Jumat, 19 September 2025

Buruh Pakerin Berkemah di Depan Kantor Gubernur Jawa Timur

 



Beberapa hari ini Ayas mampir di Titik Nol Surabaya. Persis di depan kantor Gubernur Jawa Timur. Persis di seberang Tugu Pahlawan. Memantau grup kerjaan khawatir ada koreksi, komplain dsb. 

Kalau ada masalah bisa balik lagi ke kantor. Tidak terlalu jauh. Monumen Titik Nol sering disambangi penggowes atawa wisatawan lokal. Foto-foto, bikin konten, istirahat sambil  ngopi, ngeteh atawa minum air putih nan sehat.

Ayas jadi tidak enak melihat ratusan buruh PT Pakerin berkemah di depan kantor gubernur. Pabrik kertas yang terkenal (dulu) itu rupanya lagi bermasalah. Ratusan buruh sering unjuk rasa di pabriknya dekat Jembatan Prambon itu. Kemudian demo berkali-kali di Surabaya.

Rupanya ada masalah manajemen keluarga. Pecah kongsi. Pabrik jadi macet. Gaji buruh tidak dibayar berbulan-bulan. THR pun tidak dibayar. Kami minta bantuan gubernur, kata seorang buruh.

Di tengah ekonomi yang lesu ini pemerintah daerah tak bisa berbuat banyak. Gubernur Khofifah juga sibuk misi dagang ke Kalimantan dan daerah lain di luar Jawa. Dinas-dinas yang ada tak banyak membantu mengatasi kasus Pakerin alias Pabrik Kertas Indonesia.

Mengapa tidak mengadu ke Jakarta? Langsung ke Menaker atau Wakil Menteri Tenaga Kerja? Oh ya, Wamenaker Noel baru saja ditangkap KPK karena korupsi. 

Kami ngadu ke gubernur dan dewan aja dulu, kata seorang karyawan. Dia dan kawan-kawan yakin kasus Pakerin bisa diselesaikan jika pihak bank tidak membekukan rekening perusahaan.

Entah kapan perkemahan di depan kantor Gubernur Jawa Timur ini berakhir. Pakerin bukan satu-satunya perusahaan yang bermasalah.

PT Gudang Garam yang raksasa pun ikut oleng. Banyak buruh yang di-PHK. Gubernur bilang bukan PHK tapi pensiun dini. 

Yang pasti, Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Inflasi menggila. Harga semua barang dan jasa naik tajam. Harga diri wakil rakyat di mana-mana yang anjlok.


Kamis, 18 September 2025

Apes! Angkot di Arjosari Malang Ngetem Satu Jam dan Tidak Berangkat



 Jarak Surabaya (titik nol di Tugu Pahlawan) dengan titik nol Sidoarjo dekat alun-alun cuma 30 km lebih sedikit. Tapi ada beberapa titik kemacetan parah yang membuat durasi perjalanan jadi sangat lama. Bisa satu jam bahkan 90 menit saat jam pulang kerja.

Ayas sering naik bus ekonomi dari Terminal Purabaya Bungurasih ke Arjosari Malang. Jaraknya hampir 100 km. Lama perjalanan rata-rata 70 menit. Bahkan bisa lebih cepat atau lambat sedikit.

Luar biasa! 

Perjalanan dari Surabaya ke Malang saat ini ibarat perjalanan di dalam kota saja. Tidak lagi dua jam atau tiga jam lewat jalur tradisional. Jalan tol yang tersambung menyeluruh mengubah segalanya.

Bus tidak bisa lagi turun naikkan penumpang di mana saja. Tidak bisa ngetem di terminal, halte, atau di mana saja. Sekarang cuma bisa ngetem sejenak di pintu keluar Purabaya. 

Lalu ngebut terus sampai Karanglo, eksit tol. Kemudian masuk Terminal Arjosari.

Masalahnya setelah sampai di Arjosari. Angkot-angkot ngetem lama sekali. Kadang bisa satu jam dan belum tentu berangkat jika jumlah penumpang terlalu sedikit. 

Ayas dapat pengalaman buruk pekan lalu. Sampai di Arjosari sekitar pukul 21.10. Target pukul 22.00 harus sampai di Kotalama, dekat kelenteng yang terkenal itu karena ada voucher. Lewat jam 10 malam hangus.

Tunggu punya tunggu, hampir satu jam, angkot AMG (Arjosari, Malang, Gadang) tidak juga berangkat. Mungkin karena penumpang saat itu hanya tiga orang. Tunggu dua penumpang lagi minimal. Ternyata tidak ada.

Mendekati jam 22.00 angkot tidak berangkat. Ayas sudah tak punya kemampuan untuk marah atau maki-maki. Langsung turun jalan kaki mampir di warkop dekat pintu keluar terminal. Mendoakan sopir angkot yang ngawur itu.

Sudah pasti voucher hotel gratis hangus. Plan A gagal. Harus ambil plan B. Bermalam di kos harian semacam penginapan sederhana di Arjosari. Besok pagi baru meluncur ke Malang Kota.

Ayas baru saja baca para sopir angkot di Malang menghadap wakil rakyat. Memprotes rencana bus Trans Jatim masuk Malang Raya. Itu membuat penghasilan mereka berkurang.

Kawan-kawan sopir angkot itu lupa bahwa ulah mereka yang ngetem sangat lama sangat merugikan penumpang. Masyarkat jadi hilang simpati.

Rabu, 17 September 2025

Nona Singapura Tidak Bisa Cakap Melayu, Ketemu di GNI Bubutan

 



Siang ini Ayas mampir di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jalan Bubutan Surabaya. Ada Makam dr Soetomo pahlawan nasional sekaligus pendiri GNI. Pendapanya terbuka sangat nyaman dan bersih.

Ada kantor Panjebar Semangat, majalah mingguan berbahasa Jawa yang didirikan dr Soetomo pada 2 September 1933. Sampai hari ini masih terbit meski pembacanya kian menua. Ayas punya dua kawan yang jadi redaktur hebat di PS.

Tiba-tiba datang gadis manis agak gemuk. Tionghoa. "Ada yang bisa saya bantu?" Ayas menyapa basa-basi ketika si nona manis mendekat.

Dia ngomong bahasa Inggris. Ouw, rupanya wisatawan asal Singapura. Dia bertanya tentang gedung ini, sejarahnya, dan sebagainya. Ayas pun menjawab sekenanya seperti pemandu wisata amatiran.

Syukurlah, informasi yang dipajang di pendapa GNI sangat lengkap. Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ada foto-foto tua djaman doeloe yang sangat menarik. Ayas pun meminta Nona Singapura itu untuk membaca sendiri. 

Ayas kembali ngopi sambil membaca berita-berita mentahan kiriman wartawan lalu disunting. Kemudian diunggah di portal berita. 

Kebetulan berita lagi sepi selepas kerusuhan pada akhir Agustus lalu. Penangkapan maling-maling motor berkurang. Penangkapan geng-geng remaja juga nihil.

Ayas lalu merenung. Mengapa orang Singapura tidak bisa berbahasa Melayu? Padahal, katanya bahasa Melayu salah satu bahasa resmi Singapura selain bahasa Inggris dan Mandarin. Padahal, Negaraku, lagu kebangsaan Singapura ditulis oleh komponis Melayu dan berbahasa Melayu.

Ayas juga sering mengikuti pidato-pidato perdana menteri Singapura macam Lee Kuan Yew, Lee Hsien Loong dalam bahasa Melayu. Sangat fasih dan jelas. 

Naga-naganya bahasa Melayu tidak dianggap penting di Singapura. Bahasa Inggris yang utama. Bahasa Mandarin dan Hokkien mungkin nomor 2. Orang Tionghoa rupanya tidak punya minat sama sekali belajar bahasa Melayu.

Nona Singapura itu serius banget membaca narasi-narasi di pendapa GNI yang disusun secara kronologis. Kemudian melanjutkan jalan kaki ke Tugu Pahlawan

Orang Surabaya sekalipun sangat jarang jalan kaki sejauh itu dari Tunjungan, Bubutan, Ampel, Kembang Jepun, Rajawali dan sebagainya. Apalagi membaca cerita-cerita sejarah yang terkait dengan bangunan cagar budaya.

Sembahyang Tutup Peti Oei Hiem Hwie Dipimpin Pater Thomas Bani SVD


 Tokoh literasi, wartawan era Orde Lama, Soekarnois tulen, Oei Hiem Hwie tutup usia. Ayas sangat kehilangan. Penggemar buku-buku, majalah, koran, tempo doeloe di Surabaya juga kehilangan besar.

Ayas sering mampir menemui Om Oei di Perpustakaan Medayu Agung, kawasan Rungkut Surabaya. Setiap kali gowes pagi ke hutan bakau wisata mangrove Gunung Anyar biasanya mampir. 

Ada saja bahan yang dibahas Oei Hiem Hwie. Cerita-cerita tentang pengalamannya di Pulau Buru paling menarik. Mantan wartawan koran Trompet Masjarakat itu (kantornya dekat Tugu Pahlawan) dibuang selama 8 tahun di Buru. 

Oei yang lahir di Malang ditangkap di Malang, dibawa ke Nusa Kambangan tiga bulan lalu dibuang ke Pulau Buru. Ia dianggap orang kiri, Soekarnois, pengurus Baperki.

 "Saya ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru tanpa pengadilan," katanya.

Oei dan ribuan tahanan politik, narapidana politik, sudah hilang asa. Merasa sudah selesai di Buru. Mati di pulau yang pada awal 1970-an masih liar itu. Tapi proyek orba itu dikecam dunia barat. 

Tahun 1978 Oei dibebaskan. Setahun kemudian Pramoedya Ananta Tour dibebaskan. Oei yang menyediakan kertas, alat tulis agar Pram tetap bisa menulis novel atau apa saja di Pulau Buru. Manuskrip-manuskrip asli Pram pun disimpan dan disembunyikan Oei.

Ayas, seperti biasa, tidak pernah menanyakan apa agama seseorang. Ayas menduga Om Oei jemaat kelenteng. Bisa Tridharma atau Buddha. Bisa juga Khonghucu. 

Nasrani kayaknya bukan karena diksi-diksi yang diucapkan Oei jauh dari kata-kata yang biasa kita dengar dari orang Katolik, Protestan, Pentakosta, Karismatik, Advent dsb. Om Oei tak pernah bicara soal gereja atawa kekristenan sama sekali.

Ayas beberapa kali mampir di Medayu Agung pada Jumat pagi. Ngobrol biasa, tanya jawab, lalu Om Oei siap-siap berangkat ke Masjid Cheng Hoo Surabaya. Bersama salah seorang karyawannya.

Oh, berarti Om Oei ini mualaf. Seperti Haji Masagung tokoh muslim Tionghoa yang juga idola Oei Hiem Hwie, pikir Ayas.

Karena itu, Ayas agak terkejut saat mengikuti acara tutup peti mendiang Om Hwie di Adi Jasa Surabaya. Loh, ada Romo Thomas Bani SVD, Pastor Paroki Roh Kudus, Rungkut. Pater asal Belu NTT ini pastor paroki saya yang meliputi Kecamatan Rungkut dan Gunung Anyar.

"Salam damai, Pater!" 

Ayas menyalami pater yang ramah ini. Pater tampak semangat.

Di Adi Jasa saat itu ada banyak akademisi Unair yang memang dekat dengan Om Oei. Ada Dr Dede Oetoemo, Dr Shinta Rahayu dosen dan sinolog terkenal, hingga tokoh-tokoh Tionghoa. Ada pula beberapa umat Katolik dari Paroki Roh Kudus.

Oh, ternyata Om Oei ini Katolik. Dua hari kemudian dikremasi di Kembang Kuning. Ibadat cara Katolik juga.

Orang Tionghoa memang paling luwes. Sangat fleksibel. Tidak fanatik. Sering sulit ditebak apa agamanya. Lahir sebagai umat kelenteng, belajar di sekolah Katolik kadang jadi katekumen, dewasa bisa jadi mualaf, kemudian berpulang dan dimakamkan secara Katolik. 

Toh, Tuhan Allah hanya satu, bukan?

Selamat jalan, Om Oei!

Minggu, 14 September 2025

Sembahyang 40 Hari Tante Nanik di Kotalama Malang, Nostalgia Kampung Halaman

 


Tidak terasa sudah 40 hari Tante Anastasia Nanik tiada. Berpulang dalam damai ke rumah Bapa. Dimakamkan di Makam Nasrani Sukun, Malang.

Sabtu malam, 13 September 2025, sembahyang bersama 40 harinya. Ayas hadir. Mestinya hari Jumat tapi diundur sehari karena ada kesibukan di lingkungan, kata Susan, menantunya Om Cornelis Hurek Making, suaminya mendiang Tante Nanik.

Cukup banyak umat Katolik dari kawasan Kotalama, Paroki Kayutangan, Malang, hadir. Ada Pak Prasetyo asisten imam (AI) yang terkenal di Malang Kayutangan lantaran suaranya yang mantap keras tanpa perlu mikrofon.

Ayas duduk di dalam bersama sebagian jemaat. Sebagian lagi di teras dan halaman rumah tua gaya kebun di kampung. 

Doa bersama secara liturgi, nyanyi beberapa lagu, lalu doa rosario lima peristiwa. Kebiasaan lama yang tidak pernah ayas lakukan selama bertahun-tahun karena kerja malam hari. Tidak mungkin ikut doa lingkungan, wilayah, kategorial, legio dsb.

Sembahyang selesai. Kurang lebih satu jam. Lalu makan bersama soto ayam. Jemaat pulang bawa nasi berkat, jajan di kotak. Layaknya selamatan di kampung.

Ayas tentu saja tidak langsung pulang. Tapi ngobrol panjang lebar dengan Om Cornelis Hurek Making. Meski telinga kanannya agak terganggu gara-gara jatuh dari motor, dibegal di kawasan Kiai Tamin, dua tahun lalu, obrolan cukup asyik.

Om bicara panjang lebar dalam bahasa Lamaholot, bahasa daerah di Kecamatan Ile Ape, Lomblen Island alias Pulau Lembata. Nostalgia masa kecil sekolah rakyat (SR) di Lewotolok lalu pergi merantau ke Malaysia. Di usia 12 atau 13 tahun.

"Kame gere tena mesin take leron 48," katanya. Kami naik perahu tanpa mesin selama 48 hari. 

Di tengah jalan perahu yang membawa para perantau asal Lembata, Adonara dan sekitarnya diserang bajak laut. Barang-barang berharga yang dibawa sebagai bekal dari kampung dijarah. Ngeri!

Belum sampai Sabah, yang saat itu masih dijajah British. Belum gabung Malaysia. Sabah dan Serawak gabung Persekutuan Tanah Melayu tahun 1969 menjadi negara Malaysia yang kita kenal sekarang.

"Mo inam Yuli ne kame tobo kelas tou," katanya. Artinya, ibu saya, Yuliana Manuk, ternyata teman satu kelas Om Cornelis di SR Lewotolok. 

Murid-murid anak kampung dulu masih sangat sederhana. Belum ada celana. Pakai kewodu, sarung yang ditenun sendiri mama-mama di kampung. Wanita juga pakai sarung.

Kepala sekolah, Bapa Hendrikus Lawe Betan asal Waibalun Larantuka, kerasnya minta ampun. Murid nakal, malas, apalagi bandel atawa kurang ajar dipukul dengan penggaris. Kadang ditempeleng dengan tangan kosong.

Meski begitu, Om Cornelis berterima kasih kepada Bapa Betan yang sangat berjasa merintis sekolah rakyat pertama di kampung. Bukan cuma mengajar pelajaran membaca, berhitung, menulis, mencongak tapi juga mengajar agama kiwanen (Katolik).

"Nolo kame sembahyang Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya.. moi hala," kata Om sambil ketawa.

Maksudnya, dulu anak-anak kampung tidak hafal doa-doa dasar seperti Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya.... Guru Betan yang berjasa memberikan dasar-dasar pendidikan Katolik di kampung yang masih sederhana.

Ayas suka dengar cerita-cerita ringan macam ini. Ada narasi sejarah, adat istiadat hingga lapisan-lapisan generasi yang jarang diketahui generasi muda. Apalagi anak desa yang lekas merantau pada usia sangat muda.

Semoga Tante Nanik tenang di sana! 

Semoga Om Cornelis tetap kuat ditemani anak-anak dan 13 cucu - kalo gak salah ingat.

Senin, 01 September 2025

Uklam Tahes #120 Ikamisa Malang Ketemu Guru Bahasa Inggris Terbaik

 


Uklam Tahes atawa Mlaku Sehat atawa Jalan Sehat nawak-nawak alumni Mitreka Satata alias SMAN 1 Malang sudah memasuki edisi ke-120. Luar biasa! 

Boleh jadi IkamisaIkatan Alumni Mitreka Satata masuk rekor nasional Muri sebagai ikatan alumni yang paling sering bikin acara kumpul-kumpul dan jalan sehat. Tapi nawak-nawak malas cari rekor. Uklam tahes hanya sekadar silaturahmi santai aja.

 Bulan Agustus ini ada dua edisi uklam tahes sekaligus. Di Jabodetabek dan kompleks sekolahan Mitreka Satata persis di samping Alun-Alun Bunder depan Balai Kota Malang.

Ayas ikut yang di sekolahan. Tidak enak sama Rudi admin Grup Grafiti dan Iponk juragan kopi di Prapatan Klojen yang kebetulan satu alumni juga di kampus Unej. Kalau ke Malang ayas hampir pasti nongkrong ngopi di Koopen kafe unik yang juga sering disambangi turis-turis bule backpacker.

Sam Ipong sering jadi pemandu wisata sembari jualan aneka biji kopi yang didatangkan dari berbagai daerah di Indonesia. Termasuk dari Flores. Kemampuan bahasa Inggrisnya memang bagus seperti nawak-nawak Mitreka Satata yang dulu digembleng keras oleh Mr Bee, guru bahasa Inggris terbaik di Malang Raya.

Uklam Tahes 120 ini seperti biasa ramai sekali. Tapi nawak-nawak grup satu kelas tidak banyak yang hadir. Ipong pasti datang sekalian buka booth kopi Koopen, Rudi sudah pasti, Wiwik PDAM, Haryono, Sugianto. Ada lagi beberapa kawan yang saya ingat wajahnya tapi lupa namanya.

Ayas senang banget bisa bertemu Bapak Ki Bambang Tribagjo Prawirayuwono yang kondang dengan sapaan Mr B. Guru bahasa Inggris ini memang dahsyat. Sejak lulus dari SMAN 1 aku tak pernah jumpa beliau.

Ayas pun salaman lalu perkenalkan diri blablabla. "Masih ingat saya, Pak?"

"Oh yesss... I still remember you! I remember you!" kata Mr B mantap.

Alhamdulillah! Puji Tuhan! 

Mr B bukan sekadar guru bahasa Inggris tapi juga penyanyi dengan suara bariton yang enak. Ada vibrasi khas penyanyi-penyanyi djaman doeloe. Ia sering membawakan lagu What a Wonderful World... yeaaah yeaaah yeaahhh...

"Hahaha... Louis Armstrong," tukas Mr B setelah saya melantunkan sedikit awal lagu legendaris itu.

Acara jalan sehat tidak terlalu jauh. Start dari lapangan basket SMAN 1 belok kiri masuk Kertanegara lalu belok kiri Sultan Agung depan SMAN 3 belok kiri Pajajaran lalu belok kiri Suropati dan masuk finis di sekolah.

Istirahat, minum, makan-makan ada tumpeng istimewa dari Wiwik yang kebetulan juara lomba bikin tumpeng Agustusan. Dari dulu Wiwik memang pintar masak dan keibuan.

Salam tahes! Komes!

Minggu, 10 Agustus 2025

Ujian Fisik Gowes dari Surabaya ke Jolotundo Trawas



Dua bulan sudah aku sudah bisa bike to work, B2W. Napas biasa, tidak capek lagi meski harus melahap rute lumayan panjang. Sekitar 25-30 km pergi pulang dari Kelurahan Rungkut Menanggal ke Kelurahan Bongkaran di kawasan kota lama.

Aku sendiri pun heran. Tak menyangka bisa gowes sejauh itu. B2W saban hari. Cuma dua tiga hari gagal B2W karena hujan deras mengguyur Kota Surabaya.

Mengapa tidak nyoba jarak jauh sekalian? Rute Surabaya - Jolotundo? Kalau tidak kuat, ya leren, pulang. Atau nuntun aja sepedanya. Begitu bisikan dari langit.

Yes, I do! 

Aku pun coba gowes dari Rungkut Menanggal ke Jolotundo, Kecamatan Trawas, Mojokerto. Lewat jalur Krian, Mojosari, yang lebih landai ketimbang jalur Ngoro yang penuh tanjakan. 

 Pulangnya baru menikmati turunan panjang Jolotundo, Ngoro, Watukosek, kampung Inul di Kejapanan, Porong, Lapindo hingga Sidoarjo sampai Surabaya.

Sepeda Polygon lawas disetel dengan rasio gir lebih ringan ketimbang setelan dalam kota yang sengaja dibuat agak berat. Rasio gir ini penting untuk melahap tanjakan pegunungan ala Jolotundo.

Lumayan capek tapi akhirnya bisa mendekati Jolotundo tempat wisata alam yang terkenal dengan petirtaan dan sumur kuna peninggalan Raja Airlangga. Tiga km jelang garis finish di Jolotundo tanjakan terlalu ekstrem.

Pesepeda senior yang pakai sepeda mahal canggih pun biasanya kewalahan. Apalagi sepeda tua keluaran 2005-an yang girnya sudah protolan. 

Apa boleh buat, aku sering nuntun. Kalau jalan agak datar atau tanjakan ringan giwes lagi. Akhirnya tiba di garis finish. Gasebo yang jadi markas komunitas pesepeda dari Surabaya, Sidoarjo, dan sekitarnya.

Mampir sejenak ngopi di PPLH: Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup. Beberapa kenalan tidak percaya kalau aku gowes dari Surabaya sampai ke Jolotundo. Sekitar 60 km versi Mbah Google.

Mbah Gatot Hartoyo budayawan dan sesepuh Sidoarjo pun kaget melihat aku menuntun sepeda pancal ke rumah panggungnya di Dusun Biting, masih satu desa dengan kawasan wisata Jolotundo. 

"Saya cuma iseng aja ngetes fisik gowes ke Jolotundo. Alhamdulillah, ternyata sampai di garis finish dengan selamat," basa-basi kepada Mbah Gatot.

Mbah Gatot kelihatan capek dan ngantuk meski belum pukul 21.00. Beda dengan sebelum covid ia biasa "diganggu" rombongan dari Sidoarjo melekan semalam suntuk. Bahas seni budaya, politik, birokrasi, zionisme, hingga kerusakan lingkungan hidup.

Aku pun permisi istirahat. Melepaskan lelah, tidur nyenyak sampai pagi di Jolotundo. Pulangnya ngebut banget meski tidak mancak pedal karena turunan panjang hingga ke Ngoro Industri.