Siang ini Ayas mampir di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jalan Bubutan Surabaya. Ada Makam dr Soetomo pahlawan nasional sekaligus pendiri GNI. Pendapanya terbuka sangat nyaman dan bersih.
Ada kantor Panjebar Semangat, majalah mingguan berbahasa Jawa yang didirikan dr Soetomo pada 2 September 1933. Sampai hari ini masih terbit meski pembacanya kian menua. Ayas punya dua kawan yang jadi redaktur hebat di PS.
Tiba-tiba datang gadis manis agak gemuk. Tionghoa. "Ada yang bisa saya bantu?" Ayas menyapa basa-basi ketika si nona manis mendekat.
Dia ngomong bahasa Inggris. Ouw, rupanya wisatawan asal Singapura. Dia bertanya tentang gedung ini, sejarahnya, dan sebagainya. Ayas pun menjawab sekenanya seperti pemandu wisata amatiran.
Syukurlah, informasi yang dipajang di pendapa GNI sangat lengkap. Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ada foto-foto tua djaman doeloe yang sangat menarik. Ayas pun meminta Nona Singapura itu untuk membaca sendiri.
Ayas kembali ngopi sambil membaca berita-berita mentahan kiriman wartawan lalu disunting. Kemudian diunggah di portal berita.
Kebetulan berita lagi sepi selepas kerusuhan pada akhir Agustus lalu. Penangkapan maling-maling motor berkurang. Penangkapan geng-geng remaja juga nihil.
Ayas lalu merenung. Mengapa orang Singapura tidak bisa berbahasa Melayu? Padahal, katanya bahasa Melayu salah satu bahasa resmi Singapura selain bahasa Inggris dan Mandarin. Padahal, Negaraku, lagu kebangsaan Singapura ditulis oleh komponis Melayu dan berbahasa Melayu.
Ayas juga sering mengikuti pidato-pidato perdana menteri Singapura macam Lee Kuan Yew, Lee Hsien Loong dalam bahasa Melayu. Sangat fasih dan jelas.
Naga-naganya bahasa Melayu tidak dianggap penting di Singapura. Bahasa Inggris yang utama. Bahasa Mandarin dan Hokkien mungkin nomor 2. Orang Tionghoa rupanya tidak punya minat sama sekali belajar bahasa Melayu.
Nona Singapura itu serius banget membaca narasi-narasi di pendapa GNI yang disusun secara kronologis. Kemudian melanjutkan jalan kaki ke Tugu Pahlawan.
Orang Surabaya sekalipun sangat jarang jalan kaki sejauh itu dari Tunjungan, Bubutan, Ampel, Kembang Jepun, Rajawali dan sebagainya. Apalagi membaca cerita-cerita sejarah yang terkait dengan bangunan cagar budaya.
Memang sebagai orang lokal kita tidak peduli terhadap landmarks atau tempat2 wisata yang diminati turis. Saya yang tinggal di San Francisco Bay Area lama, tidak pergi ke Golden Gate Bridge, jika tidak mengantar tamu yang ingin lihat.
BalasHapus