Rabu, 01 Oktober 2025

Ayas dicurigai dan diinterogasi satpam di kantor Radar Madura

Ketimbang bengong di Surabaya atau Sidoarjo, Ayas gowes ke Bangkalan Madura. Lewat penyeberangan Ujung Kamal. Jalur Jembatan Suramadu lebih enak dan gratis tapi dilarang undang-undang. Kecuali nekat dan tidak ketahuan.

Gowes dari Kamal ke Bangkalan Kota tidak berat. Cuma 18 atau 20 km. Ada tanjakan ringan berganti turunan. Paling asyik gowes di Madura ketimbang Surabaya yang flat total. Satu-satunya tantangan cuma tanjakan agak berat di bong atawa Makam Tionghoa, Socah.

Tak jauh dari pertigaan arah ke Makam Mbah Cholil ada kantor Radar Madura. Surat kabar milik Jawa Pos Group. Kantor bagus, halaman cukup luas.

Ayas mampir, selamat pagi untuk mas penjaga atawa satpam yang duduk di depan kantor. "Bisa ketemu wartawan atau redaktur Radar Madura?" Ayas bertanya.

"Anda siapa? Anda dari mana?"

 Nadanya kurang bersahabat. Ayas mungkin dicurigai sebagai peminta sumbangan, orang gak jelas, atau semacam wartawan abal-abal. Sebab, Ayas gowes atawa ngontel dari Surabaya. Bukan naik mobil atawa menunggang sepeda motor layaknya wartawan konvensional.

"Mana kartu pers Anda? Saya mau lihat!"

 Masih dalam nada gak enak. Ayas sebetulnya sudah malas dan hendak minta diri. Tapi Ayas ladeni permintaannya. Ayas keluarkan kartu tanda pengenal.

 Mas Penjaga itu kayaknya masih kurang puas. Dia ngetes lagi. Persis interogasi. Siapa nama direktur Radar Surabaya? Siapa nama direktur Jawa Pos? Anda di bagian apa?

"Apakah Radar Madura libur hari Sabtu?" Ayas bertanya meski sudah paham Radar Madura pasti tetap terbit hari Minggu karena satu paket atau kopel dengan Jawa Pos.

"Anda ini ngakunya wartawan Jawa Pos Group. Masak nggak tahu kalau wartawan itu tidak ada liburnya?" masih ketus Mas Penjaga itu.

Ayas pun menyerah. Putus harapan untuk sekadar mampir basa-basi sedikit dengan kawan-kawan redaksi Radar Madura. Harus diakui Radar Madura punya kinerja edisi online yang sangat bagus. Ayas ingin cari resepnya alias studi banding kecil-kecilan.

Sayang, sambutan yang tidak ramah dari Mas Penjaga membuat runyam semuanya. Ayas mohon maaf sekaligus minta diri. Lanjut gowes ke Bangkalan Kota.

Ayas ketawa sendiri sepanjang jalan. Sudah sekian tahun tidak pernah ada narasumber atau siapa pun yang minta kartu pers. Apalagi menginterogasi kayak penyidik kepolisian atawa kejaksaan. Asem!

Tak terasa sudah 4 bulan gowes B2W



 Akhir bulan September 2025. Ketua RT bagi surat edaran lewat kertas dan wasap. Wajib pasang bendera setengah tiang. Lalu bendera penuh pada 1 Oktober.

Tidak ada perintah nonton bersama film Pengkhianatan G30S PKI seperti masa Orde Baru dulu. Tapi belakangan romantisme Orba muncul kuat di masyarakat. Pak Harto presiden terbaik, begitu pendapat yang banyak muncul di media sosial.

Lupakan dulu soal berat kontroversial tentang G30S, Pancasila Sakti, Orde Baru, Soeharto, Prabowo, makan bergizi gratis yang belakangan dikupas di mana-mana.

Ayas bahas gowes saja. Tak terasa sudah 4 bulan penuh Ayas gowes rutin ke tempat kerja. Bike to Work alias B2W. Empat bulan nyaris penuh karena cuma dua atau tiga hari terpaksa tidak bersepeda karena hujan musim kemarau.

Empat bulan membuat otot-otot kaki jadi terbiasa. Pernapasan pun biasa saja. Jarak 10 km rasanya ringan saja. Kecepatan sedang. Tidak secepat gaya balapan off road tapi juga tidak santai macam ibu-ibu gowes ke pasar. Sesekali gowes dengan kecepatan tinggi di MERR arah Kenjeran kalau sepi.

Selama 4 bulan ini Ayas sudah 2 kali mencapai kawasan pegunungan Jolotundo Trawas. Finis di gazebo dekat PPLH yang jadi markas komunitas gowes Surabaya Raya.

Tanjakan ekstrem di seputar Jolotundo membuat Ayas harus sering turun. Nuntun sepeda sampai medan agak datar meski pendek. Lalu nuntun lagi dst. Toh sampai juga di garis finis.

Ayas juga jadi sering ke Bangkalan Madura. Lewat kapal penyeberangan Ujung - Kamal. Gowes dari Kamal ke Bangkalan Kota cuma 18 atau 20 km. Tempat mangkal di Kelenteng Eng An Bio. Ngobrol panjang lebar dengan Tan Siansen biokong yang wawasannya sangat luas - sering menang isi TTS harian Kompas yang sulit.

Dari kelenteng tua di Jalan PB Sudirman, Ayas meluncur ke Martajasah. Makam Mbah Cholil pusat wisata religi utama di Pulau Madura. Ramai banget. 

Lalu geser ke hutan bakau wisata mangrove. Cukup menarik pemandangan alam di pesisir Bangkalan itu. Sayang, komunitas nyamuk terlalu banyak. Minyak serai, minyak kayu putih, obat nyamuk oles tidak mempan.

Anehnya, warga setempat kelihatan asyik-asyik saja dan bahagia. Kayak sudah kebal dengan nyamuk. Rupanya nyamuk Van Madoera cuma doyan mengisap darah pendatang baru.

"Kapan ke Madura lagi? Lama sampean tidak ke sini," tanya Tan Siansen lewat WA.

"Owe lagi di Malang. Lihat pawai budaya kirab tepekong dalam rangka 200 tahun TITD Eng An Kiong."

Nama kelenteng di Malang dan Bangkalan sangat mirip. Eng An Kiong Malang dan Eng An Bio Bangkalan. Sama-sama tua. Tapi acara sembahyangan tidak meriah. Tidak ada kirab budaya besar-besaran seperti di Malang.

Tuan Tan ini senang sekali kalau dibawakan koran Kompas edisi Minggu yang ada TTS itu. Hadiahnya memang besar. Tan sudah 5 atau 7 kali menang. "Sudah lama Kompas tidak beredar di Madura," katanya.

Sabtu, 27 September 2025

Basah keringat, gagal misa, menatap patung Binatang Jalang

Ramai sekali kirab budaya dalam rangka 200 tahun Kelenteng An Kiong di Malang, Sabtu sore 27 September 2025. Rutenya sangat panjang. Melewati jalan-jalan utama Kota Malang.

Dimulai dari kelenteng di Kotalama, lewat Gatot Subroto, Embong Brantas, Trunojoyo, Stasiun Kotabaru, Kartanegara, Balai Kota, samping Gereja Kayutangan dan seterusnya. Berakhir di kelenteng lagi.

Ayas terkesan dengan pawai tepekong dari puluhan kelenteng di Jawa. Ada juga tamu-tamu dari Kedah, Penang, Malaysia, Singapura dsb.

Tak hanya atraksi liang liong dan barongsai, ada juga tarian reog ponorogo, topeng malangan, tarian bali dan sebagainya.

Luar biasa sambutan warga Malang. Seakan larut dalam kebahagiaan bersama warga Tionghoa yang merayakan dua abad kelenteng legendaris di Kotalama itu.

Ayas lelah jalan kaki. Keringetan meski hawa di Malang tidak sepanas Surabaya. Kaos agak basah. Bau keringat pasti gak enak.

Masalahnya, Ayas niat misa di Kayutangan sore ini. Gantinya misa hari Minggu. Ayas seperti biasa nyangkruk di Taman Chairil Anwar persis di depan Gereja HKY Kayutangan. Kebiasaan lama sejak zaman sekolah dulu.

Mau ke gereja tapi bau keringat. Belum mandi. Tidak pantas ikut misa yang dihadiri ribuan jemaat. Beda dengan misa harian yang umatnya sedikit. Kita bisa menjauh agar orang lain tidak risi.

Apa boleh buat. Ayas tidak jadi pigi sembahyang misa meski pagar gereja antik itu cuma terpisah sekitar lima meter saja dari patung Chairil Anwar.

"aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
........
aku ingin hidup seribu tahun lagi"

Ayas kembali membaca sajak Aku yang diukir di bawah patung Chairil Anwar. 

Mea culpa
Mea maxima culpa

200 Tahun Kelenteng Eng An Kiong Malang, Kirab Tepekong

 


Sabtu pagi ini, 27 September 2025, ramai banget di Kotalama Malang. Rupanya ada perayaan 200 tahun Kelenteng Eng An Kiong

Luar biasa! Sudah dua abad usia kelenteng di kawasan Pecinan Malang itu.

Ada acara kirab arca atawa tepekong dari 52 kelenteng di Jawa. Panitia membatasi karena kapasitas yang terbatas. Dari Surabaya ada Kelenteng Mbah Ratu ikut serta. Ada juga kelenteng dari Semarang, Lasem, hingga Jawa Barat kirim arca untuk pawai keliling kota.

Kevin panitia bilang ada perwakilan 7 negara partisipasi dalam perayaan dua abad Eng An Kiong sekaligus 14th World Tua Pek Kong Festival. Rombongan dari luar negeri sekitar 1.500 orang. Undangan dari dalam negeri 2.500 orang.

Setiap kelenteng bawa arca tuan rumahnya masing-masing lalu dibawa kirab bersama, kata Kevin.

Perayaan dua abad Kelenteng Eng An Kiong di Malang ini penting dan bersejarah. Paling tidak jadi rujukan bahwa sudah 200 tahun lebih warga Tionghoa eksis di Kota Malang. Mereka dagang, buka toko, dan ikut membangun peradaban modern di Kota Malang dan tanah air umumnya. 

Ayas masih ingat dulu ada bioskop di depan kelenteng. Bioskop Mulia kalau tak salah. Zaman Belanda namanya Emma Theatre. Persis di samping Emma Hotel. Hotel tua itu baru saja dibongkar sekitar dua bulan lalu.

Tidak jauh dari situ ada Bioskop Garuda. Juga tinggal nama. Kemudian di sebelahnya ada Sekolah Tionghoa yang kini jadi SMAN 2 Malang. 

Tak jauh dari SMAN 2 ada Rumah Sakit Tionghoa Malang. Sekarang jadi RS Panti Nirmala milik yayasan Katolik. Begitu banyak aset Tionghoa di kawasan Petjinanstraat atawa Jalan Martadinata nama sekarang.

Ayas dulu sangat sering jalan kaki di depan kelenteng ke rumah paman yang hanya sepelemparan batu dari kelenteng legendaris itu. Tapi tidak pernah masuk. Apalagi wawancara atau sekadar bertanya tentang tradisi budaya Tionghoa dan sebagainya.

Bahkan, dulu zaman Orde Baru, segala hal yang berbau Tionghoa atawa Cina harus dijauhi. Termasuk bahasa Tionghoa, aksara Mandarin, barongsay, liang liong, busana Tionghoa dan sebagainya.

Karena itu, dulu kelenteng terlihat misterius. Ada kegiatan tapi diam-diam saja. Ayas baru masuk setelah ikut rombongan Kelenteng Hong San Ko Tee Surabaya mengikuti pawai kirab tepekong sekian tahun sebelum covid. Ibu Juliani pimpinan Kelenteng Hong San Ko Tee yang ajak ke Malang.

Sejak itu Ayas makin terbiasa mampir di Eng An Kiong. Dewa-dewi Tionghoa bukan lagi sosok misterius dan menakutkan. Bahasa dan aksara Tionghoa pun bukan lagi "bahasa setan" seperti yang sering disampaikan pejabat-pejabat pada masa Orde Baru. 

Dirgahayu Kelenteng Eng An Kiong!

Senin, 22 September 2025

Nus Tuwanakotta Penyiar Legendaris TVRI Surabaya, Teknik Vokal Diafragma

 


Dulu hanya satu stasiun televisi di Indonesia. TVRI: Televisi Republik Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia nonton TVRI. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Sangihe sampai Rote di NTT.

Karena itu, wajah dan suara penyiar TVRI sangat dikenal orang-orang lawas. Sambas, Toety Aditama, Idrus, Yasir Denhas, Hasan Azhari Oramahi, Yan Partawidjaja, Luther Kalasuat, Pungky Runkat.... 

Di TVRI Surabaya ada Nus Tuwanakotta. Penyiar kawakan ini lebih dikenal dalam liputan olahraga. Pertandingan Persebaya Surabaya di Tambaksari hampir pasti disiarkan langsung oleh Bung Nus, 76.

Cuplikan pertandingan Persebaya biasa muncul di Dari Gelanggang ke Gelanggang. Kadang di Arena dan Juara. "Saya juga meliput langsung Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Semua pertandingan kami liput," ujar wartawan senior di Surabaya itu. 

Nus Tuwanakotta tandem dengan Max Sopacua saat liputan di Amerika Serikat. Reporter TVRI seksi olahraga lain yang kondang [hampir semua kondang] antara lain Abraham Isnan, Sambas sudah pasti, Huzair Tarmidzi, Azwar Hamid.

Yang menarik, gaya dan teknik vokal penyiar-penyiar TVRI djaman doeloe sangat khas. Suara berat, dalam, berwibawa. "Itu teknik vokal diafragma. Semua penyiar harus menjalani latihan cukup lama sampai benar-benar menguasai," kata Bung Nus.

Dulu, sebelum dilepas jadi penyiar berita, seorang calon penyiar harus melalui tahap latihan ketat. Ada ujian baca artikel dengan suara mantap, bulat, dan berwibawa. Kalau lolos, baru bisa dipercaya muncul di layar. 

Selain itu, ada juga pendidikan khusus di Balai Diklat TVRI Jakarta selama berbulan-bulan. Tujuannya jelas: membentuk suara diafragma yang kokoh.

“Live reporting pun harus pakai suara diafragma,” kata Nus Tuwanakotta. 

Bahkan ketika ia melaporkan langsung pertandingan sepak bola 2x45 menit, termasuk Piala Dunia, Olimpiade, hingga Asian Games, semua tetap menggunakan teknik suara dari diafragma.

 Itulah sebabnya, penyiar TVRI dan RRI zaman dulu suaranya rata-rata berat, berwibawa, dan terdengar seragam.

Sekarang, situasinya agak berbeda. Presenter atau host televisi lebih banyak tampil dengan suara natural. Tidak semua dituntut untuk punya suara besar dan berotoritas.

Malah, tren penyiaran modern justru lebih menekankan spontanitas, gaya santai, dan kedekatan dengan penonton. Seakan-akan yang penting bukan lagi suara berat, melainkan kesan akrab dan mudah dicerna.

Perubahan ini tentu ada plus minusnya. Di satu sisi, suara berat dan berwibawa memberi rasa formalitas dan kepercayaan. Di sisi lain, suara natural cenderung lebih disukai audiens sekarang yang lebih suka gaya informal.

Bung Nus sebagai penyiar era diafragma menegaskan bahwa teknik vokal diafragma yang terbaik bagi penyiar radio dan televisi. Putranya, Iwan Tuwanakotta, sekarang penyiar TVRI Jawa Timur (nama baru TVRI Surabaya) mewarisi bakat ayahnya.

Bung Nus kerap diundang menjadi instruktur penyiar-penyiar di sejumlah televisi swasta nasional dan televisi lokal. Dia perlu waktu lama, sangat telaten, membentuk vokal dengan pernapasan diafragma. Mirip latihan vokal untuk penyanyi profesional.

Salah satu muridnya adalah Rendra Sudjono presenter Indosiar dan SCTV spesialis siaran pandangan mata atawa live reporting sepak bola. Rendra menggunakan diafgrama. Bukan suara natural ala orang ngobrol di kafe atau pasar.

Melaporkan pertandingan sepak bola 2x45 menit plus tambahan waktu jelas membutuhkan stamina dan suara yang prima. Tidak mudah serak. Itu hanya bisa jika menggunakan teknik diafragma. 

Sabtu, 20 September 2025

Baba Yentji Sunur Bupati Lembata 2 Periode Ternyata Satu Leluhur Hurek

 


Baba Yentji Sunur, Bupati Lembata NTT, dua periode sudah lama meninggal dunia. Tepatnya 2021. Baba Tionghoa yang aktif di politik itu jadi korban penyakit aneh yang disebut Covid-19.

Saya cuma sekali bertemu Baba Yance sapaan akrabnya. Itu pun karena kebetulan sama-sama naik Susi Air dari Lembata ke Kupang. Bupati Yance didampingi dr Kandou, istrinya yang asli Manado.

Tak banyak informasi yang saya ketahui tentang Eliaser Yentji Sunur alias Baba Yentji. Cuma info sumir bahwa baba Tionghoa itu sebetulnya "tite hena". Artinya, bukan orang lain, tapi masih punya hubungan darah dengan suku (fam, marga) Hurek Making. 

Hanya saja, leluhur wanitanya kawin dengan baba Tionghoa di Kedang. Karena itu, keluarga besar Suku Hurek kurang mengenal dekat cucu cicit yang di Kedang itu. Apalagi dari jalur perempuan macam leluhurnya Baba Yentji Sunur.

Saya baru dapat cerita yang lebih detail dari Om Cornelis Kalu Hurek di Kotalama Malang, dekat kelenteng, seputar leluhur Suku Hurek "biko tou". 

Artinya satu rumah adat. Karena Suku Hurek Making punya 5 biko.

Singkat cerita: kakeknya bapak saya (Gega Hurek), kakeknya Om Cornelis (Ire Hurek), dan kakeknya Yentji Sunur (Uba Hurek) itu saudara kandung. Nama kakeknya bapak saya itu Nuho Hurek.

Bapak saya juga pakai nama Nuho Hurek. Lengkapnya Nikolaus Nuho Hurek. "Jadi, tite tou hena, ata ahan hala. Tite mei tou," kata Om Cornelis yang sudah tinggal di Malang sejak awal 1970-an.

Omongan Om Cornelis itu artinya: Kita (dengan Baba Yentji) itu satu leluhur, bukan orang lain. Kita satu darah.

Baba Yentji sendiri lahir dan masa kecilnya di Kedang. Lalu merantau ke Jakarta untuk kuliah, kerja dan sebagainya. Baru pulang kampung ketika berniat maju dalam Pilkada Lembata.

 Calon bupati mau tidak mau mencari suku adat, jaringan leluhur, kekerabatan agar bisa menang. Namanya juga pemilihan langsung.

Sejak itulah Baba Yentji jadi sadar bahwa dirinya ternyata punya hubungan kekerabatan dengan Suku Hurek Making di Pulau Lembata bagian utara. Ada dua kecamatan yang potensi suaranya besar.

Saya pun baru sadar sekarang mengapa bapakku (almarhum Niko Nuho Hurek) dulu sangat getol mendukung pasangan Baba Yentji dan Victor Mado Watun. Calon wakil bupati memang Suku Watun yang memang masih keluarga juga.

 Tapi Baba Yentji? Bapa Niko tidak cerita sedetail Om Cornelis Kalu Hurek di Kota Malang.

Om Cornelis menuturkan, Buyut Nuho punya 6 anak. Lima laki-laki dan satu perempuan. Nah, satu-satunya perempuan itu (Mbah Uba) yang jadi kakek baba Tionghoa, Yentji Sunur, yang pernah jadi Bupati Lembata selama 9 tahun itu.

Baba Yentji sudah lama tiada. Seandainya masih hidup tentu saya akan sering mampir, ngobrol, diskusi, belajar ilmu dagang. Sebab, dialah salah satu dari sedikit baba Tionghoa yang pintar dagang + main politik.

Damai di surga, Baba Yentji!

Jumat, 19 September 2025

Buruh Pakerin Berkemah di Depan Kantor Gubernur Jawa Timur

 



Beberapa hari ini Ayas mampir di Titik Nol Surabaya. Persis di depan kantor Gubernur Jawa Timur. Persis di seberang Tugu Pahlawan. Memantau grup kerjaan khawatir ada koreksi, komplain dsb. 

Kalau ada masalah bisa balik lagi ke kantor. Tidak terlalu jauh. Monumen Titik Nol sering disambangi penggowes atawa wisatawan lokal. Foto-foto, bikin konten, istirahat sambil  ngopi, ngeteh atawa minum air putih nan sehat.

Ayas jadi tidak enak melihat ratusan buruh PT Pakerin berkemah di depan kantor gubernur. Pabrik kertas yang terkenal (dulu) itu rupanya lagi bermasalah. Ratusan buruh sering unjuk rasa di pabriknya dekat Jembatan Prambon itu. Kemudian demo berkali-kali di Surabaya.

Rupanya ada masalah manajemen keluarga. Pecah kongsi. Pabrik jadi macet. Gaji buruh tidak dibayar berbulan-bulan. THR pun tidak dibayar. Kami minta bantuan gubernur, kata seorang buruh.

Di tengah ekonomi yang lesu ini pemerintah daerah tak bisa berbuat banyak. Gubernur Khofifah juga sibuk misi dagang ke Kalimantan dan daerah lain di luar Jawa. Dinas-dinas yang ada tak banyak membantu mengatasi kasus Pakerin alias Pabrik Kertas Indonesia.

Mengapa tidak mengadu ke Jakarta? Langsung ke Menaker atau Wakil Menteri Tenaga Kerja? Oh ya, Wamenaker Noel baru saja ditangkap KPK karena korupsi. 

Kami ngadu ke gubernur dan dewan aja dulu, kata seorang karyawan. Dia dan kawan-kawan yakin kasus Pakerin bisa diselesaikan jika pihak bank tidak membekukan rekening perusahaan.

Entah kapan perkemahan di depan kantor Gubernur Jawa Timur ini berakhir. Pakerin bukan satu-satunya perusahaan yang bermasalah.

PT Gudang Garam yang raksasa pun ikut oleng. Banyak buruh yang di-PHK. Gubernur bilang bukan PHK tapi pensiun dini. 

Yang pasti, Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Inflasi menggila. Harga semua barang dan jasa naik tajam. Harga diri wakil rakyat di mana-mana yang anjlok.