Ayas biasa lewat Jalan Karet. Dulu namanya Petjinan Kulon. Masa Hindia Belanda disebut Chineeschevoorstraat. Semacam pelataran kawasan pecinan tempo doeloe.
Ada 3 rumah sembahyang (kadang disebut rumah abu) di Jalan Karet. Rumah sembahyang Keluarga Han, The, dan Tjoa. Ketiganya pemimpin Tionghoa pada zaman Belanda. Paling berpengaruh dan mungkin paling kaya saat itu.
Nah, di dekat rumah sembahyang Keluarga Tjoa ada warung sederhana khas Madura. Menempati pelataran halaman gedung tua yang mangkrak. Ayas biasa mampir ngopi atau makan di situ. Sambalnya pedes banget.
Lama-lama Ayas jadi akrab dengan Bu Faris pemilik warung itu. Disapa Bu Faris karena anaknya bernama Faris. Bukan istri Pak Faris.
Itu kebiasaan orang Madura. Kalau pakai nama suami, bagaimana kalau cerai? Ganti panggilan lagi. Kalau pakai nama anak pasti abadi. Begitu kira-kira alam fikiran saudara-saudara kita dari Pulau Garam.
Bu Faris cerita tentang kebiasaan kawin muda di desanya dan Madura umumnya. Umur 12 tahun sudah menikah. Punya anak juga di usia segitu. Orang kampung tidak mikir lanjut sekolah ke SMP dan seterusnya.
Calon suami pun sudah ada. Gak ada yang namanya pacaran, kata Bu Faris yang selalu menolak menyebut nama aslinya. Setelah punya anak, maka perempuan Madura kehilangan nama aslinya.
Karena menikah di usia sangat muda, di bawah 18 tahun, Bu Faris sudah lama punya cucu. Kalau jalan bareng ke pasar atau mal bisa dikira adik atau keponakannya. Sebab jarak usia tidak terlalu jauh.
Sekian tahun kemudian Bu Faris punya anak lagi. Usianya lebih muda ketimbang cucunya. Pekan lalu Ayas kebetulan bertemu si cucu itu yang sedang main bersama Faris di warung itu.
Siapa pun pasti menduga bahwa Faris itu adiknya anak itu. Padahal sejatinya Faris itu paman alias om. Sangat menarik. Ayas senyum sendiri melihat pemandangan yang unik ini. Cucu kok lebih tua ketimbang anak?
Ayas bertanya secara halus diplomatis agar tidak tersinggung. Bu Faris bilang kasus Faris yang lebih muda ketimbang keponakannya itu sudah biasa di desanya di Bangkalan sana.
Di daerah NTT kasus seperti ini sangat jarang bahkan hampir tidak ada. Yang banyak itu adik atau kakak sepupu tapi rasa keponakan karena perbedaan usia yang sangat jauh.
Ayas punya adik sepupu, Carmen, saat ini sekolah di SMAK Dempo Malang. Beda usia terlalu jauh. Tapi menurut adat Lamaholot yang menekankan garis generasi, Carmen tidak boleh memanggil Ayas dengan Om tapi harus Kaka.
Carmen itu adik sepupu rasa keponakan. Kakak sepupunya sudah ubanan, dia masih pelajar SMP atau SMA! That's life.
