Sejak ada Jembatan Suramadu aku tak pernah naik kapal feri dari Surabaya ke Madura. Naik feri ribet dan lama ketimbang jalur darat Suramadu yang sat-set-wet. Karena itu, bisnis kapal penyeberangan Ujung-Kamal sudah lama kolaps.
Kini tinggal satu kapal saja yang melayani Ujung-Kamal. KMP Jokotole milik Dharma Lautan Utama si raja kapal dari Surabaya.
Aku coba gowes ke Madura via kapal penyeberangan itu. Mau tak mau. Sebab sepeda angin atawa sepeda ontel dilarang lewat Jembatan Suramadu. Boleh asal tidak ketahuan, kata rekan penggowes kawakan.
Aku pun nostalgia mengenang masa lalu saat beberapa kali ngetrip ke Pulau Madura sebelum ada Suramadu. Gowes dari Kamal ke Bangkalan sekitar 20 km. Tidak jauh bagi para penggowes kawakan tapi lumayan menantang bagi pemula.
Jalan raya di Madura lebih nyaman bagi kawan-kawan onthelis. Kendaraan tidak ramai. Ada tanjakan ringan disusul turunan dan seterusnya bergantian hingga Bangkalan Kota.
Satu-satunya tanjakan berat di sekitar Makam Tionghoa kawasan Socah. Harus pakai gir ringan. Bagaimana kalau pakai sepeda fixed gear atawa single speed?
Sebaiknya turun aja. Sepeda dituntut sebentar karena tidak terlalu panjang. Toh sebentar lagi turunan yang enak. Aku ikuti nasihat para senior itu. Nuntun lalu mampir di warung bebek dekat Bong Tionghoa.
Siansen Tan alias Jacob Basuki pengurus Kelenteng Eng An Bio Bangkalan terkejut melihat aku mampir di kelenteng pakai sepeda pancal. Dia menganggap saya hebat karena bisa gowes Surabaya-Bangkalan pp.
Gak hebat, Pak! Banyak kawan saya yang biasa gowes Surabaya-Pandaan atau Surabaya-Malang dua atau tiga kali sepekan. Kalau cuma 20 km sih kecil bagi mereka.
Siansen (Bapak) pengurus kelenteng itu memang suka mengapresiasi tamu. Biar senang dan tambah semangat. Dia juga biasa gowes dari rumahnya ke kelenteng sekalian olahraga. Harus banyak gerak, katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar