▼
Sabtu, 03 Agustus 2019
Lagu Seriosa Itu Apa Sih?
Oleh LAMBERTUS HUREK
Pada 1980-an lagu seriosa sering diperdengarkan di Televisi Republik Indonesia [TVRI], satu-satunya televisi masa itu. Kini, seriosa nyaris tidak ada lagi. Tidak dapat tempat di televisi atau radio. Pertanyaannya, lagu seriosa itu apa?
Saya suka main-main ke kantor Surabaya Symphony Orchestra (SSO) di Jalan Gentengkali 15 Surabaya. Bangunan tiga lantai di kawasan strategis kota Surabaya. Selain kantor, SSO membuka kelas vokal dan musik, juga punya concert hall kecil untuk berlatih atau home concert. Tiap hari ada saja anak-anak dan remaja yang mengikuti les musik klasik.
Saya bertandang ke sana karena kebetulan kenal dekat dengan Pak Solomon Tong, dirigen sekaligus pendiri SSO. Para staf serta beberapa penyanyi andalannya pun saya kenal baik. Jelek-jelek begini, saya sempat mengikuti latihan vokal bersama Paduan Suara SSO. Diskui dengan Pak Tong bikin wawasan musik klasik saya bertambah-tambah.
"Kamu ikutlah karena suaramu bagus. Kamu juga bisa menyanyi," kata Solomon Tong kepada saya di rumahnya, Jalan Kawi 3 Surabaya, di awal karier saya sebagai jurnalis, menjelang kejatuhan Presiden Suharto.
Sayang, karena sibuk meliput ke mana-mana, saya tidak bisa intens berlatih seni suara klasik. Cukup menonton, kemudian menulis sedikit liputan di surat kabar.
Baru-baru ini, setelah membual dengan Yanti dan Mimin (keduanya staf SSO), saya diterima Solomon Tong di ruangannya. Pria kelahiran Xiamen Tiongkok, 20 Oktober 1939, ini tengah menulis sambil menikmati rekaman Konser Kemerdekaan SSO, awal Agustus 2006 di Hotel JW Marriot. Dalam setahun SSO rata-rata menggelar tiga kali konser besar.
"Yang ini konser ke-46 selama 10 tahun usia SSO," ujar Solomon Tong. Saat itu Pauline Poegoeh, soprano andalan SSO, tengah membawakan lagu klasik karya W.A. Mozart.
"Pak Tong, saya ingin tahu apa sebetulnya seriosa itu?" pancing saya.
"Nah, ini pertanyaan bagus. Kita perlu meluruskan istilah seriosa itu. Di luar negeri tidak dikenal lagu atau musik seriosa. Kita di Indonesia saja yang salah kaprah," kata suami Ester Carlina Magawe, pianis top Surabaya, itu.
Celakanya lagi, "Seriosa dalam pengertian Indonesia itu sangat sempit, hanya untuk vokal serius. Ini yang sulit ditangkap masyarakat awam," tegasnya.
Saya pun teringat pemilihan Bintang Radio dan Televisi atau BRTV di TVRI pada 1980-an. Selain keroncong, lomba menyanyi tingkat nasional ini menampilkan kategori seriosa dan hiburan. Lagu seriosa yang saya lihat di TVRI dibawakan dengan 'sangat serius', busana formal, teknik vokal klasik, suara bergetar (vibrasi kuat)--mirip orang kedinginan, begitu olok-olok masyarakat--lagu-lagunya sulit, sehingga peserta sedikit.
Lagu-lagu seriosa yang kerap dilombakan di BRTV antara lain Seuntai Manikam (Djohari), Keluhan Kuncup Melati (Ibu Sud), Cempaka Kuning (Syafei Embut), Taufan (C. Simandjuntak), Fajar Harapan (Ismail Marzuki), Karam (Iskandar), Kasih di Ambang Pintu (Iskandar), Bukit Kemenangan (R. Djuhari), Bintang Sejuta (Ismail Marzuki), Senja Semerah Bara (F.A. Warsono), Mekar Melati (C. Simandjuntak).
Kisah Angin Malam (Saiful Bahri), Puisi Rumah Bambu (FX Sutopo), Wanita (Ismail Marzuki), Kisah Mawar di Malam Hari (Iskandar), Embun (GWR Sinsu), Di Sela-Sela Rumput Hijau (Maladi), Citra (C. Simandjuntak), Dewi Anggraeni (FX Sutopo), Kembang dan Kumbang (Sancaya HR). Kebetulan saya bisa membawakan sebagian di antaranya.
Saya sodorkan daftar lagu ini kepada Solomon Tong. "Lagu-lagu ini yang biasa disebut seriosa itu," kata saya. Tong tersenyum.
Sebagai dirigen orkes simfoni dan mantan juri BRTV jenis seriosa, Tong niscaya sangat paham lagu-lagu seriosa versi Indonesia itu. Dia berkeras istilah 'seriosa' salah kaprah. Tidak cocok dipakai di dunia musik karena bisa membingungkan orang luar negeri.
"Indonesia ini hanya mengutip setengah-setengah lagu-lagu pada zaman Barrock. Di Jerman istilahnya lieder artinya song. Tapi arti sesungguhnya art song," papar Tong.
Puisi yang dilagukan ini melahirkan lieder-lieder yang sangat terkenal di Jerman. Cara pembawaanya pun 'serius', berbeda dengan lagu-lagu biasa.
Di mata Solomon Tong, lagu-lagu seriosa yang dilombakan di BRTV tidak cocok dengan konsep art song.
"Itu kan lagu-lagu kepahlawanan, perjuangan, cinta tanah air. Kita jangan paksakan diri memakai istilah seriosa. Nanti bikin bingung orang," tutur Solomon Tong yang mendirikan SSO pada 1996 itu.
SSO merupakan orkes simfoni langka di Indonesia karena paling aktif menggelar konser besar maupun konser kecil.
Sebagai 'suhu' musik klasik, Tong memang berkeinginan kuat untuk meluruskan banyak istilah musik yang salah kaprah di Indonesia. Salah satunya seriosa. Kalau sekadar berarti 'serius', apanya yang serius? Apa hanya cari pembawaannya? Menurut dia, sebaiknya kita menggunakan istilah-istilah musik yang berlaku universal. Untuk vokal, misalnya, ada opera, aria, oratorio, sacred song, secular song, folk song.
"Kalau yang sedang dibawakan Pauline ini jenis aria dari Mozart. Jangan disebut seriosa! Nggak jelas!" tandas Tong.
"Kenapa anda tidak meluruskan istilah seriosa sejak dulu? Bukankah anda sering menjadi juri BRTV?" tanya saya.
"Saya sih maunya begitu, tapi tidak pernah diberi kesempatan oleh panitia. Waktu saya jadi juri, selalu ada pesanan supaya memberi bobot lebih kepada peserta yang berpenampilan menarik dan macam-macam lah," kenang Tong yang mulai membina paduan suara dan musik klasik sejak 1957.
Beberapa waktu lalu Tong sempat bertemu dengan kepala program TVRI Surabaya. Tong ingin 'meluruskan' salah kaprah istilah seriosa melalui televisi negara itu.
"Pak Sutrisno tanya apa saya bersedia jadi narasumber. Saya jawab oke. Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasannya," kata Solomon Tong, kecewa.
Tidak itu saja. Tong pun ingin menggalakkan musik vokal untuk remaja lewat TVRI Surabaya agar muncul bibit-bibit vokalis masa depan. Ternyata, konsep sosialisasi ala Solomon Tong sangat dihargai, tapi masih sulit dilaksanakan di Indonesia. Karena itu, Tong selalu meminta wartawan-wartawan di Surabaya, khususnya saya, untuk membuat tulisan tentang musik klasik yang apresiatif.
"Tanpa media massa, musik klasik tidak akan jalan. Kalian itu mitra saya, partner saya," tegas Tong dalam berbagai kesempatan. Jangan heran, beliau senantiasa memberikan waktu kepada saya untuk membahas tetek-bengek seputar musik klasik kapan saja.
AGAR bahasan ini komplet, saya lengkapi dengan pandangan Suka Hadjana, pemusik, dirigen, dan kritikus kelahiran Jogja 17 Agustus 1940. "Istilah musik seriosa sesungguhnya agak berlebihan," tegas Suka Hardjana.
Menurut dia, seriosa ala BRTV tak lain bagian dari seni olah suara (menyanyi) dengan teknik tertentu, diiringi piano atau aransemen orkes. Lagunya pendek-pendek dalam bentuk lied bermatra tiga frasa sederhana: awal, sisipan, ulangan.
"Dilihat dari bentuk penulisan dan pembawaannya pun sesungguhnya masih terlalu sederhana untuk dibilang seni serious(a). Istilah musik seriosa yang kedengaran agak ke-italia-italia-an itu sebenarnya berasal dari pemilahan khazanah musik di Amerika dan Eropa di awal perkembangan industri musik sesudah Perang Dunia II," urai Suka Hardjana.
Adalah Amir Pasaribu yang mengimpor istilah 'seriosa' ke Indonesia untuk memberi ciri salah satu kategori Bintang Radio yang digelar pertama kali pada 1952. Waktu itu televisi belum ada di Indonesia. Setelah TVRI berdiri pada 1964, menjelang Asian Games di Jakarta, Bintang Radio pun diperluas menjadi Bintang Radio dan Televisi (BRTV).
Setelah dominasi TVRI sebagai satu-satunya televisi dihapus, pamor BRTV pun meredup sama sekali. Kini, ajang pemilihan BRTV praktis lenyap sama sekali di Indonesia. Seperti Pak Tong, Pak Suka Hardjana suka menulis kolom reguler di harian Kompas. Berikut sedikit catatan Pak Suka tentang lagu-lagu seriosa versi Indonesia:
"Sangat mengherankan bahwa mereka (penulis lagu seriosa Indonesia) sepertinya sama sekali tak terinspirasi oleh komponis-komponis yang lebih fundamental seperti Bach, Mozart, Debussy, Bartok, Stravinsky, dan lainnya.
Tapi hal itu bisa dimengerti bila diingat bahwa sesungguhnya lagu-lagu pendek mendayu-merdu-merayu dari para komponis Romantik mudah masuk selera. Dan itu rasanya lebih dekat dengan apresiasi diletantis para komponis Indonesia dari dulu hingga sekarang," tulis Suka Hardjana di bukunya, Esai & Kritik Musik' (Penerbit Galang Press, Jogjakarta, 2004).
Yo wis, Cak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar