola Oei Hiem Hwie, pikir Ayas.

Karena itu, Ayas agak terkejut saat mengikuti acara tutup peti mendiang Om Hwie di Adi Jasa Surabaya. Loh, ada Romo Thomas Bani SVD, Pastor Paroki Roh Kudus, Rungkut. Pater asal Belu NTT ini pastor paroki saya yang meliputi Kecamatan Rungkut dan Gunung Anyar.

"Salam damai, Pater!" 

Ayas menyalami pater yang ramah ini. Pater tampak semangat.

Di Adi Jasa saat itu ada banyak akademisi Unair yang memang dekat dengan Om Oei. Ada Dr Dede Oetoemo, Dr Shinta Rahayu dosen dan sinolog terkenal, hingga tokoh-tokoh Tionghoa. Ada pula beberapa umat Katolik dari Paroki Roh Kudus.

Oh, ternyata Om Oei ini Katolik. Dua hari kemudian dikremasi di Kembang Kuning. Ibadat cara Katolik juga.

Orang Tionghoa memang paling luwes. Sangat fleksibel. Tidak fanatik. Sering sulit ditebak apa agamanya. Lahir sebagai umat kelenteng, belajar di sekolah Katolik kadang jadi katekumen, dewasa bisa jadi mualaf, kemudian berpulang dan dimakamkan secara Katolik. 

Toh, Tuhan Allah hanya satu, bukan?

Selamat jalan, Om Oei!

Minggu, 14 September 2025

Sembahyang 40 Hari Tante Nanik di Kotalama Malang, Nostalgia Kampung Halaman

 


Tidak terasa sudah 40 hari Tante Anastasia Nanik tiada. Berpulang dalam damai ke rumah Bapa. Dimakamkan di Makam Nasrani Sukun, Malang.

Sabtu malam, 13 September 2025, sembahyang bersama 40 harinya. Ayas hadir. Mestinya hari Jumat tapi diundur sehari karena ada kesibukan di lingkungan, kata Susan, menantunya Om Cornelis Hurek Making, suaminya mendiang Tante Nanik.

Cukup banyak umat Katolik dari kawasan Kotalama, Paroki Kayutangan, Malang, hadir. Ada Pak Prasetyo asisten imam (AI) yang terkenal di Malang Kayutangan lantaran suaranya yang mantap keras tanpa perlu mikrofon.

Ayas duduk di dalam bersama sebagian jemaat. Sebagian lagi di teras dan halaman rumah tua gaya kebun di kampung. 

Doa bersama secara liturgi, nyanyi beberapa lagu, lalu doa rosario lima peristiwa. Kebiasaan lama yang tidak pernah ayas lakukan selama bertahun-tahun karena kerja malam hari. Tidak mungkin ikut doa lingkungan, wilayah, kategorial, legio dsb.

Sembahyang selesai. Kurang lebih satu jam. Lalu makan bersama soto ayam. Jemaat pulang bawa nasi berkat, jajan di kotak. Layaknya selamatan di kampung.

Ayas tentu saja tidak langsung pulang. Tapi ngobrol panjang lebar dengan Om Cornelis Hurek Making. Meski telinga kanannya agak terganggu gara-gara jatuh dari motor, dibegal di kawasan Kiai Tamin, dua tahun lalu, obrolan cukup asyik.

Om bicara panjang lebar dalam bahasa Lamaholot, bahasa daerah di Kecamatan Ile Ape, Lomblen Island alias Pulau Lembata. Nostalgia masa kecil sekolah rakyat (SR) di Lewotolok lalu pergi merantau ke Malaysia. Di usia 12 atau 13 tahun.

"Kame gere tena mesin take leron 48," katanya. Kami naik perahu tanpa mesin selama 48 hari. 

Di tengah jalan perahu yang membawa para perantau asal Lembata, Adonara dan sekitarnya diserang bajak laut. Barang-barang berharga yang dibawa sebagai bekal dari kampung dijarah. Ngeri!

Belum sampai Sabah, yang saat itu masih dijajah British. Belum gabung Malaysia. Sabah dan Serawak gabung Persekutuan Tanah Melayu tahun 1969 menjadi negara Malaysia yang kita kenal sekarang.

"Mo inam Yuli ne kame tobo kelas tou," katanya. Artinya, ibu saya, Yuliana Manuk, ternyata teman satu kelas Om Cornelis di SR Lewotolok. 

Murid-murid anak kampung dulu masih sangat sederhana. Belum ada celana. Pakai kewodu, sarung yang ditenun sendiri mama-mama di kampung. Wanita juga pakai sarung.

Kepala sekolah, Bapa Hendrikus Lawe Betan asal Waibalun Larantuka, kerasnya minta ampun. Murid nakal, malas, apalagi bandel atawa kurang ajar dipukul dengan penggaris. Kadang ditempeleng dengan tangan kosong.

Meski begitu, Om Cornelis berterima kasih kepada Bapa Betan yang sangat berjasa merintis sekolah rakyat pertama di kampung. Bukan cuma mengajar pelajaran membaca, berhitung, menulis, mencongak tapi juga mengajar agama kiwanen (Katolik).

"Nolo kame sembahyang Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya.. moi hala," kata Om sambil ketawa.

Maksudnya, dulu anak-anak kampung tidak hafal doa-doa dasar seperti Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya.... Guru Betan yang berjasa memberikan dasar-dasar pendidikan Katolik di kampung yang masih sederhana.

Ayas suka dengar cerita-cerita ringan macam ini. Ada narasi sejarah, adat istiadat hingga lapisan-lapisan generasi yang jarang diketahui generasi muda. Apalagi anak desa yang lekas merantau pada usia sangat muda.

Semoga Tante Nanik tenang di sana! 

Semoga Om Cornelis tetap kuat ditemani anak-anak dan 13 cucu - kalo gak salah ingat.

Senin, 01 September 2025

Uklam Tahes #120 Ikamisa Malang Ketemu Guru Bahasa Inggris Terbaik

 


Uklam Tahes atawa Mlaku Sehat atawa Jalan Sehat nawak-nawak alumni Mitreka Satata alias SMAN 1 Malang sudah memasuki edisi ke-120. Luar biasa! 

Boleh jadi IkamisaIkatan Alumni Mitreka Satata masuk rekor nasional Muri sebagai ikatan alumni yang paling sering bikin acara kumpul-kumpul dan jalan sehat. Tapi nawak-nawak malas cari rekor. Uklam tahes hanya sekadar silaturahmi santai aja.

 Bulan Agustus ini ada dua edisi uklam tahes sekaligus. Di Jabodetabek dan kompleks sekolahan Mitreka Satata persis di samping Alun-Alun Bunder depan Balai Kota Malang.

Ayas ikut yang di sekolahan. Tidak enak sama Rudi admin Grup Grafiti dan Iponk juragan kopi di Prapatan Klojen yang kebetulan satu alumni juga di kampus Unej. Kalau ke Malang ayas hampir pasti nongkrong ngopi di Koopen kafe unik yang juga sering disambangi turis-turis bule backpacker.

Sam Ipong sering jadi pemandu wisata sembari jualan aneka biji kopi yang didatangkan dari berbagai daerah di Indonesia. Termasuk dari Flores. Kemampuan bahasa Inggrisnya memang bagus seperti nawak-nawak Mitreka Satata yang dulu digembleng keras oleh Mr Bee, guru bahasa Inggris terbaik di Malang Raya.

Uklam Tahes 120 ini seperti biasa ramai sekali. Tapi nawak-nawak grup satu kelas tidak banyak yang hadir. Ipong pasti datang sekalian buka booth kopi Koopen, Rudi sudah pasti, Wiwik PDAM, Haryono, Sugianto. Ada lagi beberapa kawan yang saya ingat wajahnya tapi lupa namanya.

Ayas senang banget bisa bertemu Bapak Ki Bambang Tribagjo Prawirayuwono yang kondang dengan sapaan Mr B. Guru bahasa Inggris ini memang dahsyat. Sejak lulus dari SMAN 1 aku tak pernah jumpa beliau.

Ayas pun salaman lalu perkenalkan diri blablabla. "Masih ingat saya, Pak?"

"Oh yesss... I still remember you! I remember you!" kata Mr B mantap.

Alhamdulillah! Puji Tuhan! 

Mr B bukan sekadar guru bahasa Inggris tapi juga penyanyi dengan suara bariton yang enak. Ada vibrasi khas penyanyi-penyanyi djaman doeloe. Ia sering membawakan lagu What a Wonderful World... yeaaah yeaaah yeaahhh...

"Hahaha... Louis Armstrong," tukas Mr B setelah saya melantunkan sedikit awal lagu legendaris itu.

Acara jalan sehat tidak terlalu jauh. Start dari lapangan basket SMAN 1 belok kiri masuk Kertanegara lalu belok kiri Sultan Agung depan SMAN 3 belok kiri Pajajaran lalu belok kiri Suropati dan masuk finis di sekolah.

Istirahat, minum, makan-makan ada tumpeng istimewa dari Wiwik yang kebetulan juara lomba bikin tumpeng Agustusan. Dari dulu Wiwik memang pintar masak dan keibuan.

Salam tahes! Komes!

Minggu, 10 Agustus 2025

Ujian Fisik Gowes dari Surabaya ke Jolotundo Trawas



Dua bulan sudah aku sudah bisa bike to work, B2W. Napas biasa, tidak capek lagi meski harus melahap rute lumayan panjang. Sekitar 25-30 km pergi pulang dari Kelurahan Rungkut Menanggal ke Kelurahan Bongkaran di kawasan kota lama.

Aku sendiri pun heran. Tak menyangka bisa gowes sejauh itu. B2W saban hari. Cuma dua tiga hari gagal B2W karena hujan deras mengguyur Kota Surabaya.

Mengapa tidak nyoba jarak jauh sekalian? Rute Surabaya - Jolotundo? Kalau tidak kuat, ya leren, pulang. Atau nuntun aja sepedanya. Begitu bisikan dari langit.

Yes, I do! 

Aku pun coba gowes dari Rungkut Menanggal ke Jolotundo, Kecamatan Trawas, Mojokerto. Lewat jalur Krian, Mojosari, yang lebih landai ketimbang jalur Ngoro yang penuh tanjakan. 

 Pulangnya baru menikmati turunan panjang Jolotundo, Ngoro, Watukosek, kampung Inul di Kejapanan, Porong, Lapindo hingga Sidoarjo sampai Surabaya.

Sepeda Polygon lawas disetel dengan rasio gir lebih ringan ketimbang setelan dalam kota yang sengaja dibuat agak berat. Rasio gir ini penting untuk melahap tanjakan pegunungan ala Jolotundo.

Lumayan capek tapi akhirnya bisa mendekati Jolotundo tempat wisata alam yang terkenal dengan petirtaan dan sumur kuna peninggalan Raja Airlangga. Tiga km jelang garis finish di Jolotundo tanjakan terlalu ekstrem.

Pesepeda senior yang pakai sepeda mahal canggih pun biasanya kewalahan. Apalagi sepeda tua keluaran 2005-an yang girnya sudah protolan. 

Apa boleh buat, aku sering nuntun. Kalau jalan agak datar atau tanjakan ringan giwes lagi. Akhirnya tiba di garis finish. Gasebo yang jadi markas komunitas pesepeda dari Surabaya, Sidoarjo, dan sekitarnya.

Mampir sejenak ngopi di PPLH: Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup. Beberapa kenalan tidak percaya kalau aku gowes dari Surabaya sampai ke Jolotundo. Sekitar 60 km versi Mbah Google.

Mbah Gatot Hartoyo budayawan dan sesepuh Sidoarjo pun kaget melihat aku menuntun sepeda pancal ke rumah panggungnya di Dusun Biting, masih satu desa dengan kawasan wisata Jolotundo. 

"Saya cuma iseng aja ngetes fisik gowes ke Jolotundo. Alhamdulillah, ternyata sampai di garis finish dengan selamat," basa-basi kepada Mbah Gatot.

Mbah Gatot kelihatan capek dan ngantuk meski belum pukul 21.00. Beda dengan sebelum covid ia biasa "diganggu" rombongan dari Sidoarjo melekan semalam suntuk. Bahas seni budaya, politik, birokrasi, zionisme, hingga kerusakan lingkungan hidup.

Aku pun permisi istirahat. Melepaskan lelah, tidur nyenyak sampai pagi di Jolotundo. Pulangnya ngebut banget meski tidak mancak pedal karena turunan panjang hingga ke Ngoro Industri.

Rabu, 06 Agustus 2025

Mengantar Tante Nanik dari Kotalama Menuju Makam Sukun Malang


Susan bagi kabar dukacita. Tante Nanik meninggal dunia pada 4 Agustus 2025 di rumah Kotalama, Malang. Dimakamkan besoknya di Makam Nasrani Sukun.

Jenazah disemayamkan di Panca Budi. Tak jauh dari rumah Om Cornelis Kalu Hurek di Kotalama. 

Resquescat in pace! 

Selamat jalan Tante Nanik!

Semoga bahagia bahagia di rumah Bapa!

Tante Nanik tak lain istri Om Cornelis Hurek. Istri kedua. Istri pertama Tante Marie sudah lama meninggal dunia. Karena itu, paman yang sejak muda tinggal di Malang bersama Tante Marie di Kotalama dekat kelenteng itu menikah lagi.

Mendiang Tante Marie melahirkan 4 anak: Herlina, Lisa, Roy, Oscar. Si sulung Herlina sudah meninggal. Susan yang bagi kabar duka itu tak lain istrinya Roy alias mantunya Om Cornelis.

Tante Nanik melahirkan 2 anak laki-laki: Chris dan Nelson. Waktu kecil keduanya agak nakal. Makin besar dan dewasa makin insaf. Apalagi Chris belum lama ini menikah dan punya anak.

Aku punya banyak kenangan dengan Kotalama. Di sinilah, rumah di dalam gang buntu, itu pertama kali aku kenal Kota Malang dengan segala suka dukanya.

Tante Nanik selalu menyediakan masakan khas NTT khususnya Flores dan Lembata. Sayur kelor hampir pasti. Rumpu-rampe sayur campuran daun pepaya, jantung pisang dsb. Ikan laut juga hampir pasti karena itu kesukaan Om Cornelis.

Meski sudah puluhan tahun tinggal di Malang, punya anak cucu, bahkan dianggap embahnya Amalatok (Kotalama dibaca dari belakang khas Ngalam alias Malang), selera Om Cornelis ternyata tidak banyak berubah. Sulit adaptasi dengan selera Jowo.

Karena itu, nasinya pun selalu beras campur jagung. Kalau nasi putih tok kurang cocok. "Kita ini orang kampung jadi selera masa kecil tidak bisa hilang," katanya.

Yang menarik, hidup doa, rutinitas berliturgi Tante Nanik ini luar biasa. Tak hanya rajin misa mingguan di Gereja Kayutangan tapi juga aktif di kegiatan-kegiatan lingkungan dan sebagainya. 

Padahal, Tante Nanik ini Katolik katekumen semacam mualaf karena menikah dengan seorang lelaki asal Pulau Lembata NTT yang beragama Katolik. Malah lebih rajin ketimbang yang ngajak dia jadi Katolik. Banyak kasus seperti ini di mana-mana.

Selama ini aku pikir kondisi paman dan bibi di Kotalama baik-baik saja. Saya pun tak mampir kalau ada acara bersama kawan-kawan alumni Mitreka Satata karena waktunya sangat mepet.

Betapa kaget saat aku mampir saat libur Lebaran pada awal April 2025 yang lalu. Tante Nanik tak ada di rumah. Om Cornelis pun baru kena begal saat naik sepeda motor melintas di dalam kota tengah malam. 

Susan kasih tahu bahwa Tante Nanik sakit berat. Kanker payudara stadium lanjut. Bolak-balik ke rumah sakit. "Doakan semoga membaik," kata Susan yang memang sangat aktif dalam berbagai kegiatan di Paroki Kayutangan Malang itu.

Susan tidak cerita secara detail. Intinya sudah parah tapi kadang membaik. Kudu sering rawat inap di rumah sakit.

Sekitar lima bulan kemudian... selesai.

Upacara pemakaman dipimpin Romo Yohanes Sirilus Bhaha, OCarm dari Paroki Kayutangan. Romo Yoris sapaan akrabnya berasal dari Ende lahir 1986. 

Jenazah Tante Nanik disembahyangkan di persemayaman Panca Budi Kotalama lalu dibawa ke Makam Kristen Sukun.

Senin, 04 Agustus 2025

Bella dan Anang pamitan, kangen polo pendhem gembili talas bentoel

Bella pamit duluan lalu disusul Anang. Selalu ada rasa sedih ketika kolega yang cukup lama berada di ruangan yang sama pamit. Kontrak habis atau sebab lain.

Bella tipe anak muda milenial yang antusias tapi kritis. Tidak segan-segan mengoreksi atasannya. Sesuatu yang kurang lazim bagi generasi lawas. 

"Bos tak pernah salah," begitu prinsip lama yang selalu diingat karyawan atawa pegawai swasta dan pemerintah.

Anang Yulianto boleh dikata wong lawas. Tamatan grafika di Malang. Sangat paham teknologi percetakan era film hingga digital. Kaki sebelahnya di teknologi cetak model lama. Kaki satunya model baru yang tidak pakai film.

Dulu Anang dkk gantian bawa film ke percetakan. Naik motor malam-malam. Biasanya jelang pukul 00.00. Cetak jarak jauh belum lazim di Indonesia.

Di era cetak jarak jauh, Anang cukup koordinasi dengan karyawan percetakan yang jauh di daerah Wringinanom Gresik. Koreksi sedikit kalau ada masalah teknis.

Anang tinggal jauh di Tanjangrono Mojosari. Sudah masuk Kabupaten Mojokerto. Saban hari naik motor pergi pulang ke kantor. Pernah rawat inap lama, operasi gara-gara kecelakaan di Geluran Taman.

Waktu itu saya kurang konsentrasi. Kecapekan, katanya sambil tersenyum.

Kecelakaan gara-gara kecapekan, jaga deadline sampai larut malam tak membuang kawan asal Malang Kabupaten ini kapok. Ia terus kerja kerja kerja... mencari makna hidup. Meski penghasilannya sebagai petani di Mojosari bisa jadi lebih tinggi.

Anang selalu bawa polo pendhem ke kantor. Singkong rebus, telo rambat, talas, bothek, uwi, gembilibentoel dan sebagainya. Hasil panen dari kebun sendiri. Kebun mertuanya yang asli Tanjangrono.

Gara-gara Anang pula aku dan kawan-kawan jadi akrab dengan aneka tanaman polo pendhem. Akrab dengan gembili. Aku dulu penasaran dengan Jalan Gembili dekat gereja parokiku zaman dulu, Paroki Yohanes Pemandi, dekat RSAL yang berada di Jalan Gembili.

Gembili itu apa? Tidak ada umat paroki yang paham. Ada yang mengira semacam nama pewayangan kayak Kunti, Sadewa, Arjuna dsb.

Aha.. ternyata gembili itu sejenis ubi yang ada rambutnya. Ada manis-manisnya.

Sejak Anang pamit wisuda, tak ada lagi gembili yang bisa dinikmati. Aku cari di beberapa warkop lawas Surabaya tapi jarang ada. Biasanya cuma ubi jalar dan singkong rebus atau bothe yang ada.

Sampean mampir saja ke rumah kalau pengen singkong atau talas. Silakan cabut sendiri, katanya.

Anang memang tahu kalau aku sering ngadem ke daerah Jolotundo Trawas lewat Mojosari dan Ngoro. Dulu aku pun sering blusukan ke kampung-kampung seputar PG Kremboong dan PG Watoe Toelis Sidoarjo. Anang tinggal dan berkebun tak jauh dari situ.

Rutam nuwus, Sam Ngana!

Minggu, 03 Agustus 2025

Gowes ke Bangkalan Nostalgia Kapal Penyeberangan Jokotole

 


Sejak ada Jembatan Suramadu aku tak pernah naik kapal feri dari Surabaya ke Madura. Naik feri ribet dan lama ketimbang jalur darat Suramadu yang sat-set-wet. Karena itu, bisnis kapal penyeberangan Ujung-Kamal sudah lama kolaps.

Kini tinggal satu kapal saja yang melayani Ujung-Kamal. KMP Jokotole milik Dharma Lautan Utama si raja kapal dari Surabaya. 

Aku coba gowes ke Madura via kapal penyeberangan itu. Mau tak mau. Sebab sepeda angin atawa sepeda ontel dilarang lewat Jembatan Suramadu. Boleh asal tidak ketahuan, kata rekan penggowes kawakan.

Aku pun nostalgia mengenang masa lalu saat beberapa kali ngetrip ke Pulau Madura sebelum ada Suramadu. Gowes dari Kamal ke Bangkalan sekitar 20 km. Tidak jauh bagi para penggowes kawakan tapi lumayan menantang bagi pemula.

Jalan raya di Madura lebih nyaman bagi kawan-kawan onthelis. Kendaraan tidak ramai. Ada tanjakan ringan disusul turunan dan seterusnya bergantian hingga Bangkalan Kota.

Satu-satunya tanjakan berat di sekitar Makam Tionghoa kawasan Socah. Harus pakai gir ringan. Bagaimana kalau pakai sepeda fixed gear atawa single speed?

Sebaiknya turun aja. Sepeda dituntut sebentar karena tidak terlalu panjang. Toh sebentar lagi turunan yang enak. Aku ikuti nasihat para senior itu. Nuntun lalu mampir di warung bebek dekat Bong Tionghoa.

Siansen Tan alias Jacob Basuki pengurus Kelenteng Eng An Bio Bangkalan terkejut melihat aku mampir di kelenteng pakai sepeda pancal. Dia menganggap saya hebat karena bisa gowes Surabaya-Bangkalan pp.

Gak hebat, Pak! Banyak kawan saya yang biasa gowes Surabaya-Pandaan atau Surabaya-Malang dua atau tiga kali sepekan. Kalau cuma 20 km sih kecil bagi mereka.

Siansen (Bapak) pengurus kelenteng itu memang suka mengapresiasi tamu. Biar senang dan tambah semangat. Dia juga biasa gowes dari rumahnya ke kelenteng sekalian olahraga. Harus banyak gerak, katanya.