Minggu, 10 Agustus 2025

Ujian Fisik Gowes dari Surabaya ke Jolotundo Trawas



Dua bulan sudah aku sudah bisa bike to work, B2W. Napas biasa, tidak capek lagi meski harus melahap rute lumayan panjang. Sekitar 25-30 km pergi pulang dari Kelurahan Rungkut Menanggal ke Kelurahan Bongkaran di kawasan kota lama.

Aku sendiri pun heran. Tak menyangka bisa gowes sejauh itu. B2W saban hari. Cuma dua tiga hari gagal B2W karena hujan deras mengguyur Kota Surabaya.

Mengapa tidak nyoba jarak jauh sekalian? Rute Surabaya - Jolotundo? Kalau tidak kuat, ya leren, pulang. Atau nuntun aja sepedanya. Begitu bisikan dari langit.

Yes, I do! 

Aku pun coba gowes dari Rungkut Menanggal ke Jolotundo, Kecamatan Trawas, Mojokerto. Lewat jalur Krian, Mojosari, yang lebih landai ketimbang jalur Ngoro yang penuh tanjakan. 

 Pulangnya baru menikmati turunan panjang Jolotundo, Ngoro, Watukosek, kampung Inul di Kejapanan, Porong, Lapindo hingga Sidoarjo sampai Surabaya.

Sepeda Polygon lawas disetel dengan rasio gir lebih ringan ketimbang setelan dalam kota yang sengaja dibuat agak berat. Rasio gir ini penting untuk melahap tanjakan pegunungan ala Jolotundo.

Lumayan capek tapi akhirnya bisa mendekati Jolotundo tempat wisata alam yang terkenal dengan petirtaan dan sumur kuna peninggalan Raja Airlangga. Tiga km jelang garis finish di Jolotundo tanjakan terlalu ekstrem.

Pesepeda senior yang pakai sepeda mahal canggih pun biasanya kewalahan. Apalagi sepeda tua keluaran 2005-an yang girnya sudah protolan. 

Apa boleh buat, aku sering nuntun. Kalau jalan agak datar atau tanjakan ringan giwes lagi. Akhirnya tiba di garis finish. Gasebo yang jadi markas komunitas pesepeda dari Surabaya, Sidoarjo, dan sekitarnya.

Mampir sejenak ngopi di PPLH: Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup. Beberapa kenalan tidak percaya kalau aku gowes dari Surabaya sampai ke Jolotundo. Sekitar 60 km versi Mbah Google.

Mbah Gatot Hartoyo budayawan dan sesepuh Sidoarjo pun kaget melihat aku menuntun sepeda pancal ke rumah panggungnya di Dusun Biting, masih satu desa dengan kawasan wisata Jolotundo. 

"Saya cuma iseng aja ngetes fisik gowes ke Jolotundo. Alhamdulillah, ternyata sampai di garis finish dengan selamat," basa-basi kepada Mbah Gatot.

Mbah Gatot kelihatan capek dan ngantuk meski belum pukul 21.00. Beda dengan sebelum covid ia biasa "diganggu" rombongan dari Sidoarjo melekan semalam suntuk. Bahas seni budaya, politik, birokrasi, zionisme, hingga kerusakan lingkungan hidup.

Aku pun permisi istirahat. Melepaskan lelah, tidur nyenyak sampai pagi di Jolotundo. Pulangnya ngebut banget meski tidak mancak pedal karena turunan panjang hingga ke Ngoro Industri.

Rabu, 06 Agustus 2025

Mengantar Tante Nanik dari Kotalama Menuju Makam Sukun Malang


Susan bagi kabar dukacita. Tante Nanik meninggal dunia pada 4 Agustus 2025 di rumah Kotalama, Malang. Dimakamkan besoknya di Makam Nasrani Sukun.

Jenazah disemayamkan di Panca Budi. Tak jauh dari rumah Om Cornelis Kalu Hurek di Kotalama. 

Resquescat in pace! 

Selamat jalan Tante Nanik!

Semoga bahagia bahagia di rumah Bapa!

Tante Nanik tak lain istri Om Cornelis Hurek. Istri kedua. Istri pertama Tante Marie sudah lama meninggal dunia. Karena itu, paman yang sejak muda tinggal di Malang bersama Tante Marie di Kotalama dekat kelenteng itu menikah lagi.

Mendiang Tante Marie melahirkan 4 anak: Herlina, Lisa, Roy, Oscar. Si sulung Herlina sudah meninggal. Susan yang bagi kabar duka itu tak lain istrinya Roy alias mantunya Om Cornelis.

Tante Nanik melahirkan 2 anak laki-laki: Chris dan Nelson. Waktu kecil keduanya agak nakal. Makin besar dan dewasa makin insaf. Apalagi Chris belum lama ini menikah dan punya anak.

Aku punya banyak kenangan dengan Kotalama. Di sinilah, rumah di dalam gang buntu, itu pertama kali aku kenal Kota Malang dengan segala suka dukanya.

Tante Nanik selalu menyediakan masakan khas NTT khususnya Flores dan Lembata. Sayur kelor hampir pasti. Rumpu-rampe sayur campuran daun pepaya, jantung pisang dsb. Ikan laut juga hampir pasti karena itu kesukaan Om Cornelis.

Meski sudah puluhan tahun tinggal di Malang, punya anak cucu, bahkan dianggap embahnya Amalatok (Kotalama dibaca dari belakang khas Ngalam alias Malang), selera Om Cornelis ternyata tidak banyak berubah. Sulit adaptasi dengan selera Jowo.

Karena itu, nasinya pun selalu beras campur jagung. Kalau nasi putih tok kurang cocok. "Kita ini orang kampung jadi selera masa kecil tidak bisa hilang," katanya.

Yang menarik, hidup doa, rutinitas berliturgi Tante Nanik ini luar biasa. Tak hanya rajin misa mingguan di Gereja Kayutangan tapi juga aktif di kegiatan-kegiatan lingkungan dan sebagainya. 

Padahal, Tante Nanik ini Katolik katekumen semacam mualaf karena menikah dengan seorang lelaki asal Pulau Lembata NTT yang beragama Katolik. Malah lebih rajin ketimbang yang ngajak dia jadi Katolik. Banyak kasus seperti ini di mana-mana.

Selama ini aku pikir kondisi paman dan bibi di Kotalama baik-baik saja. Saya pun tak mampir kalau ada acara bersama kawan-kawan alumni Mitreka Satata karena waktunya sangat mepet.

Betapa kaget saat aku mampir saat libur Lebaran pada awal April 2025 yang lalu. Tante Nanik tak ada di rumah. Om Cornelis pun baru kena begal saat naik sepeda motor melintas di dalam kota tengah malam. 

Susan kasih tahu bahwa Tante Nanik sakit berat. Kanker payudara stadium lanjut. Bolak-balik ke rumah sakit. "Doakan semoga membaik," kata Susan yang memang sangat aktif dalam berbagai kegiatan di Paroki Kayutangan Malang itu.

Susan tidak cerita secara detail. Intinya sudah parah tapi kadang membaik. Kudu sering rawat inap di rumah sakit.

Sekitar lima bulan kemudian... selesai.

Upacara pemakaman dipimpin Romo Yohanes Sirilus Bhaha, OCarm dari Paroki Kayutangan. Romo Yoris sapaan akrabnya berasal dari Ende lahir 1986. 

Jenazah Tante Nanik disembahyangkan di persemayaman Panca Budi Kotalama lalu dibawa ke Makam Kristen Sukun.

Senin, 04 Agustus 2025

Bella dan Anang pamitan, kangen polo pendhem gembili talas bentoel

Bella pamit duluan lalu disusul Anang. Selalu ada rasa sedih ketika kolega yang cukup lama berada di ruangan yang sama pamit. Kontrak habis atau sebab lain.

Bella tipe anak muda milenial yang antusias tapi kritis. Tidak segan-segan mengoreksi atasannya. Sesuatu yang kurang lazim bagi generasi lawas. 

"Bos tak pernah salah," begitu prinsip lama yang selalu diingat karyawan atawa pegawai swasta dan pemerintah.

Anang Yulianto boleh dikata wong lawas. Tamatan grafika di Malang. Sangat paham teknologi percetakan era film hingga digital. Kaki sebelahnya di teknologi cetak model lama. Kaki satunya model baru yang tidak pakai film.

Dulu Anang dkk gantian bawa film ke percetakan. Naik motor malam-malam. Biasanya jelang pukul 00.00. Cetak jarak jauh belum lazim di Indonesia.

Di era cetak jarak jauh, Anang cukup koordinasi dengan karyawan percetakan yang jauh di daerah Wringinanom Gresik. Koreksi sedikit kalau ada masalah teknis.

Anang tinggal jauh di Tanjangrono Mojosari. Sudah masuk Kabupaten Mojokerto. Saban hari naik motor pergi pulang ke kantor. Pernah rawat inap lama, operasi gara-gara kecelakaan di Geluran Taman.

Waktu itu saya kurang konsentrasi. Kecapekan, katanya sambil tersenyum.

Kecelakaan gara-gara kecapekan, jaga deadline sampai larut malam tak membuang kawan asal Malang Kabupaten ini kapok. Ia terus kerja kerja kerja... mencari makna hidup. Meski penghasilannya sebagai petani di Mojosari bisa jadi lebih tinggi.

Anang selalu bawa polo pendhem ke kantor. Singkong rebus, telo rambat, talas, bothek, uwi, gembili,  bentoel dan sebagainya. Hasil panen dari kebun sendiri. Kebun mertuanya yang asli Tanjangrono.

Gara-gara Anang pula aku dan kawan-kawan jadi akrab dengan aneka tanaman polo pendhem. Akrab dengan gembili. Aku dulu penasaran dengan Jalan Gembili dekat gereja parokiku zaman dulu, Paroki Yohanes Pemandi, dekat RSAL yang berada di Jalan Gembili.

Gembili itu apa? Tidak ada umat paroki yang paham. Ada yang mengira semacam nama pewayangan kayak Kunti, Sadewa, Arjuna dsb.

Aha.. ternyata gembili itu sejenis ubi yang ada rambutnya. Ada manis-manisnya.

Sejak Anang pamit wisuda, tak ada lagi gembili yang bisa dinikmati. Aku cari di beberapa warkop lawas Surabaya tapi jarang ada. Biasanya cuma ubi jalar dan singkong rebus atau bothe yang ada.

Sampean mampir saja ke rumah kalau pengen singkong atau talas. Silakan cabut sendiri, katanya.

Anang memang tahu kalau aku sering ngadem ke daerah Jolotundo Trawas lewat Mojosari dan Ngoro. Dulu aku pun sering blusukan ke kampung-kampung seputar PG Kremboong dan PG Watoe Toelis Sidoarjo. Anang tinggal dan berkebun tak jauh dari situ.

Rutam nuwus, Sam Ngana!

Minggu, 03 Agustus 2025

Gowes ke Bangkalan Nostalgia Kapal Penyeberangan Jokotole

 


Sejak ada Jembatan Suramadu aku tak pernah naik kapal feri dari Surabaya ke Madura. Naik feri ribet dan lama ketimbang jalur darat Suramadu yang sat-set-wet. Karena itu, bisnis kapal penyeberangan Ujung-Kamal sudah lama kolaps.

Kini tinggal satu kapal saja yang melayani Ujung-Kamal. KMP Jokotole milik Dharma Lautan Utama si raja kapal dari Surabaya. 

Aku coba gowes ke Madura via kapal penyeberangan itu. Mau tak mau. Sebab sepeda angin atawa sepeda ontel dilarang lewat Jembatan Suramadu. Boleh asal tidak ketahuan, kata rekan penggowes kawakan.

Aku pun nostalgia mengenang masa lalu saat beberapa kali ngetrip ke Pulau Madura sebelum ada Suramadu. Gowes dari Kamal ke Bangkalan sekitar 20 km. Tidak jauh bagi para penggowes kawakan tapi lumayan menantang bagi pemula.

Jalan raya di Madura lebih nyaman bagi kawan-kawan onthelis. Kendaraan tidak ramai. Ada tanjakan ringan disusul turunan dan seterusnya bergantian hingga Bangkalan Kota.

Satu-satunya tanjakan berat di sekitar Makam Tionghoa kawasan Socah. Harus pakai gir ringan. Bagaimana kalau pakai sepeda fixed gear atawa single speed?

Sebaiknya turun aja. Sepeda dituntut sebentar karena tidak terlalu panjang. Toh sebentar lagi turunan yang enak. Aku ikuti nasihat para senior itu. Nuntun lalu mampir di warung bebek dekat Bong Tionghoa.

Siansen Tan alias Jacob Basuki pengurus Kelenteng Eng An Bio Bangkalan terkejut melihat aku mampir di kelenteng pakai sepeda pancal. Dia menganggap saya hebat karena bisa gowes Surabaya-Bangkalan pp.

Gak hebat, Pak! Banyak kawan saya yang biasa gowes Surabaya-Pandaan atau Surabaya-Malang dua atau tiga kali sepekan. Kalau cuma 20 km sih kecil bagi mereka.

Siansen (Bapak) pengurus kelenteng itu memang suka mengapresiasi tamu. Biar senang dan tambah semangat. Dia juga biasa gowes dari rumahnya ke kelenteng sekalian olahraga. Harus banyak gerak, katanya.